Annie, Monica, & Ratna:
Perempuan, Kodrat atau Eksistensi Diri?

Bagaimana sesungguhnya kodrat perempuan? Mengapa timbul Gender? Lalu bagaimana kedudukan perempuani sekarang? Sejauh mana emansipasi berhasil dalam mengangkatpesamaan hak? Mengapa di negara yang emansipisi tidak menjadi masalah timbul gerakan feminimisme? Bagaimana perempuan Kristen menempatkan dirinya sesuai dengankedudukan yang diberikan Allah?

Untuk mengungkapkan fungsi dan peranan perempuanzaman ini, selain referensi perpustakaan, DIA juga mewawancarai Annie Bertha Simamora, wartawan senior Suara Pembaruan; Ir. Monica Indraningsih Indrawan, ibu rumah tangga; Ir. Ratna Kunala Dewandaru, ibu rumah tangga yang pernah menjadi karyawan PT Indosat.

Perempuan Ciptaan Allah

Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), hal. 448, menyebut kodrat adalah sesuatu yang tidak mampu manusia tantang – atas dirinya sebagai makhluk hidup. Keberadaan itu harus diterima, bukan ditentang. Misalnya seorang perempuan harus mengandung dan menyusui.

Monica melihat keberadaan perempuan dari Hawa, perempuan pertama yang dicipta Allah. Dari penciptaan Hawa tersebut dapat kita lihat peranan wanita. Pertama, perempuan adalah penolong sepadan. Menurutnya, pemolongsepadan itu dapat diperluas artinya yaitu bukan sekedar mengurusrumah tangga tetapi juga sebagai penolong suami. Ia dapat membuat pekerjaan dan pelayanan suami berhasil. Sebaliknya ia pun dapat menghancurkan pekerjaan dan pelayanan suami. “Bila perempuan ingin menjadi penolong sepadan, ia harus mempunyai konsep yang benar tentang tujuan Allah menciptakan perempuan. Kedua yang tidak kalah pentingnya, adalah menjadi rekan sekerja Allah dalam prokeasi (melahirkan) keturunan,” tutur ibu dari tiga anak ini.

Sedangkan Ratna Kumala Dewandaru melihat bahwa perempuan yang dicipta Allah juga mempunyai hakazasi yaitu hak hidup, hak memilih,hak belajar serta hak berkarya dan berkreasi. “Hak yang sama dengan pria tersebut, tidak bisa dicabut oleh orang lain. Setiap orang dapat memilih dirinya mau apa, bekerja di mana, ibu rumah tangga atau tidak dan sebagainya,” cetus Ratna Kumala Dewandaru yang biasa dipanggil Thea ini. Allah menciptakan perempuan sesuai dengan kehendak-Nya(baca:kodrat) namun juga memberi kebebasan kepada perempuan untuk memilih. Bagaimana dengan pandangan bahwa seorang harus menyapu,mencuci dan sebagainya? Kodratkah itu? Itulah sesungguhnya yang disebut dengan’gender’. Tugas-tugas itu melekat dalam diri perempuan seiring dengan fungsinya dalam rumah tangga. Karena berlangsung lama turun temurun akhirnya membudaya. Kemudian orang menganggapnya sebagai kodrat. Kelihatannya ‘gender’ inilah yang hendak diluruskan oleh gerakan emansipasi.

Dampak Emansipasi

Gerakan emansipasi memang membawa perubahan setidaknya kini semakin terlihat luasnya peran dan tanggungjawab wanita.

Monica yang menikah 1979 mengutarakan bahwa secara fungsi perempuan tidak berubah. Hanya peran perempuan yang berubah. Perubahan itu, menurutnya, masih harus diperhatikan lagi. Karena perempuan di perdesaaan dengan di perkotaan keadaannya sangat lain.

Thea, yang pernah menjadi karyawan PT Indosat, mendukung pendapat Monica. Perempuan di perkotaan, di negara-negara Asia saat ini, khusunya Indonesia, mulai menampakkan perannya. Keadaan di Indonesia menurut Thea, di pengaruh oleh dua hal. Pertama, di pengaruhi oleh gerakan emansipasi yang dipelopori Kartini. Kedua, pengaruh perkembangan perempuan negara maju. “Apalagi Indonesia negara sangat terbuka dengan kemajuan teknologi. Mau tidak mau pasti ada pengaruh luar,” ungkap ibu dua putera yang baru dia tahun menetap di Indonesia ini setelah dua tahun tinggal di Amerika.

Meskipun mengakui adanya dampak emansipas, Annie Bertha masih mempertanyakan kualitas peran perempuan di banding tahun-tahun sebelumnya. Dari pengalamannya terlibat dalam pengembangan Sumber Daya Manusia, ia mempertanyakan keberadaan buruh perempuan Indonesia. Annie membandingkan upah yang diterima seorang buruh dengan upah pembantunya. Walaupun secara angka lebih besar diterima buruh, ia tetap menganggap lebih layak upah pembantunya. “Pembantu seatap dengan saya tanpa bayar, makanan ‘depan’ sama dengan ‘belakang’, bila saya jajan, dia ikut jajan dan bila bepergian dari luar kota/negri saya bawakan ‘buah tangan’. Kain dengan buruh. Ia menerima upah saja. Hal-hal seperti biaya sakit, pondokan, makan, transportasi dan lain-lain harus ditanggungnya. Jangan heran bula para buruh sekost berdesak-desakan dalam kost,” papar Annie yang lahir 16 April 1941 ini. menurut Annie keberadaan buruh wanita harys diperhatikan.

Kalau para ahli banyak mempermasalahkan emansipasi, lalu bagaimana sesungguhnya pendapat perempuan itu sendiri pada umumnya? Hal itu diungkapkan oleh Marcelis Molo(dimuat dalam Majalah Dua Mingguan Sarinah, April’94 no. 299) dengan melakukan penelitian terhadap 352 perempuan di.satu desa- Jawa Tengah. Hasilnya lebih dari 60%perempuan tetap memilih bekerja meskipun hidup berkecukupan dan mendapat hartawarisan sangat besar. Alasannya? Takut terisolasi dan kesepian. Sementara alasan lainnya, tidak mau tergantung pada suami(15%) dan takut kehilangan pengalaman di luar rumah(16%) Dari penelitian tersebut,Marcelinus Molo menyimpulkan, “Dengan bekerja di luar rumah perempuan mempertahankan jaringan sosial dengan orang lain, termasuk mempertahankan kesehatan jiwa mereka.”

Perempuan Di Lingkungan Kerja

Emansipasi memang tidak mengobah pandangan sebagian orang terhadap karya perempuan. Perempuan bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding pria. Thea yang pernah membawahi tujuh insinyur pria, Secara prinsip tidak ada masalah bagi perempuan menjadi kepala apalagi bila perempuan itu berdasarkan seleksi. Walaupun kadang-kadang emosi perempuan lebih besar dari pria, tapi melalui pendidikan dan pengalaman ia akan dapat menkontrolnya  oleh karena itu, “Bila pendidikan dan kesempatan sama, pria belum tentu lebih profesional. Kalau perempuan mampu mengapa tidak?” kata Thea dengan semangat. Kendala tentu saja ada. “Kendala ‘besar’ jika perempuan yang menjadi kepala seusia denganpria bawahannya. Kendala dapat berkurang bila ternyata perempuan dapat menunjukkan kemampuannya. Bila perempuan lebih tua dan memiliki sifat keibuan, maka akan sangat menolong hubungannya dengan pria sebagai bawahannya.” Tutur Thea lebih lanjut.

Thea melihat ke masa depan bahwa pria akan terbiasa bekerja sama dengan perempuan ‘Apalagi di era informasi dan teknologi ini tenaga yang dibutuhkan bukan hanya sekedar berdasar kekuatan dan rasio, tapi juga kehalusan dan ketelitian . ” High tech itu membutuhkan pengaturan, pengawasan, tangan ‘halus’ dan insting tinggi. Untuk bagian seperti itu perempuan biasanya lebih mampu,” ujar Thea.

Annie Bertha yang dilahirkan di Luwuk -Sulawesi Tenggara mengatakan, bila perempuan mampu menempati kedudukal tinggi sehingga membawahi banyak pria,ia harus bersikap: pertama, lebih arif dan bijaksana karena ia tinggal di negara Asia, yang budaya menempatkan laki-laki masih lebih tinggi daripada perempuan. Kedua, menunjukkan kemampuan yang nyata, sehingga. Semakin lama peran perempuan tidak menjadi masalah

  1. Ketiga, jadilah contoh dan binalahperempuan lain. la harus berpikir, ‘kalau saya bisa masa orang lain tidak bisa”.

Dengan kedudukan itu, perempuan memiliki kesempatan berada di tengah-tengah mayarakat luas. Ia harus membagi keterampilan yang dimilikinya pada perempuan lain melalui seminar, lokakarya dan sebagainya.

Sikap Wanita

Dalam dunia yang modern ini, ketika peran wanita telah diakui, para wanita harus pandai bersikap, bagaimana mereka mendudukkan dirinya dalam masyarakat dan keluarga.Thea mencontohkan dirinya ketika saat itu dia harus memilih: mendampingi suami dan merawat anak mereka yang balita, atau tetap bekerja.”Akhirnya saya memilih berhenti bekerja karena itu prioritas saya sebelum menikah. “Kata Thea. Menurutnya memang berat ketika ia memutuskan berhenti bekerja, apalagi menjalani hari-hari itu. Kadang-kadang, katanya, ia merasa menyesal tetapi akhirnya ia kembali melihat komitmen dan prioritas keluarga.

Lebih lanjut Thea mengungkapkan bila perempuan berpendidikan tinggi memutuskan secara total berhenti, berkarir kemudian menjadi ibu rumah tangga ia harus memikirkannya dua kali. Jangan sampai ketika menjalani kehidupan dirumah, ia kehilangan aktualisasi dan identitas diri. Karena penghargaan, pujian, informasi tentang pekerjaan, berhenti.Bila tidak disadari sepenuhnya bisa membuat perempuan yang berpendidikan tinggi itu cepat emosi dan menjadi perasa. Apalagi bila suami tidak mendukung danmelihat kebutuhan isteri,maka ia bisa kehilangan percaya diri “Ia akan merasa terkungkung dan tidak berhargai. Namun bila ia sudah mantap dalam mengambil sikap dan pengertian suami memberi pengertian serta pemahaman dan penghargaan akan sikap tersebut, maka istri akan tetap eksis,” tutur perempuan yang sangat berminat pada dunia pertelekomunikasian ini. meski tidak berkarir lagi, minatnya terhadap dunia telekomunikasian tetap tersalur, sebab suaminya bekerja di PT. Indosat, tempat Thea bekerja dulu. “Suami menjadi penghiburan dan penyalur minat saya,” tambahnya.

Meskipun Monica juga bisa berkarir namun ia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga secara total. Untuk bisa menjalani hidup dengan indah ia memandang karier suami, sebagai tanggungjawab juga. Untuk mendukung karier suami, ia membantu suaminya dalam hal-hal tertentu. Bila suaminya hendak memberikan ceramah yang memerlukan refrensi beberapa buku, ia akan mencarikannya dan membacanya. Kemudian mereka mendiskusikan bersama. Begitu juga jadwal suaminya, ia ketahui. Walalupun suaminya orang yang sangat sibuk, ia tetap mengetahui dimana dan sedang apa. “Apalagi suami saya suka memberi asisten kepada mahasiswa, bila kita tidak ikut perkembangan mana bisa ikut mengarahkan mahasiswa yang datang ke rumah,” tutur perempuan yang juga ikut pekerjaan yang dibawa suaminya ke rumah.

Selain menjadi asisten suami dalam karier, Monica juga menjadi ‘penjaga gawang’ keluarga. Walaupun ia tidak bekerja sesuai bidangnya, perempuan yang dilahirkan 7 Januari 1953 ini mengakui bahwa ia tetap memiliki karier. Yaitu karier mendampingi suaminya.

Ia tidak gundah atau merasa rendah diri melihat kesibukan suami dalam pekerjaan dan pelayanan. Menurutnya, tugas yang diembannya sebagai sebagai ibu rumah tangga adalah memberi pengertian kepada “Ini penting karena pada hari libur, anak-anak lain pergi dengan ayahnya. Sementara mereka hanya sekali sebulan. Di tengah protes anak-anak itulah saya berperan. Anak-anak harus dijelaskan dengan bijaksana. Karena itu saya sering mengajak mereka berdoa ketika ayah mereka bekerja atau pelayanan,” ujar ibu yang merawat sendiri anaknya sejak bayi ini.

Ya, meskipun gerakan emansipasi begitu populer, namun ternyata wanita tidak asal menggebrak. Mereka tidak memikirkan fungsi dan kodrat mereka sebagai wanita. Hal ini terlihat dari tidak sedikitnya wanita yang tetap memilih tidak berkarier diluar rumah meski mereka berpendidikan tinggi. Anie Bertha bahkan memberi alternatif yang lebih tegas dalam mendudukkan wanita. Menurut Anie, wanita bisa memilih menikah atau tidak. Bila ia memilih berkeluarga, maka ia harus memprioritaskan keluarga. Bila ia ingin tetap bekerja, menurut Anie yang sering mengikuti kunjungan Presiden Soeharto ke luar negri ini, perempuan harus memperhatikan dan melakukan pengaturan waktu dengan efisien. “Perempuan tidak boleh mengorbankan keluarga demi karier. Iya ding. Setuju?

**Majalah DIA, Edisi 2/1994

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *