Gito T. Wicoksono, S. Sos, M.Div:
Zoom atau Fokus

Dalam dunia fotografi ada yang disebut sebagai fokus dan zoom. Secara sederhana, zoom adalah cara pengambilan gambar suatu obyek di mana obyek tersebut menjadi satu-satunya obyek yang muncul dalam gambar. Sedangkan fokus, adalah mengenai suatu obyek sebagai titik pandang utama, namun tidak melenyapkan latar belakang disekitar obyek tersebut.

Lalu, dalam relasi kita yang paling baik apa? Zoom atau fokus? Jika jawaban Anda adalah zoom, maka dapat dikatakan kita adalah orang fanatik yang tidak punya urusan lain, selain segala sesuatu yang sifatnya “serba Tuhan”. Bukan tidak mungkin kita adalah orang yang “kecanduan Tuhan”, sehingga tidak menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, tetapi sebagai pengganti ekstasi. Jika relasi kita dengan Tuhan adalah zoom, akibatnya adalah dualisme. Di satu sisi dengan Tuhan, gambaran kita kecanduan hal rohani di wilayah “surga” seperti gereja, persekutuan, atau ibadah. Di luar itu adalah “duniawi”.

Maka, secara sederhana dalam relasi kita dengan Tuhan, gambaran yang lebih baik adalah fokus. Mengapa? Karena memang seperti demikianlah yang la kehendaki dalam diri manusia. Mari kita melihatnya dari Hukum Kasih. Tuhan Yesus memberikan suatu manajemen kasih yang membuat kita berfokus pada Tuhan, dan di saat yang sama tidak kehilangan kontak dengan dunia ini; sesama, bahkan diri sendiri. Hukum initelah menjadi landasan pokok kita dalam menjalani hidup yang fokus pada Tuhan. Mari kita lihat.

Hukum

Hukum Taurat, dalam bahasa lndonesia diambildari kata nomos. Agak sulit memastikan nomos ini. Kata ini bisa berarti l0 Hukum Taurat, Lima Kitab Musa, atau seluruh PL. Tetapi pada umumnya, kalau PB menyebut hukum Taurat, biasanya berarti 5 kitab Musa. Para ahli Taurat saat itu, mengklasifikasi 613 butir hukum yang harus dijalani. Ke-613 butir itu diambil dari lima kitab Musa. Jadi, kemungkinan yang ditanyakan oleh para ahli Taurat di sini adalah, “Yang mana, dari 613 butir ini, yang paling penting?” Tetapi Tuhan Yesus, tidak mau terjebak. la memberi jawaban yang nggak nyambung dengan pertanyaan mereka. Bukannya menjawab “yang mana”, melainkan “bagaimana.” Karena jiwadari hukum Taurat bukanlah legalisme kaku, atau memilah-milah mana yang paling penting, tetapi kasih.

Yang Pertama, kita lihat bagaimana untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Tuhan Yesus mengutip ayat yang terkenal bagi orang lsrael, yaitu dari Ulangan 6:5. Yang Kedua adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri. lni diambil dari lmamat l9: 18. Keduanya terpisah, tetapi Tuhan Yesus untuk pertama kalinya menyatukan keduanya; hal ini sepertinya Mengejutkan para ahli hukum saat itu. Ternyata, Tuhan Yesus menempatkan hukum yang kedua ini sama (homoia), sama dengan yang pertama. la tidak mau terjebak untuk memilah-milah. Maksudnya, punya kesetaraan dengan yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua hukum inisetara. Oleh sebab itu, hukum kasih ini bukanlah dua hukum yang terpisah, tetapi menjadi satu produk hukum. Dua-duanya sama-sama yang terutama, tetapi bagian pertama, adalah mengasihi Tuhan, dan bagian kedua, adalah mengasihi manusia.

Hal yang unik dari perintah kedua ini, perintahnya satu, tapi unsurnya dua. Kalau mengasihi Tuhan kita melihat sebuah perintah tunggal, yaitu mengasihi Tuhan saja, dengan segenap diri. Tetapi untuk mengasihi sesama, ternyata kita harus terlebih dahulu mengasihi diri sendiri. Kasihi pada sesama, ternyata ada hubungannya dengan mengasihi diri. Bagaimana kita mengasihi diri, akan terlihat dari bagaimana kita mengasihi sesama. Jadi dalam hukum kasih, kita sudah melihat ada 3 kesimpulan. Yaitu kasih kepada Tuhan dengan segenap diri, kasih kepada diri sendiri, yang mengakibatkan kasih pada sesama. Semuanya organik, tak terpisahkan dan tidak dapat dipilah-pilah.

Kasih

Lalu apakah kasih sebenarnya? Dalam budaya Yunani, cinta eros sangat penting karena eros adalah dewa cinta yang menebar cinta ke mana-mana. Suatu bentuk cinta yang akhirnya dikenal sebagai erotic (erotis). Jika dijabarkan dalam bahasa lnggris, eros adalah I am in love. Sedangkan Alkitab mengaiarkan cinta kasih yang berbeda, yaitu agape.

Dalam bahasa lbrani, kata “kasih” adalah ahav, yang artinya bukan sekedar Perasaan tetapi lebih dari itu. Ahav adalah: melakukan sesuatu’ menjadi berguna atau bermanfaat. Jadi ahav itu aktif, dan memberikan peran serta yang nyata, bukan Perasaan sentimentil. Septuaginta terjemahkan ahav meniadi agape. Jenis cinta kasih ini adalah aktif. Berbeda dengan eros yang diterjemahkan I am in love, cinta agape adalah I love.

Kadang kala kita mengerti agaPe hanya sebagai kasih Tuhan, padahal arti agape bukan hanya itu. Kasih agape adalah kasih yang memiliki komitmen. Baik pada Tuhan, maupun pada yang lain. Misalnya Paulus menegur Demas yang “agape” pada dunia, terikat pada komitmen dengan dunia (2 Tim. 4:10). Hukum kasih telah mengubah persepsi yang begitu besar bagi orang Kristen’ Hukum ini merupakan revolusi besar, dari legalisme terhadap hukum Taurat, meniadi kasih terhadap Allah dan manusia. lni adalah liwa dari Alkitab. Tuhan Yesus mengatakan, bahwa seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi, tergantung pada hukum kasih ini.

Posisi Kristus

Pada seluruh Hukum Taurat ternyata bergantung dari persepsi Kristus tentang Hukum Taurat. ltu berarti Kristus mengarahkan para ahli hukum itu untuk tidak memilah-milah, hukum mana yang terPenting. Tetapi yang paling penting adalah persepsi Kristus tentang Hukum Taurat, yaitu Kasih. ltu berarti, persepsi Kristus lebih dari Hukum Taurat. Persepsi itu keluar dari diri-Nya. OIeh sebab itu, yang lebih penting dari Hukum Taurat adalah Kristus. Kristus sedang mengarahkan inti hukum itu pada diri-Nya sendiri. Sehingga di dalam Dia, hukum itu digenapi (Mat. 5: lf. TuhanYesus sering mengatakan, “Aku berkata kepadamu..” Padahal Para guru saat itu biasanya bilang “Tuhan berkata, atau Taurat berkata..” Dalam kasus ini, Yesus juga telah menyatakan diri-Nya sebagai above, lebih dari Hukum Taurat. ltu berarti Hukum Taurat tetap berlaku, namun digenapi di dalam Kristus.

 Antara Allah dan Manusia

Antara Hukum Taurat sebagai standart Allah dan manusia, sebetulnyatidak bisa nyambung. Satu sisi Allah, dengan standart-Nya yang tinggi, menuntut kita untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, Allah menuntut manusia suci. Tetapi di sisi lain, kita tidak berdaya memenuhi standart itu. Jadi ada jurang pemisah yang dalam, antara Allah dan manusia. Allah itu suci, manusia itu berdosa. Karena itulah dosa disebut sebagai “tidak mencapai standart Allah, atau meleset dari kehendak Allah” (hamartia) Tetapi ketidak mampuan kita mentaati seluruh standart Allah, disempurnakan oleh Kristus. ltulah sebabnya la menyebut diri-Nya sebagai kegenapan hukum Taurat. Ketidakmampuan kita, disempurnakan, digenapi di dalam Kristus’

 Apa Hubungannya dengan Fokus?

Hidup kita adalah untuk mengasihi. Sedangkan kasih membutuhkan obyek. Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa kasih itu obyeknya hanya 3;Tuhan, sesama dan diri.

Sebutkan urusan hidup kita selama di dunia. Mencuci kendaraan, membetulkan lampu, urus SlM, KTB menulis surat lamaran, mengeriakan tugas, persekutuan, ke gereja, saat teduh, menulis, jalan-jalan, nonton, ngobrol, naik bis, cari buku, dsb. Kalau mau diperpanjang, urusan selama kita hidup sudah jutaan. Bayangkan jika kita tidak punya fokus! Namun, dari begitu banyak urusan kita di dunia, Tuhan Yesus mengelompokkannya hanya terdiri dari 3 bagian besar itu. Hukum Kasih melatih kita untuk memiliki fokus. Maka, dengan prinsip ini hidup kita terhindar dari kehidupan yang tidak jelas arahnya.

Misalnya dalam respon kita akan kasih Tuhan, biasanya berkaitan dengan hal-hal rohani seperti ke gereja, baca Alkitab, atau baca buku rohani. Dalam mengasihi sesama, kita berkomunitas, saling menguniungi, kelompok kecil, kerja bakti, dsb. Sedangkan mengasihi diri sendiri kita membaca untuk menambah pengetahuan, memotivasi diri untuk maju, rileks, main game, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dsb. Bayangkan jika kita men-zoom salah satu di antaranya. Misalnya kita hanya zoom pada Tuhan saia. Betapa fanatisnya kita. Jika kita zoom pada mengasihi sesama saia, betapa sosialisnya kita. Sedangkan iika hanyazoom untukdiri sendiri, betapa hedonis!

Maka, untuk urusan seperti ini, hukum kasih sudah mengantisipasinya selak awal. Bahwa fokus kita adalah pada Tuhan, di dalam Kristus. Namun bukan berarti kita memiliki kehidupan yang terpisah-pisah. Baik urusan dengan sesama dan diri sendiri ada di dalam satu fokus yang sama; untuk Tilhan. Bahkan rasul Paulus menyimpulkan, Jika engkau makan atau iika engkau minum, atau iika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (l Kor. l0:31).

Demikianlah cinta kasih kita kepada Tuhan. Bukan zoom, tapi fokus.

—– Dituliskan oleh, Gito T. Wicoksono, S. Sos, M.Div, Fisip-1991, SAAT, Malang 2002. Penulis buku Kick n Goal dan novel Hidden Killer, Sekarang di Reformed Media Center, Surabaya. Menjadi nara sumber di beberapa radio di Surabaya. Radio Merdeka 106.7 FM – Suzana 91.3 dan Mercury 96 FM.

— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009

Berikan tanggapan