Beberapa waktu terakhir ini muncul publikasi yang menyerang keKristenan, khususnya yang berkaitan dengan pribadi Yesus Kristus. Misalnya the DaVinci Code (2002), Holy Blood Holy Groil (1982), Jesus Papers, Jesus Dynasty, Misquoting Jesus. Kala Yesus menjadi Tuhan, Selamatkan Yesus dari orang Kristen dan sebagainya. Ada juga film dokumenter tentang kubur Yesus yang hilang dan diduga ditemukan, konon pernah disiarkan di Discovery Channel di USA.
Sementara itu, sebuah film Yesus yang dituturkan dari cara pandang lslam baru saladi luncurkan di lran. The Messiah, disutradarai seorang pembuat film dari Iran, Nader Talebzadeh. Film tersebut dibuat berdasarkan lnjil Barnabas.
Selain itu, bermunculan pembahasan tentang injil-injil yang tidak masuk dalam kanon Perjanjian Baru, antara lain injilTomas, injil Filipus, injil Maria, injil Yudas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa injil-lnjil non-kanonikal memberikan kepada kita informasi historis yang dapat dipercaya tentang Yesus daripada keempat lnjil Perjanjian Baru. Bener nggak sih?
Untuk membicarakan dan menyikapi semua isu tersebut, DIA meminta pandangan dan komentar dari Pdt. lr. Mangapul Sagala, D.Th, Staf Senior Perkantas. Pdt. Hidalgo Ban Garcia, Ph.D, Direktur Spiritual Growth, Universitas Pelita Harapan, dan Fransisca Debby, aktivis pelayanan mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Kristen lndonesia, berikut paparan mereka.
“Secara global hal ini menunjukkan gejala memberontak kepada kebenaran. Pemberontakan terhadap kebenaran ini bukan hanya terjadi pada masa sekarang. Kalau kita baca Kejadian pasal 2 dan 3, peristiwa di Taman Eden itu, menunjukkan bahwa pemberontakan terhadap kebenaran sudah terjadi sejak awal penciptaan. Dan sepanjang sejarah gereja, Alkitab itu menjadi sasaran utama serangan. Sementara, kita lemah dalam memahami Alkitab”, ungkap Pdt.lr. Mangapul Sagala, D.Th, mencermati penyerangan terhadap kekristenan akhir-akhir ini. Bagi Hidalgo Ban Garcia, Ph.D, penyerangan terhadap Yesus sudah berlangsung sejak Dia datang ke dunia, “Penyerangan terhadap diri Yesus sudah ada saat la datang ke dunia. Saat lahir, sudah dicobai oleh Raja Herodes. Lalu, selama hidup terus diserang. Khususnya oleh kaum Farisi. Penyerangan itu sendiri sudah dinubuatkan 600 tahun sebelumnya, ketika Nabi Yesaya berbicara tentang hambaTuhan yang akan menderita”, katanya menjelaskan.
Salah satu buku populer dan best seller yang menyerang keKristenan adalah “the Da Vinci Code” Karya Dan Brown. Meski gendre buku tersebut adalah novel taPi Brown menyebut, semua keterangan tentang karya seni, arsitektur, dokumen dan ritus rahasia dalam novelnya itu adalah akurat. Padahal, alur ceritanya merupakan perpaduan antara fakta dan kebohongan yang diramu dengan sangat terampil. Misalnya, kebohongan 1: Alkitab ditulis ulang oleh Kaisar Konstantinus Agung pada abad ke-4 M. Kebohongan 2: Yesus ‘diangkat’ menjadi ‘llahi’ pada sidang di Nicea tahun 325M. Kebohongan 3: Orang-orang Yahudi mula-mula percaya bahwa yang berdiam ditempat yang paling kudus dalam bait Suci yang dibangun Salomo itu, bukan hanya Allah tetapi juga Shekinah, yang setara dengan Allah tetapi berkelamin perempuan. Kebohongan 4: Beberapa kitab Injil yang coba dihancurkan oleh Konstantinus, ditemukan di atas gulungan-gulungan Laut Mati.
United Bible Societies (LembagaAlkitab Sedunia) dalam brosurnya [2OO6] menanggapi kebohongan.”the Da Vinci Code” itu menyebutkan, ke-llahian Yesus diakui berulang kali di dalam Perjanjian Baru. Orang-orang yang menentang agama Kristen pun mengakui hal ini, jauh sebelum Sidang Nicea, Plinius, Gubernur Romawi, menulis kepada Kaisar Trayanus pada tahun 112 M bahwa ‘orang-orang Kristen mengucapkan syair pujian berbalas-balasan kepada Kristus seperti kepada ilah’. Sedangkan ‘shekinah’ adalah kata kerja dalam bahasa lbrani yang menunjuk pada makna kehadiran Allah yang mulia. Dengan kata lain, kata ini tidak menunjuk pada sosokyang setara dengan Allah berkelamin perempuan. Tidak ada yang setara dengan Allah, sebagaimana diakuidalam Alkitab.
“Dan Brown itu tidak logis ketika mengatakan Yesus bukanlah Allah melainkan dijadikan Allah oleh Kaisar Konstantin. Kaisar itu, memerintah pada abad ke 4 sekitar tahun 312. Suatu waktu, Konstantin melihat mujizat tanda salib di langit, dalam bahasa Latin, bertuliskan taklukkanlah. Saat itu, memang Konstantin berambisi menggabungkan dua wilayah, timur dan barat, untuk dikuasainya. Pada waktu itu terjadi, ia telah siap menaklukkan semua wilayah. Konstantin sendi ribukanlah seorang Kristen. Lalu saat itu juga ia berianii kalau ia menang maka ia akan menjadi Kristen dan menjadikan kekristenan sebagai agama negara. Dan hal itu benar terjadi. Penganiyaan terhadap kekristenan pada masa itu berhenti setelah kaisar Konstantin meresmikan agama Kristen sebagai agama negara. Sekali lagi, itu teriadi pada abad ke- 4. Tetapi isu mengenai Yesus sebagai Allah bukanlah pada abad ke-4. Kalau kita membaca lnjil Yohanes yang ditulis pada abad pertama, kalimat pertama dalam Yohanes l:l dengan tegas mengatakan pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama dengan Allah dan Firman itu sendiri adalah Allah. Siapa Firman itu dalam Yohanes l: l7 mengacu pada nama Yesus Kristus. Pada abad pertama Yesus sebagai Allah telah ditegaskan di lnjil Yohanes dan bukan pada abad ke-4,” papar Doktor Sagala yang saat ini juga sebagai Dosen Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi Reformed lnjili Jakarta.
Dengan munculnya buku-buku yang menyerang kekristenan itu maka persoalan kanonisasi Alkitab menjadi bahan percakapan di kalangan gereja dan umat kristiani. Dalam hal kitab suci, kanon adalah sebuah istilah teknis yang berarti buku-buku yang dianggap bermuatan ‘keilahian’ dan dengan demikian dianggap layak masuk dalam Kitab Suci. Kanonisasi Alkitab ialah pengakuan buku-buku yang layak dimasukkan dalam Alkitab, yakni sungguh diilhami oleh Allah, dan pengesahannya sebagai kumpulan tulisan suci yaitu Firman Allah dalam bahasa manusia, karena di dalamnya dimuat Sabda Allah yang tertulis. “Arti kanon itu sendiri adalah standar atau bisa dikatakan tongkat pengukur, sebagai suatu batasan. Ukuran terhadap pengajaran terhadap etika dan moral. KetikaTuhan Yesus ada, semua tidak menjadi masalah karena kebenaran ada pada Yesus, Ialu ketika rasul-rasul (Petrus, Yakobus, Yohanes dan rasul-rasul yang diakui) juga tidak ada masalah. Mereka mensahkan gereja dan mengajarannya. Tetapi setelah mereka meninggal, muncullah bapak-bapak gereja dan mereka mengacu kepada ajaran rasul-rasul yang terdahulu. Ketika aliran yang benar dipahami oleh sekelompok orang dan aliran yang tidak benar pun juga dipahami oleh sekelompok orang lain, lalu masing-masing juga memberikan pengaruhnya, maka untuk mencounter pengajaran yang tidak benar mengacu kepada beberapa cara, pertama ada istilah Follow Your Leader (ikuti pemimpinmu) yang kedua mencoba merumuskan pengajaran, disinilah muncul pengakuan lman Rasuli dan proses kanonisasi,” urai pendeta yang merindukan mahasiswa dan alumni Kristen memiliki pemahaman Alkitab yang kuat.
Lebih lanjut lnsinyur yang terpanggil menjadi Teolog ini melanjutkan bahwa selama berabad-abad memang banyak terjadi diskusi, kitab manakah yang harus dimasukkan sebagai kanon Alkitab. Prosesnya rumit dan memakan waktu yang lama. Kanonisasi Alkitab itu hasil pergumulan bapak-bapak gereja di segala abad. Kalau kita baca di Kisah Para Rasul 15, disana sudah ada percakapan yang serius mengenai pengajaran. Bisa dikatakan, Pembicaraan itu merupakan sidang oikumene Pertama atau semacam konsili. Selaniutnya, para rasul,bapak-bapak gereja bersama para pemimpin gerela ditempat itu bertemu dan membicarakan proses kanonisasi. Seperti kitab Kolose yang dibacakan kepada lemaat lain diluar jemaat Kolose. “Ada beberapa ukuran, misalnya, pertama, bisa menunjukkan bahwa kitab ini ditulis oleh para rasul. Prinsip saksi mata itu penting, jadi bukan membuat dongeng, spekulasi, atau membuat ajaran baru. Satu hal yang bagus juga, kalau kita melihat 2 Petrus l6: l7 dan I Yoh I . yang kedua, nilai inspirasi. Kata yang disampaikan ada kaitannya dan bisa ditelusuri dengan aiaran rasul lainnya. Misalnya, Lukas itu menjadi satu tim pelayanan dengan Paulus. Markus satu tim pelayanan dengan Petrus. Yang ketiga, harus bisa dibuktikan. Tulisan rasul itu bisa diuji, dengan mencermati bahwa kitab-kitab itu tidak melawan atau bertentangan dengan kitab-kitab lainnya yang jelas termasuk dalam kanon. Hal ini, berkaitan dengan prinsip koherensi dan konsistensi secara menyeluruh,” katanya menegaskan.
Perlu diketahui bahwa penulisan lnjil-iniil tidak berhenti dengan munculnya keempat lnjil yang masuk dalam Perlanjian Baru (PB). Konon, banyak lnjil lain yang terus ditulis selama beberapa abad. Maka dari itu kita mendapati, ada The Gospel of Jomes, The Gospel of Peter, The Gospet of Thomos, The Gospel of Hebrews, The Gospel of Ebionites, The Gospel of Philip, The Gospel of truth, The Secret Gospe I of Mork, The Gospel of Judos, dan lain-lain. Tidak ada yang tahu dengan pasti berapa banyak lnjil lain yang ditulis. Mungkin bisa mencapai40-50 Injil nonkanonikal, dan banyak yang diketahui hanya secara nama atau beberapa kutipan di tulisan-tulisan bapa-bapa gereja. lnjil-lnjil yang tidak masuk dalam kanon biasanya disebut juga injil-injil Apokrifa. Kata”Apokrifa” (Yunani) artinya “hidden things.” Maksudnya adalah tulisan-tulisan ini layak untuk disembunyikan.
Mengapa harus disembunyi kan, “Sebenarnya kitab-kitab ini dianggap tidak baik dibaca oleh anggota jemaat karena bertentangan dengan injil yang sudah dikenal. Jadi bukan tersembunyi dalam arti kata disembunyikan untuk menutupi kepalsuan gereja. Bukan itu maksudnya. Ajaran dalam injil apokrifa ini tidak benar karena itu tidak perlu dibaca oleh jemaat. ltulah sebabnya dalam buku terbaru Romo Desi, ia menguak injil rahasia ini. Disana Romo Desi menuliskan bagian injil yang tersembunyi atau disembunyikan atau tidak diperkenalkan ke umum bukan karena ingin membongkar kepalsuan tetapi karena tidak layak dibaca oleh umat. Dahulu bapa-bapa gereja sudah memutuskan bahwa injil apokrifa itu tidak layak dibaca, maka dari itu, rasanya kog aneh, di millenium ketiga ini, seolah-olah perlu dibaca ulang dan seolah-olah juga ini sebuah kebenaran untuk membongkar kepalsuan gereja. Tidak ada kepalsuan yang ada hanya kebenaran. Yang palsu justru lnjil Philip yang mengatakan Yesus bercumbu-cumbuan dengan Maria Magdalena. ltu lnjil Gnostik. Dan yang lebih tidak layak lagi, penggunaan kata’ bercumbu-cumbuan itu hanya istilah halus. Namun dibalik kata itu ada tuduhan yang mengatakan Yesus melakukan hubungan intim. Semua ini spekulatif,” kata Bang Sagala, Staf Senior Divisi Alumni Perkantas Jakarta.
Beberapa literatur menyebutkan, tujuan kitab non-kanonikal atau injil-injil Apokrifa itu, pada umumnya bertujuan untuk menambah (to supplement) dan menggantikan (to supplont) keempat injil PB. Di antara yang bertujuan menambah, ada kalanya hanya karena keinginan untuk menyenangkan (to entertain) populasi Kisten yang sedang bertumbuh. Misalnya, orang ingin tahu tentang masa kecilYesus, atau memberitakan Yesus tidak sama dengan Yesus yang ada di lnjil.
“lnjil Apokrifa itu tidak memiliki standar para rasul atau tidak memiliki prinsip koherensi dan konsitensi pengalaran. la telah gagal dalam ujian karena tidak memiliki ketiga standar itu. Semua kitab yang sudah dibaca harus bisa menunjukkan bahwa kitab-kitab ini diilhami oleh Allah melalui rasul-rasulnya. Bapak gereja sudah membedakan mana itu kitab berilham dan berotoritas dengan tulisan-tulisan yang boleh dibaca. Dizaman ini, kalau kita mau baca kitab apokrifa, silahkan saja, sebatas pemberi informasi. Tapi, ingat kita harus tegas melawan pengajaran sesat yang betentangan dengan yang diajarkan dalam Alkitab. Sebab, ada orang yang sangat gigih mengakui lnjil Thomas, karena banyak mengkoreksi Injil Yohanes. lnjil Yohanes dianggap terlalu menegaskan kebenaran dan hidup seolah-olah hanya milik Kristus, dan lnlil Thomas (berisikan 114 ucapan Yesus, dalam berbagai bentuk. Red.) tidak mengakuinya. Kebenaran ada di dalam diri kita masing-masing,” paparnya panjang lebar.
Boleh dikata, sepanjang abad, kekristenan dan pribadi Yesus diserang dengan berbagai hal, baik dari dalam maupun luar kekristenan. Tujuannya, antara lain untuk melenyapkan atau melemahkan kekristenan di muka bumi ini. Namun apakah serangan-serangan itu berhasil melenyapkan atau melemahkan kekristentan? Ternyata, makin dibabat, semakin merambat. ” Kekristenan adalah agama di dunia yang paling teraniaya. Penyerangan terhadap pribadi Yesus dan kekristenan yang marak dilakukan akhir-akhir ini, adalah hal yang biasa. Semua sarangan itu akan lenyap, bukan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus sendiri akan membela diri-Nya dan umat-Nya,” ujar Ban Garcia yang pernah sebagai misionaris OMF di Toraja itu.
Bagaimanakah seorang Kristen awam menghadapi serangan tersebut? Fransisca Debby, SH, mengatakan bahwa dirinya tidak begitu paham apakah dari awal pemunculan Da Vinci Code dibuat dengan sengaja untuk sensasi baru, atau untuk menyerang kekristenan. Tapi menurutnya penyerangan terhadap pribadi Yesus, Alkitab dan kekristenan, muncul adalah karena kurangnya pengenalan dan iman akan Kristus. “Walau saya belum baca buku Da Vinci Code atau sejenisnya, saya merasa kasihan dengan mereka yang menulis penyerangan terhadap Yesus atau kekristenan. Karena mereka belum mengenal secara dalam siapa itu Kristus. Mereka juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan Allah atau mungkin karena terlalu “pintar” memiliki imajinasi yang terlalu tinggi sehingga menulis buku-buku yang bagi saya pribadi tidak bisa dibayangkan. Sebenarnya mereka menuliskan apa yang mereka tidak tahu. Dan iuga mereka tidak mengenal dengan benar pribadi yang mereka tuliskan. Jika mereka memiliki pengenalan yang dalam dan benar tentang pribadi Yesus, saya yakin mereka tidak akan menuliskan karya seperti itu,” tuturnya.
Lebih laniut Debby menielaskan, dari pengamatannya orang menonton film Da Vinci Code, hanya untuk fun saja. Mereka tidak terpengaruh dengan film tersebut. “Film Da Vinci Code itu kan hanya merupakan hasil dari pemikiran manusia yang tidak akan melampaui pikiran Allah. ltu hanya sebatas imajinasi-imajinasi yang nantinya akan hilang dan terlupakan. Kalau bukunya sih, ada yang bikin orang marah, tapi membuat mereka berpikir, dan syukur kalau mereka semakin mendalami lagi tentang apa itu kekristenan dan membuka hati untuk lebih mengenal pribadi Kristus yang sesungguhnya,” ujar Debby yang punya hoby membaca dan menonton ini.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi munculnya buku-buku atau publikasi yang menyerang kekristenan? Tentunya, kita tidak perlu bingung dan gelisah seolah-olah satu kebenaran baru telah tersingkap yang akan segera meruntuhkan apa yang telah diimani selama ini. Sebaliknya, kita harus terus bertumbuh dalam iman dan dalam pengajaran yang benar sehingga dapat dengan tegas melawan pengajaran sesat. Hal yang sama dilakukan oleh bapa-bapa Gereja, seperti lrenaeus dari Lyon ketika dia menulis “Againts Heresies” (melawan bidat-bidat/aiaran-aiaran sesat) yang ditulis sekitar tahun 180.
“Tidak baik kalau orang Kristen terlalu defensif. Kita dituntut berapologetika sebagaimana dinyatakan dalam l Petrus 3: l5b untuk “memberi Pertanggunganjawaban kepada tiap-tiap orang yang memintanya dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”. Tetapi bukan itu yang paling penting. Yang paling penting adalah bagian pertama dari ayat di atas, yaitu “Kuduskanlah Kristus dalam hatimu sebagai Tuhan” (l Petrus 3: l5a). lni berarti bahwa jangan sampai orang Kristen menjadi “sidetrocked” atau terganggu pikirannya dengan penyerangan-penyerangan terhadap Kristus. Fokus orang Kristen seharusnya tetap pada tugas-tugas inti dan utama, yaitu, berdoa, ber-PA, bermeditasi, melayani sesama manusia, persekutuan di gereja, dan bersaksi tentang kasih Kristus.Tuhan sendiri yang akan meniawab serangan terhadap diri-Nya melalui perbuatan dan perkataan kita yang baik,” jelas Ban Garciayang iuga sebagai koordinator Dosen Agama dan Perbandingan Agama di Universitas Pelita Harapan ini. Bagi Pdt. Mangapul Sagala sendiri, melihat unsur positif dari adanya serangan-serangan tersebut. “Tidak bisa disangkali sekak adanya Da Vinci Code yang begitu luas publikasinya di berbagai negara di dunia, kekristenan justru makin dibangunkan kondisinya. Contohnya, ketika bolak-balik ke Singapura-lndonesia dalam rangka wisuda, saya mendengar dan melihat banyak anggota jemaat bahkan gereja-gereja di Singapura sering mengadakan seminar-seminar dalam rangka mencari tahu, apa sebenarnya Alkitab itu. Siapa itu Yesus. Apakah Yesus itu pernah menikah atau tidak. Dan saya percaya dengan kejadian ini, banyak orang Kristen yang imannya diteguhkan kembali,” ungkap alumnus Trinity Theological College, Singapura ini.
Lalu bagaimana mahasiswa Kristen menyikapinya? “Mahasiswa perlu dibina, dan diinfus dengan pembinaan iman. Dengan demikian mereka akan semakin bertumbuh. Perlu banyak baca buku yang bisa membangun iman dan bukan buku yang mempertanyakan iman. Dan yang paling penting, meniaga hubungan secara pribadi dengan Tuhan. Kelak, bila diperhadapkan kepada Penyerangan-penyerangan kekristenan, mereka siap, bisa menjawab serta mempertanggungjawabkan. Selain itu, baca Alkitab dan banyaklah berdoa. Dengan berdoa, meminta hikmat dari Tuhan, maka kita pun dapat semakin mengimani bahwa semua yang disuguhkan mengenai penyerangan terhadap kekristenan itu adalah bohong,” ujar Debby yang sampai saat ini tetap aktif dalam pelayanan mahasiswa.
Sedang Ban Garcia memberi nasihat kepada mahasiswa agar mahasiswa bersikap kritis dan proaktif. “Kritis, karena dia diberikan kemampuan intelek untuk mau memakai dan mengembangkannya di universitas. Jangan sampai dia langsung menerima dengan begitu saja penyerangan-Penyerangan terhadaP kekristenan yang sudah hadir di dunia selama dua ribu tahun. Untuk itu, saya menasehati suPaya seorang mahasiswa belajar sebaik mungkin menjadi scholar dan intelektual yang handal. Sedangkan proaktif, mahasiswa melakukan secara positif apayang baik untuk pertumbuhan rohaninya, studinya, dan untuk kebaikan bersama. Kata kunci di sini adalah fokus. Fokus pada apa yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, yang disebut kebajikan, dan patut dipuji, ” papar pendetaYangmenyelesaikan PhD-nya di Colvin Theologicol SeminorY ini.
Sampai kapan pun serangan terhadap fondasi kekristenan, yaitu Yesus Kristus dan Alkitab akan terus muncul. Kita tidak perlu takut dan merasa gamang. Kita orang percaya harus “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh didalam segala
hal kearah Dia, Kristus, yang adalah Kepala (Ef 4: l5).
— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008