Joseph John dan Lim Sok Bee:
Keluarga Ada Karena Seks?

Joseph John dan Lim Sok Bee pasangan suami istri warganegara Singapura. Joseph John adalah Pemimpin Umum dari Fellowship of Evangelical Student (FES) Singapura dan terlatih sebagai konselor keluarga. Ia menikah dengan dr. Lim Sok Bee (1991). Dokter Lim Sok Bee lulusan Universitas Singapura dan sekarang menjadi dokter di K.K. Hospital, Singapura.

Suami istri ini datang ke Indonesia atas undangan Perkantas, memberikan training konseling di retreat staf, Oktober 1993 lalu. DIA tak ketinggalan. Melihat latar belakang suami istri ini dan tema yang akan disajikan Edisi 1/94, maka kesempatan yang ada DIA gunakan.

Apa pendapat mereka tentang seks dan penyelewengan seks? Apa pendapat mereka terhadap orang yang melakukan hubungan seks sebelum menikah? Apa yang perlu diperhatikan suami istri perihal hubungan seks? Mengapa pasangan yang menikah perlu bertumbuh bersama-sama? Dan apa pendapat mereka jika pasangan mereka memiliki “pria idaman lain” (PIL) dan “wanita idaman lain” (WIL)?

Simak wawancara di bawah ini:

Bagaimana pandangan Bapak tentang penyelewengan hubungan seks sebelum pernikahan?

Mereka, sesungguhnya, memperalat partner. Mengapa? Seks merupakan hak istimewa dari pernikahan. Seks mengikuti janji yang dibuat sepasang pengantin yang akan hidup bersama selama hidup. Tindakan seksual mengikuti janji suami istri. Janji suami istri. Janji seorang pria dan seorang wanita.

Seks yang dilakukan dalam pernikahan sesuai dengan konsep Alkitab (Firman Allah – red). Pengantin mengikat janji untuk tinggal bersama, menikmati persekutuan dan menikmati segala sesuatu dalam segala cara, bersama-sama. Mereka menikmati hal-hal pernikahan seperti kehadiran masing-masing secara fisik seksual dan rohani. Jadi, seks adalah ungkapan dari yang telah diikrarkan dalam perkataan.

Kue tart dengan gula yang melapisinya merupakan contoh yang baik mengenai seks. Seks sebagai gula pelapis, pernikahan adalah kuenya. Kita tidak pernah menikmati gula pelapis kue tanpa kuenya. Tidak ada orang yang hanya membuat gulanya. Tart itu yang penting adalah kuenya, bukan gulanya. Gula hanya sebagai pemanis kue. Kue menggambarkan janji pernikahan. Kalau janji sudah dilakukan, maka gulanya pun dapat disantap. Gulanya terasa enak, karena kuenya ada. Jika hubungan seks dilakukan sebelum pernikahan, maka dia hanya menginginkan gula pelapisnya. Menginginkan hak istimewa, tapi tidak mau memiliki tanggung jawab. Seseorang (baik pria maupun wanita) melakukan hubungan seks dengan non-partner pernikahannya, orang itu mengambil gulanya dan membuang kuenya pada yang lain. Sedangkan bila sudah menikah, maka orang itu merampok milik suami/istrinya. Selain merampok, ia juga mengkhianati janji yang diberikan kepada istri/suaminya. Perbuatan itu menurut kami adalah salah besar.

Mengapa yang belum menikah melakukan hubungan seks?

Banyak alasan seseorang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Komitmen bukanlah kata yang disukai manusia. Banyak orang berpikir, “Kalau saya suka kamu dan kamu suka saya, mengapa harus mengikat diri? Saya menggaruk kamu, kamu menggaruk saya. Kita sama-sama senang…” Seks, bagi mereka, tidak dianggap pernikahan sama dengan mengikat rantai ke leher.

Banyak orang tidak melihat seks sebagai ungkapan “siapa saya”. Maksudnya, ketika kita dekat dengannya, kita berbagi kehidupan. Orang jarang melihat pengertian seks ini. Bagi kebanyakan orang yang terlibat hubungan seks sebelum menikah, menganggap, “Karena menyukaimu, saya tidak keberatan menyenangkanmu dan saling menikmati tubuh kita. Bagaimana dengan besok dan masa depan? Masa bodoh. Yang penting hari ini kita senang.” Apalagi, saat ini sangat mudah mendapatkan alat kontrasepsi. Anak tidak lagi dikaitkan dengan pernikahan. Karena ketika melakukan hubungan seks, tidak perlu berpikir akan mendapat anak. Seks hanya kegiatan fisik yang melibatkan pria dan wanita. Itu saja. Melakukan hubungan seks, bagi mereka, hanya melihat dari satu sisi, seperti berjalan kaki, main tenis, dan lain-lain.

Anak muda melakukan seks karena melihat televisi, film, membaca buku porno, dan ingin tahu. Apalagi ketika melihat kehidupan sehari-hari banyak orang melakukan berbagai jenis hubungan. Mereka berpikir, “Mengapa saya tidak boleh melakukan hal yang sama?”

Apakah anak muda melakukan seks karena pencobaan?

Mereka melihat kemudian tergoda. Jangan lupa, setiap orang memiliki naluri seks. Anak muda 16 ke atas telah mampu melakukan hubungan seks.

Ada kalanya anak muda melakukan hubungan seks karena tekanan teman. Teman melakukan. Sehingga, sekarang ini, timbul ungkapan bagi pria “laki-laki sejati diukur dari sudah berapa banyak wanita yang digaulinya.”

Anda menjelaskan bahwa para pria muda tergoda untuk menunjukkan diri dengan cara melakukan hubungan seks. Bagaimana dengan para wanita? Mengapa mereka menyerahkan diri?

Wanita, dalam masyarakat Asia, tidak merasa lengkap dirinya jika tidak ada seorang pria pun yang mencintainya. Saat pria datang dan menyatakan cinta, maka si wanita merasa sempurna. Pikirnya, “Saya aman sekarang.” Dia dapat menunjukkan kepada teman-temannya, bahwa ia punya pacar. Ketika pria itu mengajak berhubungan seksual, si wanita takut menolak. Ia takut kehilangan. Wanita itu berpikir ia dapat menjaga dengan mengikuti keinginan pacarnya.

Wanita yang melihat dirinya baru sempurna jika ada pria di sisinya, perlu dibantu. Wanita, baik yang memiliki pasangan maupun tidak, harus mampu melihat ke dalam dirinya.

Lalu mengapa orang yang sudah menikah pun melakukan hubungan seks dengan yang bukan pasangannya?

Karena pernikahan mereka tidak berkembang. Pernikahan tidak berkembang disebabkan oleh berbagai hal. Antara lain pertama, ada anak-anak di tengah mereka. Setelah melahirkan anak, penampilan istri berubah. Tidak secerah dulu. Atau si istri menghabiskan waktu untuk anak-anak. Suaminya ‘merasa’ diabaikan. Hubungan fisik mereka tidak lagi menyenangkan. Sebaliknya. Suami terlalu sibuk dengan pekerjaan dan jarang berada di rumah. Di luar, istri atau suami bertemu dengan seseorang yang memberikan perhatian. Akibatnya, terjalin hubungan, bahkan hubungan ‘gelap’.

Kedua, adanya krisis. Dalam setiap pernikahan, mulai dari saat berlangsung, kemudian lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan setelah tiga puluh tahun, ada titik krisis. Titik krisis terjadi ketika si pria, kadang-kadang wanita juga, menjadi lebih peka dan sering terlibat dengan orang lain. Akibatnya, ia jatuh dalam pencobaan, dan setelah melahirkan anak serta istri tidak ingin melakukan hubungan seks, misalnya. Akibatnya, suami mencari di luar. Jika pasangan itu tidak berusaha menjalin dan mengembangkan hubungan mereka, sesuatu akan terjadi.

Ketiga, media massa mengajarkan manusia untuk tidak merasa bersalah memiliki pria/wanita lain. Paham ini sudah dianut dan dianggap normal dalam film-film dan buku-buku. Seseorang bisa menjadi ayah/ibu dan suami/istri yang baik, tetapi juga memiliki pria/wanita lain.

Keempat, banyak pria/wanita melakukan perjalanan ke berbagai kota. Ketika sendiri, mereka merasa kesepian. Sedangkan di tempat lain, mereka bisa dengan mudah mendapatkan pasangan di hotel. Atau masuk hotel, menyalakan TV, dan mereka dapat dengan langsung menonton film porno. Dalam pernikahan yang baik sekalipun, jika orang sering bepergian, hubungan seks bisa terjadi dan terlihat. Ini bisa terjadi jika orang berpendapat, “Kalau ada kebutuhan, mengapa tidak dipenuhi?”

Namun, banyak juga wanita yang berselingkuh karena alasan ‘tidak merasa puas’ saat berhubungan seks dengan suaminya. Apakah hal ini benar?

Tidak! Mereka mencari orang lain karena berpikir, “Ah, dia bukan pasangan yang seimbang. Dia bukan partner seks yang baik.” Namun ketidakpuasan seksual pasangan seringkali karena hal lain.

Pertama, alat seksual pria maupun wanita kadang mengalami gangguan. Pria dalam kondisi tertentu, misalnya, tidak dapat ereksi. Wanita, misalnya, takut melakukan hubungan seks. Mengatasi masalah ini, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter/konselor pernikahan.

Kedua, kurangnya komunikasi. Aktivitas seksual dipengaruhi oleh dua komponen, kasih sayang dan genitalitas (hal-hal yang berhubungan dengan fisik/alat kelamin). Kasih sayang berkaitan dengan perhatian sehari-hari. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah kamu baik-baik saja? Suami saat pulang bisa bertanya dan membawakan bunga, misalnya. Untuk mencapai hubungan seks yang baik, komponen kasih sayang dan genitalitas harus seimbang.

Banyak orang mengharapkan hasil baik dengan komponen yang tidak seimbang. Atau mereka ingin hasil baik, tapi komponen pertama tidak baik. Saat pulang kerja, suami ingin seks, misalnya. Lalu istri dipaksa untuk meladeninya. Suami hanya mempersiapkan komponen kedua saja. Komponen pertama akan dicari istri di luar. Pasangan itu melihat bahwa orang lain lebih mampu memenuhi kebutuhan komponen pertamanya daripada suami/istrinya. Akhirnya, tak jarang mereka terlibat dalam hubungan gelap. Pria maupun wanita membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Wanita memang membutuhkan lebih banyak.

Bagaimana penyelewengan seks dilihat dari perspektif agama, kesehatan, dan psikologi?

Alkitab dengan jelas menekankan pernikahan sebagai hubungan antara seorang pria dan wanita. Hubungan seksual bisa dinikmati jika pasangan sudah mengikrarkan janji untuk hidup bersama selamanya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang berbeda. Manusia tidak bisa setia pada lebih dari satu orang. Fakta membuktikan bahwa pria yang memiliki lebih dari satu istri sering menghadapi banyak masalah.

Aspek psikologis juga dapat dilihat dari batasan pernikahan. Allah menciptakan pasangan hidup dari pria dan wanita yang diciptakan-Nya. Kondisi psikologis manusia, yang juga diciptakan Allah, tidak mampu menerima lebih dari satu pasangan. Manusia tidak bisa membagi pasangannya dengan orang lain. Manusia bisa membagi cintanya pada banyak orang, tetapi dia tidak bisa membagi istrinya dengan orang lain. Hal ini memiliki persamaan dengan konteks Alkitab. Allah mencintai dan membagi kasih-Nya kepada semua manusia, tetapi Allah tidak bisa membagi nama-Nya. Dia adalah satu-satunya Allah. Allah merasa cemburu jika manusia mempercayai pada dua nama. Umat Israel dilarang memiliki lebih dari satu Allah. Hubungan Allah dengan Israel digambarkan sebagai hubungan pernikahan. Atau lebih tepatnya, hubungan pernikahan mencerminkan hubungan Allah dengan umat-Nya. Kita juga memiliki naluri untuk cemburu terhadap pasangan kita jika mereka dekat dengan orang lain.

Sisi lain dari faktor psikologis adalah rasa bersalah dan ketidakamanan. Setelah suami/istri mengetahui bahwa pasangan mereka tidak setia, istri/suami akan merasa tidak aman, bahkan kehilangan kepercayaan pada pasangan mereka. Keduanya kehilangan rasa percaya satu sama lain. Mereka telah melanggar komitmen pernikahan. Komitmen ini sangat penting dalam perkawinan. Di sisi lain, seorang pria yang berselingkuh dan ketahuan istrinya, akan merasa takut bahwa istrinya akan membalasnya.

Penyelewengan pasangan atau hubungan seksual dengan banyak pasangan, dilihat dari sudut pandang medis, meningkatkan risiko penyakit kelamin seperti gonore, sifilis, kanker serviks (wanita), dan AIDS (penyakit yang belakangan ini populer). Penyakit ini tidak hanya mempengaruhi individu itu sendiri, tetapi juga dapat menular kepada istri dan anak-anak.

Rubrik tanya jawab tentang seks di media massa mungkin membenarkan penyelewengan dengan alasan kesehatan. Bagaimana pendapat dr. Lim Sok Bee?

Ini adalah pendapat ekstrem dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Jika ada psikiater/dokter yang menganjurkan hal tersebut, itu bukanlah solusi terbaik. Kembali ke ilustrasi kue dan gula tadi. Orang yang disuruh makan hanya gula pelapis akan merusak kesehatannya, memperburuk perilakunya, dan tidak akan menyelesaikan masalah. Dokter/psikiater itu hanya memberikan solusi sementara, bukan solusi permanen. Mereka menukar masalah kecil dengan masalah yang lebih besar.

Mungkin media hanya mencari sensasi. Jika dokter/psikiater benar-benar memperhatikan pemulihan pasien, mereka tidak akan menyarankan solusi seperti itu.

Apakah berhubungan seksual selalu dapat mengurangi stres atau ketegangan menurut pandangan medis?

Ini memisahkan seks dari aspek moral dan ajaran Alkitab. Secara teori, seks dapat mengurangi ketegangan dan membuat seseorang merasa santai. Namun, jika seks dilakukan di luar pernikahan, itu akan menimbulkan rasa tidak aman, perasaan bersalah, dan akibatnya semakin buruk bagi pasangan.

Jika ada dokter/psikiater yang menyarankan solusi dengan berhubungan seks, itu sama dengan memberikan obat penenang kepada seseorang yang sakit kepala. Sakit kepala akan segera hilang. Sangat efektif. Namun, setiap kali sakit kepala, orang tersebut akan diberi obat penenang. Lama-lama, bukan sakit kepala yang menjadi masalah, tetapi ketergantungan pada obat penenang. Itu adalah solusi yang berdampak negatif dan berbahaya.

Filosofi nasihat psikiater semacam itu adalah menghilangkan rasa sakit dalam hidup. Mereka tidak mengajarkan bagaimana menghadapi masalah secara sebenarnya. Sebaliknya, mereka mengajarkan bahwa tidak ada rasa sakit yang baik untukmu. Meskipun ada masalah dengan pasangan, ia mendorongmu untuk pergi berlibur. Di tempat tersebut, tidak akan ada masalah dan kamu tidak akan merasa stres. Tentu saja, di tempat liburan tidak ada masalah, tetapi ketika kembali ke rumah, masalah semakin bertambah dan lebih besar.

Hal yang sama berlaku untuk hubungan seks sebelum pernikahan. Banyak dokter/psikiater yang menganjurkan agar remaja tidak menahan naluri seksual mereka. Mereka tidak mengajarkan untuk menunggu. Jika ingin berhubungan seks, lakukan saja. Lepaskan hasrat seksualmu, itu baik. Filosofi ini mengajarkan bahwa menunggu itu tidak baik.

Bagi orang Kristen, pandangan berbeda. Dalam menunggu, kita tumbuh. Kita belajar menghargai diri sendiri dan pasangan kita. Melakukan hubungan seks setelah menikah berarti kita memperlakukan hal tersebut dengan istimewa.

Apa yang harus dilakukan jika pasangan Kristen menghadapi masalah seks?

Keduanya sebaiknya mulai berkonsultasi dengan dokter/psikiater. Istri dapat memeriksakan diri pada ginekolog (dokter kandungan) untuk mengetahui kondisi fisiknya. Selanjutnya, mereka dapat mengunjungi dokter/konselor pernikahan Kristen. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, masalah ini mungkin bukan terkait dengan komponen fisik (alat kelamin), melainkan komponen pertama (kasih sayang). Jika masalah terletak pada komponen pertama, seorang konselor dapat membantu. Pasangan yang mengalami masalah dengan komponen kedua tidak perlu malu untuk mencari bantuan konseling.

Apakah harus selalu menggunakan pertolongan konselor? Tidak dapatkah diselesaikan sendiri?

Tentu bisa. Tapi bila pasangan mengalami masalah sudah lama, menunjukkan mereka tidak mampu menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan masalah pernikahan, memang tidak selalu konselor. Mereka juga dapat meminta nasihat pasangan yang lebih tua atau pendeta yang kompeten. Tapi menjumpai dokter lebih baik. Dokter akan memberitahu apakah masalah yang pasangan hadapi kasih sayang atau fisik. Dalam masyarakat modern hubungan pasangan renggang banyak diakibatkan stres.

Menurut Bapak, penyelewengan bisa terjadi kalau keluarga tidak bertumbuh. Yang dimaksud dengan keluarga yang tidak bertumbuh itu seperti apa, Pak?

Tidak bertumbuh dalam komunikasi. Makin bertambah usia pasangan, mereka makin memiliki kebutuhan berbeda-beda. Setelah menikah setahun punya bayi, misalnya. Istri berhenti bekerja untuk merawat anak, setelah tiga tahun merawat anak, istri ingin kembali bekerja. Ia ingin berkembang. Jika suaminya tidak menyadari kebutuhan ini dan tidak memikirkan cara menolong, istrinya menjadi frustasi.

Tahun pertama pernikahan tidak sama dengan tahun ke lima. Kebutuhan berbeda di tahun pertama, ke lima, dan sepuluh. Oleh karena itu, mereka harus bertumbuh bersama-sama. Jika tidak berkomunikasi satu sama lain, mereka akan tumbuh sendiri-sendiri dan makin jauh. Pasangan, mungkin, disibukkan dengan kebutuhan dan memperhatikan anak-anak, tidak ada waktu bersama-sama, suami sibuk dengan pekerjaan, dan sebagainya. Hal-hal itu penting, tapi bukan yang terpenting.

Pernikahan bertumbuh artinya menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan pasangan kita. Kita memang ingin bertumbuh dalam segala bidang kehidupan. Setiap orang ingin bertumbuh dalam kehidupan kristiani, orangtua, mertua, adik-kakak, ipar, karier, dan sebagainya. Tingkat pertumbuhan tiap orang beda. Untuk menyamakan tingkat kebutuhan itu, suami istri harus saling berkomunikasi.

Untuk tidak menyalahgunakan seks sebelum menikah, apakah menurut Bapak pendidikan seks harus diberikan?

Ya. Pertama, seks sebaiknya diberitahu orangtua. Itu tanggungjawab keluarga. Seks lah yang menciptakan keluarga. Pendidikan seks harus ada dalam kurikulum kehidupan keluarga. Seks harus diberitahu sejak kanak-kanak dengan langsung maupun melalui kehidupan sehari-hari dalam keluarga.

Pengertian pendidikan seks disini luas, yaitu menjadi pribadi seksual dan seksualitas. Tuhan menciptakan manusia itu dua jenis. Laki-laki diciptakan seperti ini dan perempuan diciptakan seperti itu. Tuhan menciptakan kamu dengan jenis ini.

Seks, sebaiknya diberitahu sejak seseorang menyadari keberadaan tubuhnya. Saat anak laki-laki kecil bermain dengan penisnya, mimpi ‘basah’, misalnya, waktu yang tepat membicarakan seks dengan laki-laki. Sedangkan kesempatan memberitahu anak perempuan yaitu ketika pubertas (11-12 tahun). Buah dada mulai berkembang dan ketika datang menstruasi. Saat-saat seperti itu juga sangat baik membicarakan tentang arti menjadi seorang wanita.

Pendidikan seks juga tidak hanya memberitahu fakta dan perasaan. Ketika anak laki-laki bermain dengan alat kelaminnya, orangtua tidak boleh membentak. Lebih baik memberitahu faktanya. “Dipegang memang enak rasanya, Nak,” misalnya. Tapi kita harus memberitahu moral dan bersikap. “Tuhan menciptakan manusia memang mahluk seksualitas. Walaupun begitu bukan berarti harus dipegang. Kalo orang lain liat bagaimana? Malu kan?” bila memberitahu alat kelamin jangan menyebutnya “burung” atau “titit”, gunakan istilah yang benar sehingga anak-anak belajar menggunakan istilah yang benar. Ketika anak-anak makin besar, dapat diberitahu lebih banyak lagi. Peran keluarga memang sangat penting.

Kedua, pendidikan seks perlu diberikan di sekolah formal. Penekanannya jangan banyak pada teori. Teori dan moral harus diberikan seimbang. Ini tidak dapat dipisahkan.

Dalam masyarakat modern, pendidikan seks secara formal sangat menyedihkan. Pendidik hanya mengajar fakta seksual dan kontrasepsi. Mereka tidak mengajar moral dan tanggungjawabnya. Menyedihkan bukan?

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *