Badan Pemeriksa Keuangan baru-baru ini mengeluarkan status “Disclaimer” kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang berarti terdapat pelaporan keuangan yang tidak wajar. Selain nota-nota keuangan yang tak dapat dipertanggung jawabkan, BPK juga menemukan bahwa ternyata rumah dinas yang disewa oleh salah satu Komisioner Komnas HAM tidak pernah ditempati, alias fiktif. Aliran dana menunjukkan transfer dari “pemilik rumah” kepada rekening pribadi Sang Komisioner. Meski keseluruhan uang sewa telah dikembalikan kepada negara sesuai anjuran BPK, namun hal ini tentu mengindikasikan sesuatu yang memprihatinkan, yakni bahwa ujung tombak penegakan hak asasi manusia di negeri ini justru menciderai rasa kemanusiaan itu sendiri. Komisioner Komnas HAM, yang seharusnya paling mengerti natur korupsi yang bertentangan dengan semangat penegakan HAM, justru melakukan pelanggaran HAM sendiri, bahkan berpura-pura tidak tahu, bahwa apa yang dilakukan masuk dalam kategori korupsi.
Bagi pelaku, korupsi sesungguhnya melanggar hak asasinya sendiri, yakni hak untuk memiliki hidup dan menjadi manusia yang bermartabat, yang menjalankan kasih, kebenaran, serta keadilan dengan bebas, tanpa rasa takut akan kemiskinan atau kehilangan pekerjaan. Bagi rekanan korporasi atau pemilik usaha, meski sekadar menyediakan nota kosong dan stempel, perilaku koruptif semacam itu juga melanggar hak dasarnya sendiri untuk mengupayakan kehidupan yang baik dengan cara-cara yang bersih, tanpa takut kehilangan pelanggan. Bagi rakyat, segala bentuk tindakan memperkaya diri dengan menyelewengkan anggaran negara tersebut tentu merupakan pelanggaran akan hak warga negara atas pemerintahan yang akuntabel.
Sekalipun disebut sebagai “anggaran negara” sehingga seolah-olah tak bertuan, hak-hak warga negara melekat pada tiap rupiah yang diselewengkan. Hak atas akses terhadap informasi penggunaan uang negara yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan, hak atas layanan publik, juga hak atas penyelenggaraan negara yang jujur dan kompeten. Hak-hak tersebut tentu sulit terwujud selama para penyelenggara negara yang dipercaya untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia justru asyik mereka-reka berbagai cara untuk mencuri dari kas negara sebanyak-banyaknya!
Perampasan hak mendasar warga negara atas pelayanan publik yang prima oleh penyelenggara dan aparat negara akibat perilaku koruptif bukan tanpa konsekuensi. Peristiwa banjir bandang di Garut yang menelan puluhan korban jiwa dan membuat lebih dari dua ribu orang harus mengungsi merupakan contoh terkini, betapa dahsyat dampak perilaku koruptif segelintir orang yang tampaknya sepele ketika pertama kali dilakukan. Investigasi dari pihak kepolisian dan penelitian dari tim UGM, ditemukan fakta bahwa telah terjadi peralihan peruntukan lahan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, antara lain untuk perkebunan, tempat wisata, dan beberapa vila, ditambah dengan kerusakan hutan lindung dan pendangkalan sungai Cimanuk, yang mengakibatkan banjir bandang. Kerugian materi dari banjir ini diperkirakan sekitar 288 miliar rupiah. Korupsi jelas tidak akan membawa bangsa ini mendekat, melainkan menjauh, dari cita-cita akan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Pada bagian pertimbangan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa “tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Menurut situs Komisi Pemberantasan Korupsi, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi mencakup: melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 2); menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3); kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11); kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7); dan delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C).
Apapun bentuknya, segala perilaku koruptif oleh pejabat, termasuk hal-hal yang tampak remeh seperti nota pembelian dan rumah dinas fiktif, sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Nota-nota pembelian fiktif, rumah dinas fiktif, dan berbagai objek fiktif lainnya sebagai akal-akalan untuk mendulang rupiah yang riil merupakan penipuan terhadap publik. Ada ungkapan yang berbunyi, “tidak ada maling yang mau mengaku.” Demikian pula dengan para pencuri uang rakyat. Mereka tidak akan mengaku dengan terus terang ketika menjalankan aksi mereka. Mereka akan melakukan praktik-praktik koruptif mereka secara tersembunyi, dan itu berarti penghambatan terhadap informasi. Padahal, setiap warga negara berhak atas informasi yang benar atas penggunaan keuangan negara.
Nota dan rumah dinas fiktif jelas melanggar hak asasi warga negara atas transparansi informasi. Hak ini tercermin dalam UUD Pasal 28F, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Bukan hanya kebebasan berpendapat atau menyampaikan informasi, memperoleh informasi juga merupakan bagian dari hak dasar warga negara. Pertimbangan butir (b) dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat gamblang menuliskan, “… hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia….” Dalam konteks kelembagaan, BPK menjadi kepanjangan tangan rakyat untuk memastikan, bahwa hak atas informasi tersebut terpenuhi.
Status “Disclaimer” dari BPK tentu menjadi tamparan keras bagi Komnas HAM. Penegakan HAM tidak akan terwujud selama perilaku-perilaku koruptif masih ada dan dianggap biasa. Tentunya, para komisioner di Komnas HAM harus segera mengambil sikap yang tepat, yakni buru-buru bertobat dan meninggalkan perilaku-perilaku koruptif yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia. Para pemilik usaha maupun pribadi-pribadi yang selama ini “bekerja sama” dengan penyelenggara negara yang korup juga harus menyadari dan berbalik dari kejahatan mereka. Jangan lagi mau diajak kongkalikong oleh para pencuri berseragam yang hendak mengakali sistem untuk memperkaya diri.
Setiap anggota masyarakat juga harus menyadari bahwa korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Setiap peser uang yang dikorupsi oleh penyelenggara negara, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama, merupakan pencideraan terhadap sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Korupsi bukanlah tindakan yang adil. Ia juga bukan perbuatan yang beradab. Setiap korupsi, berapapun nilainya dan betapapun sepele kelihatannya, merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Hanya ketika rakyat mengenali wajah keji korupsi yang merusak wajah kemanusiaan dan memandangnya dengan rasa jijik sekaligus marah, barulah kita dapat mengharapkan penegakan hak asasi manusia di bumi Nusantara.
Selamat Hari Antikorupsi Sedunia.