LIK AGUS MERDEKA:
Mengerjakan Hal Yang Bermakna

Hari gini, masih ada orang yang giat mengerjakan sesuatu yang tidak populer.
Padahal, peluang menuju popularitas itu terbuka lebar bahkan gampang diraih.
Adalah Agus Waryanto, sarjana Ilmu Pemerintahan dari UNDIP, Videographer,
Trainer, Script Writer dan Director Film di Yayasan Christopherus, bergiat
mengerjakan dengan setia produksi film-film Kristen di tengah dunia yang
menggilai popularitas ini. “Memutuskan untuk memroduksi film-film Kristen di
tengah dunia yang sekuler ini butuh perjuangan. Disamping tidak populer, juga
kurang diminati. Yang membanggakan, film-film itu jauh lebih unggul karena
pesan yang disampaikan adalah Firman Tuhan, “ tegas pemilik sapaan Lik Agus
Merdeka (Merasa Diberkati Kritus-red).

Dengan gaya bersahaja dibalut keramahan, suami Anna Yuliastanti dan ayahanda
dari Pita Merah Agani, menyambut Philip Ayus dari DIA di tempat gaweannya di
Semarang. Kepada Philip Ayus, Pria yang pernah menikmati pembinaan PERKANTAS di
masa kuliah dulu bercerita tentang perjalanan karirnya di dunia teater dan
film. “Christopherus concern memberitakan Firman Tuhan lewat media film. Sama
hal dengan teater kami. Yang membedakan, teater hanya bisa dinikmati sebatas
orang yang hadir. Namun bila difilmkan akan lebih banyak yang menyaksikan,
mendengar dan menikmati Firman itu. Itulah yang menjadi pertimbangan dan
memutuskan untuk bergabung. Kalau tetap magang, hasilnya akan setengah-setengah
juga. Padahal pekerjaan ini membutuhkan totalitas. Istilahnya, berani mati,
urip nengkene, ono duite, ora ono duite, podo wae…ha…ha…”, tuturnya lagi dengan
dibarengi tawanya yang khas. Berikut ini petikan wawancaranya:

Mohon menceritakan riwayat singkat hidup Lik Agus sejak kuliah
hingga saat ini?

Saya kuliah jurusan Ilmu Pemerintahan-FISIP di di Universitas Diponegoro
(UNDIP). Mengapa mengambil Ilmu Pemerintahan? Sejak dulu hingga sekarang, saya
ingin selalu mencoba sesuatu yang baru. Zaman SMA, jurusan itu hanya ada 2
pilihan. IPA dan IPS, tidak ada jurusan lain. Saya masuk IPA. Masuk fase
kuliah, ternyata ada banyak jurusannya. Hukum, politik, ekonomi dan
pemerintahan. Belum pernah dengar dan tahu Ilmu Pemerintahan itu seperti apa.
Saya putuskan untuk memilih jurusan itu. Kebiasaan orang Solo, setelah lulus
SMA itu lebih senang kuliah di Yogyakarta. Tapi tidak dengan saya. Saat semua
teman-teman berbondong-bondong kuliah ke Yogyakarta, kota Semarang jadi pilihan
saya. Itupun hanya ingin kuliah di UNDIP.

Ada cerita lucu dibalik jurusan Ilmu Pemerintahan ini. Setelah dinyatakan
lulus di UNDIP, saya harus daftar ulang. Ketika daftar ulang itu, sama sekali
tidak tahu kategori fakultas jurusan pilihan saya. Dan saat itu juga baru tahu,
bahwa di universitas itu dibagi ke beberapa fakultas. Setelah tanya sana-sini,
ternyata jurusan yang saya pilih itu itu dibawah naungan FISIP. Begitulah
kisahnya keberadaan di jurusan Ilmu Pemerintahan. Selama kuliah, secara teori,
saya termasuk orang yang cepat. Tapi lama dalam menggarap skripsi. Waktu itu,
sembari kuliah, saya bekerja dengan orang Korea. Saking lamanya sampai dapat
peringatan dari kampus. Agar tidak di DO, terpaksa perpanjangan waktu lewat
pembaruan angkatan….ha…ha…Ahirnya, selesai juga. Skripsi dikerjakan selama tiga
atau empat bulan dengan menggunakan proyek kilat khusus dengan sangat serius.

Sejak muda, Lik Agus ini sudah senang melawan arus sepertinya?
Ha..ha…Ya, saya senang dengan yang aneh-aneh. Banyak orang yang tidak senang…ya
wes biasa. Meskipun kadang-kadang, saya sering dibingungkan oleh tingkah laku
sendiri …ha…ha…

Lalu bagaimana kisahnya, dari Ilmu Pemerintahan kok berujung di
film?

Sejak SMA, saya sudah senang dunia teater. Sering nonton lomba teater antar
SMA. Setelah kuliah, bersama bersama teman-teman kost, sering kumpul-kumpul
sore. Dari pada ‘nganggur dan patantang-patenteng tidak jelas, lebih baik
nonton teater yang digelar oleh oleh BKM kampus sekali setahun. Sebagai orang
Kristen, saya terbiasa selalu menghubungkan setiap yang dilihat dengan
pelayanan. Dari menonton itu, timbul niat untuk buat teater bermuatan
pelayanan.

Sebenarnya, karir di film sudah saya mulai sejak dari Solo. Beberapa kali
ikut lomba naskah drama. Saat itu, saya juga terlibat pelayanan di sekolah
minggu remaja gereja. Setelah kuliah pun, setiap Sabtu dan Minggu, pulang ke
Solo. Dalam kesempatan itu, saya tetap membuat naskah drama. Jadi drama
pertama, saya garap di Solo. Kemudian, berkembang menjadi teater remaja dan
masih di Solo. Saya beri nama Teater Sumpret, asal kata dari Naviri. Karena
Solo kulturnya Jowo, maka Naviri itu dijawakan jadi Sumpret.

Mulai terkenal [ha…ha….].ketika diminta untuk menggarap pembukaan Kamp
Nasional Mahasiswa (KNM) yang diadakan di Solo. Kalau saya tidak keliru itu KNM
1992. Kebetulan Abraham, teman saya jadi Ketua Panitia. Dia minta tolong
membuat rancangan opening dan closing. Langsung ta gawe’i sing bergaya Solo.
Opening, saya buatkan dalam bentuk kirab model Solo. Closing, saya buatkan
dalam bentuk tari-tarian. Ternyata itu berkesan bagi orang-orang yang hadir.
Sejak itulah saya terkenal. Tawaran mulai berdatangan. Kemudian saya mendirikan
Teater Ortoddok. Ortoddok itu ringkasan dari Organisasi Orang yang Dididik dan
Diberkati oleh Kristus. Nama itu terinspirasi dari berkat Kristus atas hidup
yang tak berkesudahan. Hidup saya selalu enak, selalu senang […ha…ha….]. Inilah
respon saya atas berkat-berkat tersebut. Pentas perdana Ortoddok itu di Natal
PERKANTAS yang diadakan di Gereja Karang Saru, tgl. 16 Desember 1992. Sekaligus
inilah menjadi hari lahir teater ini. Tahun ini Ortoddok memasuki usia 18 tahun
dan masih eksis. Dan saya selalu dapat kunjungan dari mereka, khususnya
orang-orang yang baru bergabung.

Apa resepnya Ortoddok bisa sampai di usia itu?
Pada semua kawan yang bergabung di teater selalu ditekankan agar tidak menjadi
pengurus atau memiliki kesibukan disana-sini, cukup urus teater saja. Biasanya,
kalau nyambi, teater tidak akan jalan. Bila yang diingini agar teater ini tetap
eksis ya memang harus demikian. Hasilnya, tadinya teater ini hanya beranggotan
anak-anak FISIP dikemudian ada juga dari fakultas-fakultas lain bahkan juga
berbagai universitas. Perkembangan itu membuat kami pindah markas jadi ke
PERKANTAS, Jl. Sriwijaya itu. Sekarang markas tersebut sudah jadi gazebo tetapi
panggungnya masih tetap dipertahankan. Berani bergabung, selain jadi pilihan
juga harus komitmen. Cita-cita adalah kelak ada teater Kristen di Indonesia
yang terus bertahan. Nah, cerita lain, saking asyiknya berteater dan
persekutuan, nyaris saya di DO-kan dari kampus [.ha…ha….ha….].

Bagaimana bisa bergabung dengan Yayasan Christopherus?
Natal menjadi momen bagi Ortoddok pentas. Ketika kami pentas di suatu Natal,
Pak Andreas, pemilik Yayasan Christopherus, hadir. Beliau terkesan dengan
penampilan kami yang sangat sederhana tapi berdampak luar biasa. Pak Andreas
mencari tahu siapa orang dibalik penampilan sederhana itu. Pulang acara,
bersama dengan Ketua Panitia Natal tersebut, yang juga teman saya, mboncengi
mobil Pak Andreas. Singkat cerita, berkenalan dan beliau langsung meminta
kesediaan untuk membantu di Christoperus untuk pembuatan film. Saya diberi
undangan untuk datang ke lokasi shooting mereka. Di lokasi, biasalah darah seni
ini tidak mau diam, saya memberi masukan-masukan. Kembali Pak Andreas meminta
saya untuk bergabung. Bingung, karena saat itu posisi terikat kerja juga dengan
orang Korea. Saya tawarkan, bagaimana kalau jadi volunteer saja. Sesungguhnya
saya ini senang sekali mengerjakan hal-hal yang baru. Sejak itulah saya menjadi
dekat dengan Christopherus. Setelah wisuda, Christopherus ‘menagih’ lagi untuk
bergabung dibagian produksi dan pemasaran film. Ketika itu, hampir tidak ada
film Kristen di pasaran. Christopherus concern memberitakan Firman Tuhan lewat
media film. Sama hal dengan teater kami. Membedakan, teater hanya bisa
dinikmati sebatas orang yang hadir. Namun bila difilmkan akan lebih banyak yang
menyaksikan, mendengar dan menikmati Firman itu. Itulah yang menjadi
pertimbangan. Memutuskan untuk bergabung. Kalau tetap mangang, hasilnya akan
setengah-setengah juga. Padahal pekerjaan ini membutuhkan totalitas.
Isitlahnya, berani mati, urip nengkene, ono duite, ora ono duite, podo wae.

Sejauhmana film-film produksi Christopherus mempengaruhi pasar?
Sampai sekarang Christopherus tetap pada pilihan menghasilkan film-film
Kristen. Dan Puji Tuhan, untuk pemasaran seluruh Indonesia sudah dijangkau.
Saat ini kami sedang bikin dua film lagi. Satu judulnya Ramalan Maut sedang
editing. Satu lagi Perang Santet 2. Film ini kelanjutan dari Perang Santet 1
yang bercerita tentang perdukunan Jawa. Film ini menyingkapkan pekerjaan iblis
yang bersembunyi dibalik kepercayaan-kepercayaan Jawa. Film ini dipakai oleh
seorang Missionaries untuk penginjilan di daerah Minahasa. Hasilnya, ada
sekitar 60 jiwa yang bertobat dan minta dibaptis. Kesaksian ini tak hanya berhenti
di Minahasa tapi terbawa juga sampai ke Amerika. Missionaries ini berkata media
film sangat efektif untuk pengijilan. Waktu film ini diputar di sana, ada
seorang Indonesia yang mendengar dan menyaksikan. Dia digerakkan Tuhan untuk
mensponsori Christopherus untuk membuat film sejenis. Perang Santet 2,
mengisahkan tentang perdukunan Tionghoa. Perdukunan suhu-suhu. Film ini juga
sedang proses editing. Rencana awal bulan Agustus Ramalan Maut dan Perang
Santet 2 akan diterbitkan. Satu lagi film yang sedang dikerjakan adalah balet
musikal dengan judul Cinta Balerina. Film ini untuk umum tapi bernapaskan
Kristen. Saya ambil tema film ini dari Hati yang Gembira adalah Obat. Itulah
kisahnya, mengapa orang pemerintahan ini kog mecle ke dunia film. Ternyata saya
lebih berbahagia di bidang ini dibanding bila menekuni bidang politik yang
carut-marut itu […ha…ha…]. Saya orang yang paling berbahagia karena saya
memilih ikut politik sorgawi. Yang saya kerjakan adalah pergerakan Tuhan.
Dengan membuat karya-karya menyampaikan Firman melalui film.

Menurut Lik Agus, apa yang jadi keunggulan dari media ini?
Sangat banyak, tentunya. Misalnya, jika dibanging dengan drama. Di pentaskan
hanya disatu tempat. Ditonton oleh orang terbatas. Seberapa banyak pentas yang
bisa dikerjakan. Sepuluh kali pentas saja sudah capek rasanya, dan sudah
karu-karuan. Bicara film, satu kali produksi, terus cetak banyak, edarkan
dimana saja. Kemudian bisa diputar di mana saja. Walau saya tidur di Semarang,
ketika film itu diputar di tempat lain, itu artinya saya sedang pentas. Sedang
menyampaikan Firman. Hanya memang pemainnya masih kaku-kaku [….ha…ha…] . Saya
memang tidak pernah pakai bintang terkenal. Toh film ini tidak tergantung pada
pemain tetapi kepada Tuhan. Beban saya, kiranya kekayaan etnis Indonesia bisa
diangkat ke permukaan. Dari segi itu Indonesia sangat luar biasa. Saya ingin
mengangkat film-film dengan tema etnis. Menggambarkan kekayaan etnis Indonesia
tetapi ada iman Kristen didalamnya. Sebenarnya, kita sudah bikin itu sebelum
Laskar Pelangi muncul, judulnya Sandal Simon. Film anak Maluku dan Halmahera.
Logatnya, gayanya, suasananya, lagunya, semua milik mereka. Multi etnis, multi
bahasa, memberi warna tetapi tetap ada Kristus didalamnya. Sebuah
keluarbiasaan, bila itu ditonjolkan di zaman gandrung bahasa asing ini. Zaman
yang berbangga dengan kemiskinan di tengah kekayaan Indonesia. Saya ingin
menawarkan konsep ini kepada beberapa orang pengusaha yang berasal dari ragam
suku itu. Berharap mereka mau jadi sponsor.

Keunggulan lain adalah untuk pemainnya. Seperti film Sandal Simon. Semua
pemainnya adalah anak-anak korban sebuah peristiwa di daerahnya. Kemudian
mereka diungsikan ke panti asuhan di Solo. Anak-anak yang tadinya traumatis,
perlu belas kasihan, takut begitu menyaksikan film mereka, muncul rasa bangga
dan percaya diri. Buatlah film yang bukan sekedar film. Tapi buatlah film
sebagai media untuk mendidik dan yang terutama dapat menyampaikan Firman. Kalau
bisa, satu saat kelak ada film rohani berbagai suku di Indonesia ini. Entah itu
film anak-anak, film remaja, maupun film orang dewasa. Sekarang ini saya sedang
membuat skenario untuk Sumba. Judulnya Kudaku, Motorku. Gendernya film
keluarga. Skenario dikerjakan dan bahasanya dikonsultasikan. Saya akan tinggal
selama satu bulan di sana untuk melatih, dan bikin produksi.

Di zaman digital ini, sebenarnya sudah tidak dibutukan banyak tenaga, cukup
tiga atau empat orang saja. Sehingga biaya 100 juta sudah bisa buat satu film.
Jika semua pengusaha Kristen mau jadi produser untuk satu film saja, luar biasa
bukan? Dampaknya memberi pengaruh kepada banyak orang.

Biasanya ide-ide itu muncul darimana saja?
Bisa berdasarkan pesanan. Pemesan menceritakan kisahnya, lalu kami buatkan
skenarionya. Bisa juga datang dari satu peristiwa. Misalnya peredaran narkoba
di kalangan masyarakat dan bahayanya. Kami juga sudah memroduksi satu film
tentang narkoba ini, judulnya Jerat Maut Narkoba. Untuk pembuatan film,
biasanya selalu diadakan survei dan riset terlebih dulu. Pernah juga kami dapat
tawaran dari GPdI. Tema pelayanan mereka waktu itu adalah tentang doa
anak-anak. Adakan pertemuan dengan mereka, setelah itu kami buatkan film
berjudul Airmata Doa. Puji Tuhan, ada saja orang yang minat. Bahkan ada satu
orang Jakarta sudah sponsori 6 film kami. Dia itu bukan pengusaha, tetapi dia
orang biasa. Dia memang ingin melalui film ini Firman Tuhan dapat
disebarluaskan. Ide bisa datang dari seseorang, misalnya dia menceritakan
pengalaman rohaninya. Lalu dibuatkan skenarionya, sebelum difilmkan cerita
tersebut diuji dulu dari segi theologia. Setelah itu baru dikerjakan.

Sekarang ini audiovisual sudah terserap di kalangan masyarakat, bahkan
banyak sekali tayangan-tayangan, seperti; misteri, sinetron, komedi-komedi,
reality show, dll. Sebagian orang berpendapat bahwa itu menambah pengetahuan
dan membuat orang lebih kreatif, pendapat Lik Agus?
Buat saya kreativitas adalah apabila makin menikmati hadirat Kristus. Setiap
karya saya sesungguhnya sedang menikmati kreativitas-NYA. Tuhan itu adalah
Tuhan yang sangat kreatif. Saya tidak mengenal kreativitas lain di luar ini.
DIA menciptakan bunga saja sudah berjenis-jenis. Mawar saja, jenisnya piro?
Asu, jenisnya bermacam-macam, buntutnya saja berbeda-beda. Burung, dll. Asal
kita menyatu dengan Tuhan maka kita tidak akan pernah kekurangan kratifitas.
Sumber utama kreativitas adalah Kristus itu sendiri, Tuhan itu sendiri. Makanya
dekat-dekatlah dengan DIA.

Sekarang ini kan banyak sekali paham-paham yang tidak sesuai dengan
pengajaran Alkitab yang ditayangankan di televisi. Bagaimana Christhoperus atau
Lik Agus menyikapi ini?

Tayangan umum itu kan sangat jelas seleranya kedagingan. Dunia yang sudah jatuh
ke dalam dosa ini, seleranya adalah selera dosa. Maka jika mau cari untung,
disitulah tempatnya. Buatlah program-program yang cocok dengan daging. Otomatis
akan laku. Malah makin rusuh maka makin laku. Makin saru ya makin laku. Itu
kebiasaan dosa. Tapi kami memilih tidak berada di area itu. Perintah Tuhan
adalah setiap anak-NYA haruslah mengerjakan hal yang bermakna. Hal yang
bermanfaat bagi banyak orang. Hal yang dapat menyampaikan Firman kepada semua
orang. Hendaklah kamu dipimpin oleh ROH. Tidak sesederhana itu memang. Tapi mau
apalagi, kita ini berada dalam dunia yang demikian. Mulailah perubahan itu dari
keluarga. Saya seperti ini karena ada orang yang setia berdoa. Ibu dan Bapak
saya. Hal yang sama juga saya lakukan untuk anak. Lha, bagimana membawa
anak-anaknya ke Kristus, kalau orangtuanya sendiri menikmati tontonan daging.
Bagaimana bisa melarang anak kalau orangtuanya juga suka. Kebiasaan anak-anak
itu dianut dari orangtuanya.

Untuk mengcounter program-program daging ini, kita tidak bisa bim sala bim.
Realistis sajalah, ingin melawan, malah kita yang ngos-ngosan. Dari segi modal,
mereka lebih besar. Perlengakapan dan fasilitas, mereka lebih canggih. Studio
dan penyebaran, mereka lebih mewah. Makanya, seberapa yang bisa, kerjakan untuk
kebaikan ya kerjakan. Memang apa yang kami kerjakan ini tidak populer tapi jauh
lebih unggul. Mengapa? Karena menyampaikan pesan Kristus. Walau Perang Santet
tak sepopuler Titanic tapi Perang Santet jauh lebih unggul. Visi itu harus
jelas. Harus terus dipertahankan. Jangan sampai film kita tidak menyampaikan
tentang Kristus. Christopherus sangat teguh dengan pilihan ini

Bagaimana perkembangan teater seni seperti ini di kalangan anak-anak
muda saat ini?

Sampai kini teater masih tetap jalan. Tapi zaman digital ini merupakan
kesempatan. Dulu orang membuat film itu harus di studio yang mahal dan canggih.
Namun era digital semua orang sudah bisa jadi sutradara Semua orang bisa bikin
film. Semua orang bisa jadi produser. Tinggal bagaimana anak-anak Tuhan ini
diberi kesadaran moral. Jika tidak bermoral maka tidak akan mengenal dan
menikmati Tuhan. Nanti karyanyapun jadi video-video porno, seperti yang marak
beredar akhir-akhir ini. Sekarang ini saya menjelajah ke arah pendidikan.
Selain produksi film, saya juga nyambi jadi dosen di STIKOM untuk Videografi.
Saya menekankan moralitas dulu kepada mereka sebelum menggunakan alat-alat
tersebut. Saya bertanggungjawab terhadap anak-anak didik dan juga terhadap
masyarakat di Indonesia.

Kemarin nyambang ke Taiwan, boleh tahu dalam rangka apa?
Memang setiap tahun saya ada program kunjungan-kunjungan. Itu merupakan
kegiatan rutin yang biasa. Semakin menikmati Kristus di seluruh dunia
[…ha….ha…], mengenai kegiatan disana off the record aja ya…anggap saja hiburan
musim panas […ha….ha…].

Saran apa yang ingin Lik Agus sampaikan untuk anak-anak muda Kristen
dalam hal teater dan perfilman ini?

Dapat dan cari kesempatan, mumpung sekarang itu dunia digital. Apa saja bisa
kamu jadikan film. Misalnya tentang KTB atau kelompok-kelompok pembinaan
lainnya. Buatlah suguhan-suguhan pengajaran yang sehat. Seberapa yang kamu bisa
itu dulu yang dikerjakan. Jangan langsung ingin sempurna. Dua skenario pertama
saya masuk gudang kok, tapi saya tidak menyerah. Dasar sinematographi itu
sederhana. Era digital ini harus dimanfaatkan, tidak harus menunggu yang pakar
untuk mengerjakan, kamu juga bisa, siapa saja bisa. Misalnya, di sekolah
minggu, bagaimana menceritakan anak yang hilang. Buatkan saja dulu ceritanya,
kemudian latih anak-anak sekolah minggu menjadi pemain dalam cerita, kemudian
shooting, gampang dan sederhana kan. Tapi dampak yang ditimbulkan akan sangat
luar biasa.

Sekarang lebih banyak iblis menggunakan digital daripada anak-anak Tuhan.
Padahal Tuhanlah yang menciptakannya. Untuk generasi kini, yang dilihat dan
didengar itu akan lebih nyantol dibanding membaca. Jadi manfaatkanlah untuk
meneruskan dan mengalirkan kasih Kristus kepada semua orang tanpa kecuali.
Selain itu film-film juga bisa mendidik dan membuka wawasan berpikir anak.
Seperti selama ini, mungkin di film mereka menyaksikan ada orang mati ditembak
dan mati. Tetapi ketika mereka diajak terlibat dalam pembuatan film, dan ada
aksi yang demikian, maka mereka jadinya mengerti, oh ternyata itu
bohong-bohongan. Ini contoh pendidikan yang sederhana. Tapi yang utama adalah
sampaikan Firman Tuhan dengan melalui audiovisual. Selamat melayani Tuhan….

_______
*diterbitkan di majalah Dia edisi Agustus 2010, transkripsi oleh Ellys
Manalu

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Mengerjakan Hal Yang Bermakna”