Jumlah 40 tahun dalam Perjanjian Lamabermakna simbolis sebagai periode kedewasaan untuk memikul suatu tanggung jawab besar. Pada usia itu, Ishak dan Esau menikah (Kej. 25:20; 26:34), Musa memiliki keinginan untuk mengunjungi saudara-saudaranya sebangsa (Kel. 2:11; Kis. 7:23), Yosua diutus Musa untuk mengintai tanah Kanaan (Yos. 14:7), Ishboset bin Saul memerintah sebagai raja (2Sam. 2:10). Jumlah 40 tahun juga sebuah periode habisnya sebuah generasi (Bil. 14:33; 32:13). Periode 40 tahun juga mewakili genapnya pemerintahan hakim (Hak. 3:11; 8:28; 1Sam. 4:18) dan raja di Israel (2Sam. 5:4; 1Raj. 11:42; 2Taw. 24:1), sebagai tanda Tuhan berkenan.
Perkantas memasuki usia ke-40. Kedewasaan sudah tentu karakteristiknya. Semakin berkibar di Nusantara. Semakin solid organisasinya. Namun, itu tentu bukan puncak capaian Perkantas. Sebagai organisasi pengkaderan (pemuridan), pelayanan Perkantas tak pernah tuntas. Ia wajib meregenerasi dan mereformasi diri agar visi para pendiri dapat diterjemahkan dalam zaman dan tantangan berbeda. Jika paradigma lama masih menjadi paradigma pelayanan masa kini, niscaya sebagian besar kerja keras akan menjadi tak relevan (anakronisme). Generasi baru harus membangun di atas fondasi yang sudah diletakkan pendahulu. Generasi baru bertanggung jawab menyelesaikan etape baru dan mewariskan sesuatu kepada generasi berikut agar mampu menyelesaikan etape selanjutnya.
Sebagai sebuah lembaga yang bermisi, Perkantas dikenal dengan slogan “student today, leader tomorrow.” Sekarang mahasiswa tapi besok memimpin. Visi Perkantas jauh sekali ke depan. Mencetak kader-kader pemimpin. Dengan pemuridan sebagai metode dasar pengkaderannya, murid Kristus dipersiapkan untuk memiliki karakter pemimpin. Memang tidak berarti semua binaan Perkantas akan menjadi pemimpin formal, namun jelas pembentukan watak pemimpin menjadi sebuah proses yang disengajakan. Penginjilan dan pelipatgandaan Perkantas dalam konteks pemuridan, bukan dalam rangka pertumbuhan gereja. Itulah yang membedakan Perkantas dari gereja institusional.
Pada awal perkembangan-nya, Perkantas merupakan sebuah gerakan. Gerakan membaca Alkitab. Tidak hanya jadi pembaca setia, tetapi juga pelaku firman. Pembinaan di Perkantas kental dengan proyek ketaatan yang terprogram. Dalam arti itu, kehadiran Perkantas seperti oasis di tengah kehidupan gereja yang gersang. Gereja melihat Perkantas sebagai alternatif, bukan saingan, jalan menjadi murid Kristus. Pertanyaannya, dengan Perkantas yang menasional, dapat mengkonsolidasi diri dan mandiri, apakah ciri gerakan perlu ditinggalkan? Apakah Perkantas perlu membentuk front dengan garis pembatas yang bakal membuat Perkantas memiliki kawan dan lawan yang jelas?
Menurut kelahirannya, Perkantas di Indonesia amat dipengaruhi fundamentalisme Kristen di AS daripada evangelikalisme yang muncul kemudian untuk mengoreksi ekses fundamentalisme. Banyak kaum injili masih terperangkap paradigma fundamentalisme dan merasa nyaman di dalamnya. Dari Perkantas sebenarnya dapat diharapkan suatu tradisi injili yang menerobos stagnasi itu, kalau orang Kristen mau menjadi berkat bagi bangsa, sesuai dengan visi besar Perkantas. Evangelikalisme tidak berhenti pada kesalehan individual, tetapi juga menjadikan perubahan sosial sebagai target pembaruan.
Secara sosiologis, memang awalnya masyarakat dibentuk oleh individu-individu. Setelah itu, terbentuk struktur masyarakat yang otonom. Maka, soalnya bukan hanya individu yang berdosa, tetapi juga struktur-struktur berdosa yang otonom. Dosa terstruktur. Jika dosa individual diselesaikan secara pribadi dengan pertobatan individual, tidak demikian dengan dosa terstruktur. Struktur berdosa perlu dibongkar dan diganti dengan struktur baru yang tidak memerangkap manusia ke dalam dosa dan nista.
John Newton, penulis lagu “Sangat Besar Anugerah-Mu” (Amazing Grace), tadinya adalah pemilik kapal pengangkut budak. Dalam perjalanan kembali ke Inggris dari Guinea, Afrika, kapalnya terjebak badai besar. Saat itulah ia bertobat. Sekembalinya ke Inggris, ia meninggalkan bisnis perdagangan budak dan beberapa tahun kemudian ditahbiskan di Gereja Anglikan Inggris. Tahun 1785, John Newton berkenalan dengan William Wilberforce yang lebih muda, anggota parlemen Inggris yang juga baru bertobat.
Wilberforce sedang bingung apakah ia harus keluar dari parlemen dan mempersiapkan diri jadi pendeta. Namun, Newton mendorongnya untuk tetap di parlemen dan menjalani panggilan Tuhan sebagai politikus. Wilberforce akhirnya mengaku, “Allah Yang Mahakuasa telah meletakkan dua tujuan besar di hadapanku: penumpasan perdagangan budak dan pembaruan moralitas publik.” Ia berjuang selama 48 tahun sebelum undang-undang yang melarang perbudakan itu lolos di parlemen pada tanggal 26 Juli 1833. Dan Wilberforce meninggal tiga hari kemudian. Demikianlah John Newton dan William Wilberforce tercatat sebagai tokoh kunci dalam sejarah penghapusan perbudakan di Inggris.
Idealnya penginjilan verbal dan aksi sosial jalan bersama, tidak saling mengeksklusikan. Itulah posisi teologis tokoh evangelikal seperti John Stott. Mana yang menjadi prioritas tergantung situasi dan panggilan masing-masing. Yang jelas, Injil juga memiliki aspek sosial. Sesuai dengan keutuhan Injil, kita terpanggil untuk menghadapi all kinds of evil, tidak hanya spiritual evil.
——————————
*Dituliskan oleh Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan anggota Badan Pengawas Yayasan Perkantas
**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi I, tahun 2011