Liat Sie Kon:
Tergantung Pribadi dan Masyarakat Setempat    

Bicara soal keintiman dalam pergaulan, kini di kota-kota sudah menjadi pemandangan biasa manakala seorang pemuda sambil berjalan merangkul teman putrinya, atau sebaliknya; kaum wanita saling mengadu pipi ketika bertemu baik dalamacara resmi atau yang sekedar kangen-kangenan; di beberapa tempat sudah mencapai taraf kissing antar teman, berdansa dengan berpelukan erat melekat, atau bahkan sampai taraf berhubungan kelamin (yans menurut-penulis merupakan “batas keintiman pergaulan yang terintim”, dengan atau tanpa melibatkan emosi). Entah sejak kapan perilaku semacam itu terjadi, yang jelas hal semacam itu di nilai tabu di zaman dulu, paling tidak setengah abad yang lalu dan sebelumnya. (“tabu” disini di artikan sebagai sesuatu yang segera mendapat “hukuman” dari masyarakat apabila itu sampai terjadi).

Masyarakatnya, mengapa hal itu tidak lagi begitu “tabu” di zaman sekarang? Sudah adakah perubahan nilai dan norma masyarakat sehingga mana yang tabu dan mana yang tidak pun turut berubah? Dengan jujur, kita harus akui bahwa peradaban terus berubah; dan hal tersebut membawa serta perubahan nilai-nilai dan norma-norma.

Anggap saja (mungkin ini bisa dianggap sebagai kambing hitam), itu adalah akibat suksesnya barat mentransfer norma-norma hidupnya ke segala penjuru dunia, termasuk ke negeri kita. “Orang Barat itu penganut faham ­free-love and free-sex!” kata banyak orang. “Lihat saja film-film mereka yang menjadikan hubungan kelamin (antar teman yang baru kenal) tak ubahnya jabatan tangan di negeri kita.”

Andai saja anggapan itu benar, mengapa orang Timur (yang selama ini terkesan lebih “bersih”) dengan mudah menerima “norma” baru (yang sebagian besar hanya dilihatnyadi film) itu? Untuk kemudian juga melakukannya, baik diam-diam maupun terang-terangan. Begitu rapuhnya orang Timur, sehingga nilai-nilai yang dimilikinya tak mampu meng-counter nilai-nilai asing? Atau memang itulah kecenderungan kodrati manusia dimana pun yang selalu ingin mencapai sesuatu yang “lebih menyenangkan” atau penikmat?

Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan pihak arat maupun Timur. Yang pasti, sekarang ini kita tengah berada di zaman yang terus berubah dan sulit diduga kemana perubahannya. Yang mengubah zaman ini? siapa lagi kalau bukan rasio dan kehendak manusia (yang tak akan pernah puas dan berhenti)!

(Sebagai orang Kristen) kalau mau berkata gampang soal batasan keintiman pergaulan bisa saja. “Dalam bergaul kita tidak boleh lepas dari nilai-nilai yang diajarkan Alkitan!” atau, yang lebih konkrit, “Contoh saja teladan Yesus. Ia juga bergaul dengan pelacur, namun tidak menjadi kotor.” Namun cukupkah itu? Atau mampukah kita melakukan seperti kata Alkitab secara total?

Sekarang, kalau mau jujur, kita semakin sulit membuat batasan/kriteria mana pergaulan yang baik mana yang tidak baik. Zaman terus berputar dan nilai-nilai masyarakat pun mengikutinya. Tak ada yang statis. Nasihat para teolog pun selalu berkata, “Terapkanlah ajaran Alkitab secara kontekstual, sesuai dengan zaman dimana kita hidup. Bertindaklah cerdik  seperti ular dan tulus bak merpati.” Alhasil, setiap orang berhak menentukan perilakunya sendiri, berdasarkan pemahaman keimanannya serta hati nuraninya. Suatu tindakan yang bagi seseorang dianggap biasa, mungkin bagi orang lain dinilai tidak senonoh. Misalnya: kisiing antar teman bagi orang Barat adalah hal lumrah, namun bagi orang Timur dinilai keterlaluan: memaki (maaf) “diacuhkan!” antar teman bagi orang Jawa Timur mungkin sudah dianggap bagian dari keakraban, namun bagi orang Jawa Tengah sungguh membuat telinga jadi merah.

Kalau sudah demikian, apa lagi yang bisa kita pakai sebagai patokan/pedoman bertindak dan berprilaku? Bukankah semuanya berpulang pada pribadi masing-masing dan masyarakat tempat kita berada?

 

*dituliskan oleh Liat Sie Kon

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *