Dari Redaksi:
Infodemi, Wabah Era Informasi

Awal bulan Maret, Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua pasien yang sedang dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, dengan diagnosa positif terinfeksi virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini merupakan penyebab penyakit yang sedang mewabah di seluruh dunia, yakni coronavirus disease (COVID-19). Kedua pasien tersebut, menurut keterangan presiden, tertular dari warga Jepang yang sempat mengikuti acara internasional yang juga mereka hadiri di bulan Februari. Warga Jepang tersebut didiagnosa terjangkit COVID-19 sewaktu memeriksakan diri di Malaysia.

Pascapengumuman itu, terjadi “sedikit” kepanikan massal. Salah satu gejalanya: aksi borong dan timbun masker kesehatan, yang mengakibatkan kelangkaan stok dan kenaikan harga hingga lebih dari sepuluh kali lipat. Tak hanya di Jakarta dan sekitarnya, kelangkaan serta kenaikan gila-gilaan harga masker kesehatan itu pun dikabarkan terjadi pula di berbagai daerah yang jauh dari ibukota, seperti Padang, Pontianak, dan juga Ternate. Sekotak masker berisi 50 lembar yang biasanya dijual sekitar Rp20 ribu rupiah, melonjak drastis harganya hingga Rp300 ribuan. Itupun langka, karena banyak yang mau membelinya.

Situasi mulai kembali normal setelah masyarakat mengeluhkan langka dan tingginya harga masker di pasaran melalui media sosial. Aparat kepolisian pun mulai bergerak. Informasi tentang ketentuan pidana penimbunan barang mulai disebar, bersamaan dengan operasi-operasi penggerebekan toko atau gudang yang diduga menjadi penimbun masker. Perusahaan pembuat masker pun “turun gelanggang” dengan melakukan operasi pasar, yakni menjual langsung produk mereka kepada masyarakat melalui unit-unit mobil penjualan. Alhasil, krisis stok dan harga masker pun boleh dikatakan berangsur berakhir.

Media sosial mengamplifikasi infodemi
Krisis masker yang baru-baru ini terjadi merupakan buah dari fenomena “infodemi”. Sesuai namanya, istilah ini merupakan gabungan dari “informasi” dan “epidemi”. Istilah ini belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun dalam bahasa Inggris, “infodemic” diartikan sebagai, “A surfeit of information about a problem that is viewed as being a detriment to its solution,[1] atau “Banjir informasi mengenai suatu permasalahan yang justru dapat mengaburkan solusi atas permasalahan tersebut.” Dengan kata lain, infodemi terjadi ketika terdapat terlalu banyak berita atau informasi yang simpang-siur dan bahkan saling berlawanan mengenai wabah tertentu, sehingga membingungkan masyarakat awam.

Infodemi terkait COVID-19 diakui pejabat badan kesehatan dunia, WHO, sebagai infodemi pertama yang bersifat global, alias lintas-negara.[2] Tidak hanya di Indonesia, infodemi juga menjangkiti negeri-negeri yang lain.

Di negeri-negeri dimana kebebasan mengakses informasi relatif tinggi seperti Indonesia (meski Pemerintah via Kominfo cukup “rajin” melakukan pemblokiran, bahkan terhadap situs-situs yang tidak menawarkan konten terlarang, seperti Reddit dan Vimeo, publik masih bisa menggunakan virtual private network [VPN] untuk mengakses situs-situs yang diblokir tersebut), risiko munculnya infodemi tentu juga sama tingginya. Dalam artikel The Lancet yang diterbitkan di penghujung Februari 2020, dikutip pernyataan Sylvie Briand, Direktur Tata Kelola Bahaya Penularan di Program Kedaruratan Kesehatan WHO, yang merancang strategi WHO dalam rangka melawan risiko infodemi, menyatakan bahwa fenomena “tsunami informasi” di masa-masa wabah telah terjadi sejak Abad Pertengahan. Namun, dengan keberadaan media sosial, fenomena ini berkali lipat lebih besar, dengan cakupan yang lebih jauh dan lebih luas. Menurutnya, tantangan saat ini adalah “memastikan orang akan melakukan hal yang benar untuk mengendalikan penyakit atau mengurangi dampaknya. Jadi bukan hanya informasi untuk memastikan orang mendapat informasi; melainkan juga memastikan orang-orang diberitahu untuk bertindak dengan tepat.”[3]

Infodemi adalah fenomena negatif yang perlu disikapi secara bijak oleh warga masyarakat informasi. Ciri khas era informasi memang adalah distribusi informasi yang menonjol, namun sebagaimana dalam era industri marak peredaran barang-barang palsu atau tiruan, demikian pula dalam era informasi, akan terdapat pula peredaran ragam informasi yang tidak sesuai data dan fakta. Ketika informasi menjadi komoditas, akan selalu ada pihak-pihak yang lebih mengutamakan keuntungan daripada kualitas informasi yang mereka produksi. Portal berita online akan cenderung memilih penyajian berita, judul, atau gambar yang bombastis, untuk menjaring kunjungan sebanyak mungkin. Belum lagi para pengguna media sosial amatir yang tergoda mendapatkan impression atau engagement tinggi, juga follower baru, bermodalkan postingan-postingan “heboh” yang belum terverifikasi. Kecenderungan mem-forward kabar-kabar yang semacam itu pun marak di media komunikasi seperti WhatsApp. Apabila warga masyarakat informasi tidak menyadari kecenderungan ini, maka infodemi takkan terbendung.

Kuncinya kesabaran dan pengendalian diri
Pada akhirnya, kuncinya adalah kesabaran dan pengendalian diri. Warganet perlu sedikit lebih sabar menghadapi berbagai informasi, apalagi yang sumbernya tidak kredibel, mencatat kata-kata kunci (keywords) yang ada, kemudian mengeceknya ke mesin pencarian, seperti Google, Duckduckgo, Bing, dan sebagainya. Dalam hal cek dan ricek informasi, sikap jemaat di Berea dapat diteladani.[4] Pengendalian diri untuk tidak buru-buru menyebarluaskan informasi merupakan wujud kedewasaan warganet. Pun pengendalian diri dan kesabaran untuk membendung infodemi melalui klarifikasi berdasarkan sumber-sumber yang sahih.

Kesabaran serta pengendalian diri juga akan sangat membantu warganet agar tidak mudah menjadi latah dalam bermedia sosial, sanggup memilah dan memilih informasi yang benar, penting, dan vital. Dengan begitu, infodemi dapat diredam dan ditaklukkan. Tentu, mengakhiri infodemi bukanlah perkara mudah, karena seperti kata pepatah dari seberang benua, “kebohongan telah menjelajahi separuh dunia ketika kebenaran baru saja hendak memakai sepatunya.” Namun apabila kita menginginkan sebuah masyarakat informasi yang sehat, maka tak ada cara selain segera memakai sepatu dan berlari secepat kilat.

 

 

Referensi:

[1] https://www.lexico.com/en/definition/infodemic

[2] https://www.bellevueheraldleader.com/news/national/how-a-coronavirus-infodemic-is-infecting-the-internet/video_7eb0ccf1-4b95-5120-9b5f-5f3aab895054.html

[3] https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30461-X/fulltext#articleInformation

[4] https://alkitab.sabda.org/verse.php?book=44&chapter=17&verse=11