Fokus:
Budayakan Budaya Baca

Majalah DIA, Maret – April 1994 lalu, melakukan Polling pendapat mengenai self study mahasiswa Kristen. Self study ini dikaitkan dengan penyediaan waktu dan jumlah buku yang dibaca mahasiswa. Responden sebanyak 112 mahasiswa berusia sekitar dari 22 – 26 tahun serta aktif menjadi pengurus Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di 14 kota propinsi Indonesia

DIA melakukan polling ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana mahasiswa Kristen melihat dan menjadikan buku sebagai sarana pembinaan diri serta menyediakan waktunya untuk belajar sendiri. Dari buku bacaan, baik buku rohani maupun buku umum.  Selain itu, melalui poling ini kita dapat bercermin dan lebih memacu dan membina diri dengan berself study melalui buku-buku

Selain hasil polling dari para mahasiswa, untuk memperkuat Laporan Utama ini, DIA juga mewawancarai Prof.Dr. Taliziduhu Ndraha,  Pembantu Rektor Institut llmu Pemerintahan (IIP) dan Tommy F. Awuy, dosen filsafat Fakultas Sastra (Universitas Indonesia, Jakarta.  Sejauh mahasiswa Kristen melihat buku sebagai sarana pembinaan diri. Sejauh mana daya baca mahasiswa Kristen? Kendala-kendala apa yang membuat mahasiswa kurang berminat membaca. Lalu bagaimana tanggapan narasumber terhadap hasil pengisian kuesioner mahasiswa?

Dari hasil pengolahan pertanyaan, sebagian besar mahasiswa memiliki cara tersendiri untuk melakukan pembinaan diri.

Dari tabel di atas, tampak bahwa mahasiswa yang menggunakan buku sebagai sarana pembinaan diri sebanyak 6,3% ini menandakan bahwa minat baca buku sebagai sarana pengembangan diri di kalangan mahasiswa sangat rendah. Artinya, mahasiswa lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal lain.

Melihat jawaban mahasiswa tersebu! Tommy dan Taliziduhu tidak heran. Menurut mereka, kebiasaan kurangnya membaca buku bukan hanya pada mahasiswa Kristen, juga pada mahasiswa umumnya. Hingga kini pun menurut mereka, kebiasaan membaca belum membudaya di kalangan mahasiswa. Sementara, budaya lisan dan dengar masih sangat kuat serta sulit diubah di Indonesia. Kesulitan menurut Taliziduhu terjadi karena pengetahuan di Indonesia disampaikan secara turun temurun dari mulut ke mulut. Aksara hanya digunakan untuk kepentingan kekuasa, misalnya menyampaian sabda raja ditulis di daun lontar. Tulisan belum dimanfaatkan sebagai sarana proses belajar, “pengaruhnya hingga kini pun masih terasa. Sehingga bila hasil penelitian Anda seperti itu, hal yang wajar,” papar Tali-ziduhu.

Tommy menyetujui pendapat Taliziduhu diatas. Bahkan ia menambahkan, tradisi Indonesia sangat menekankan interaksi dan sambung rasa. Masyarakat belum membiasakan diri dengan bacaan. Lain dengan negara-negara Barat. Sejak dulu mereka telah memiliki kesadaran pentingnya membaca, maka tidak heran, bila reforrnasi dan Reneisance muncul. Selain itu, mereka juga melihat bahwa bila tidak membaca mereka akan dijajah bangsa lain. Ini pula yang membuat mereka senang bertindak progresif dan kompetitif. Bagi orang Barat, budaya baca dan tulis merupakan prinsip untuk menciptakan budaya maju.

Walaupun demikian angka 6,3% bagi Tommy F. Awuy sudah lumayan. Apalagi dengan merebaknya media elektonik sangatlah sulit menumbuhkan minat baca. Anak-anak mahasiswa Iebih banyak menggunakan, waktu-nya pada kegiatan pasif seperti menonton televisi. Ini membuat budaya lisan semakin kuat. Bila dari penelitian masih ada kerinduan membaca di kalangan mahasiswa Kristen, “Itu berarti mahasiswa Kristen masih mempunyai keinginan maju,” tutur pria yang dilahirkan 5 Juli 1959 ini dengan nada berharap’

Tommy juga melihat mahasiswa saat ini sudah memiliki kesadaran ingin berkembang dan maju dalam banyak hal. Namun karena kendala dan tantangan membuat mereka malas bertindak. “Misalnya lebih ‘enak’ menonton daripada membaca buku, itu memang masalah mental. Banyak mahasiswa menyadari, tetapi malas bertindak. Hanya orang yang memiliki kesadaran dan kemauan tinggi yang mampu mewujudkannya, ” katanya mantap.

Pendapat Tommy ada benarnya. Sebanyak 51,8% mahasiswa mengakui. tidak melakukan self study karena malas, tidak disiplin, belum menjadikannya program pribadi dan tidak menyukai aktivitas tersebut. Mereka mau membaca buku seperti buku catatan dan fotocopy diktat kuliah dan buku lain hanya karena ada hubungannya dengan kepentingan studi’ Artinya, membaca buku dan informasi lain – yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan sangat jarang.

Sedangkan yang umumnya dilakukan mahasiswa untuk pembinaan diri adalah mendengar melalui orang lain. Itu dapat melihat dari tabel di atas bahwa sebanyak 78,4% dari 112 mahasiswa lebih menyukai aktifitas belajar formal dan informal (32,1 %), berkomunikasi (bergaul) dengan sesama (20,5%) dan berdoa serta mengenal Allah (25,8%) sebagai sarana pembinaan diri. Artinya, mahasiswa lebih suka mencari jawaban dan belajar dari pendapat orang lain, daripada membaca dan memahami permasalahan dari buku.

Melihat jawaban tersebut, Tommy tidak menyalahkan sepenuhnya si mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa yang terlibat di PMK mau tidak mau terbiasa dengan kehidupan serba kolektif saling berinteraksi dan memperhatikan. Mereka hanya mengkhususkan pada hubungan antar sesama (man oriented), belum sampai tahap siap berada di tengah-tengah masyarakat industri yang mengharuskan mandiri. Itu pula ia alami ketika menjadi pengurus PMK Jakarta (tahun 80-an). PMK kurang banyak mendorong mahasiswa membaca buku, baik buku rohani dan buku lainnya. PMK seakan-akan meniadakan kebutuhan ego, yaitu kemampuan pribadi untuk berpikir, untuk dan berbuat di kalangan mahasiswa. “PMK selalu menekankan hubungan vertikal dan horizontal. Saya dulu yang sering mempromosikan buku-buku ke mahasiswa yang hadir di PMKJ,” tuturnya bernostalgia’.

Sedangkan Taliziduhu mengkaitkan jawaban tersebut dengan pengajaran teologi sekarang. Menurut Bapak yang lahir di Nias, 18 Mei 1935 ini, banyak orang dan beranggapan seolah-olah semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan pertobatan. Padahal sesungguhnya firman Tuhan bahkan mendorong manusia untuk berubah, seperti terdapat dalam Matius 5:41 yang berbunyi, “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil berjalanlah bersamanya sejauh dua mil.,, Itu menurutnya bukan masalah pertobatan tetapi perubahan sikap mental dalam hubungan dengan sesama.

Selain hal di atas, melalui polling ini juga terungkap bahwa alokasi waktu baca mahasiswa terhadap empat jenis bacaan (edukatif, pembinaan iman, informatif dan hiburan) sangat rendah. Bacaan edukatif adalah buku yang  berisi tentang pengetahuan dan teknologi populer. Bacaan pembinaan iman adalah buku dan majalah rohani. Bacaan informatif adalah buku yang berisi tentang informasi dan pristiwa berbagai hal seperti surat kabar, majalah dan sebagainya. Sedangkan bacaan hiburan adalah bacaan yang sifatnya menghibur seperti novel dan majalah populer/tabloid hiburan. Melalui tabel di bawah ini kita dapat menafsirkan kualitas mahasiswa.

Sedangkan mahasiswa yang membaca tuntas sebuah buku waktu sebula hanya 9,8% responden. Sementara sebanyak 74,1%responden mengakui tidak teratur membaca buku. Ketidakteraturan dapat diasumsikan: ada yang membaca tuntas sebuah buku, tapi selang beberapa bulan berikutnya mungkin tidak membaca buku sama sekali. Ini menandakan masih banyak mahasiswa yang belum menyediakan waktu dan memiliki program membaca buku.

Kendala

“Selain berdaya lisan dan maraknya media audiovisual, sebetulnya masih ada kendala lain,” tutur Tommy dan Taliziduhu di tempat terpisah. Di antaranya pertama, mahalnya harga buku. Dari polling pendapai mahasiswa yang memiliki minat baca memperlihatkan bahwa buku bacaannya diperoleh sebagian besar dari tiga narsumber. Lihat tabel berikut.

Ternyata – walaupun ini tidak dapat disamaratakan pada semua mahasiswa bahwa sebagian besar mahasiswa belum mengalokasikan dananya untuk membeli buku. Karena selain sumbernya toko buku, beberapa mahasiswa mengakui bahwa sumber lain yang dimanfaatkannya adalah membeli buku loakkan, fotocopy dan karena diberikan orang lain. Buku loakan tersebut dibeli karena diharuskan dosen. Selain itu, mahasiswa belum juga memanfaatkan secara maksimal sarana yang tersedia seperti perpustakaan. Mereka lebih banyak meminjam dari teman seperti diktat kuliah dan buku yang berhubungan dengan bidang study. Artinya, jarang meminjam buku-buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang studinya.

Walaupun data seperti di atas, Tommy tetap menyarankan agar mahasiswa mendisiplinkan diri mengalokasikan uangnya untuk membeli dan mengoleksi (memiliki perpustakaan pribadi) buku. “Kita harus memaksa diri,” kata pria yang produktif menulis kolom di berbagai media ini. Tommy sendiri kini mempunyai koleksi sekitar 2000 judul buku. “Itu memudahkan saya saat membuat tulisan atau mencari refrensi,” tutur mantan Redaksi DIA ini.

Kedua, sistem yang kurang mendukung, yaitu lemahnya budaya tulis dan baca. Lemahnya budaya tulis di Indonesia juga mempengaruhi budaya baca Indonesia. “Apa yang akan dibaca kalau tidak ada yang ditulis?” tanya Talizihu. Kondisi seperti ini, menurutnya, tidak terlepas dari budaya yang ada. Pengajar di berbagai fakultas pascasarjana ini mengungkapkan bahwa kita tidak perlu heran bila sekarang ini banyak orang kurang yakin kebenaran tulisan yang ada. Ia berpendapat bahwa yang tertulis, baik buku ilmiah, majalah dan surat kabar, dianggap kurang menyuarakan kenyataan. Akibatnya, mahasiswa dengan enteng menjawab, “Untuk apa teori?” Jawaban seperti ini, menurut Bapak yang sudah mengajar hampir semua tingkatan sekolah, kecuali Sekolah Dasar (SD), mengisyaratkan bahwa mahasiswa sebenarnya enggan membaca.

Ia mengungkapkan hal tersebut bukan tanpa fakta. Dari penelitian dan pengalaman mengajar di berbagai Perguruan Tinggi (PT), mahasiswa acapkali mengeluh. Kemampuan dan keahlian yang mereka pelajari selama di PT kurang dapat diaplikasikan di masyarakat. Taliziduhu mengakui bahwa kemalasan mereka tersebut dapat terjadi karena proses membaca dimulai dari mendengarkan sesuatu, lalu menyakinkan pikirannya dengan membaca buku, kemudia yang dibacanya tersebut dituliskan dan dipaparkan atau diaplikasikan kepada orang lain. Dengan melemahkan budaya tulis tersebut, menurutnya sesuatu indikasi yang semakin mempersulit tumbuhnya budaya baca mahasiswa. “Minat baca kita akan berhasil jika proses membaca, menuangkan gagasan baik secara tertulis dan lisan diberi keleluasaan,” papar Profesor yang mengeacap pendidikan ini.

Karena itu, ia menyarankan supaya lembaga seperti pendidikan dikembalikan ke fungsi dasarnya, yaitu pusat pengembangan ilmu pengetahuan, pencarian kebenaran dan memiliki kebebasan mimbar, mengeluarkan pendapat serta berkaya. “Bila demikian kan orang akan terdorong untuk menulis dan membaca,” katanya.

Tommy pun mendukung pendapat Taliziduhu di atas. Sekarang ini memang ada kesenjangan anatara teori dan praktek. Banyak teori yang enak dibaca, tapi sulit dipraktekkan. Justru dengan itulah Tommy mengajak mahasiswa mencoba melihat dan mencari pemecahan dari realitas masyarakat yang ada.

Ketiga, banyak mahasiswa yang hanya mengejar gelar, bukan ilmu. Taliziduhu melihat ini akibat pergeseran nilai dan sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Gelar kesarjanaan bagi masyarakat Indonesia menjadi prestise dan decking mencari pekerjaan. Akibatnya banyak mahasiswa yang hanya termotivasi mencapai gelar, bukan berkualitas ilmu. Sehingga upaya mencapainya tidak dipetimbangkan. Kalau bisa, secara instant atau ‘jalan pintas’.

Hal lain yang dilihat Tommy adalah mahasiswa dan sarjana Indonesia belum memiliki kesadaran berkompetisi. Bila memiliki gelar seakan-akan sudah tersedia sarananya. Mahasiswa belum menyadari bahwa gelar bukan akhir, tapi awal perjuangan hidup. Gelar bukan pula jaminan seseorang pasti berkualitas. Walaupun demikian Tommy tidak dapar menutup mata terhadap kenyataan yang menganggap seseorang sarjana itu sebagai orang yang ‘dipandang’. “Tapi itu tidak terlalu penting. Bagi saya yang penting adalah terus belajar konsisten melakukan self study dan mengisi hidup ini,” tutur oria yang tidak pernah menulis gelar ini.

Cara Mengatasinya

Walaupun banyak mahasiswa seperti itu, Taliziduhu yang sangat menyenangi dunia pendidikan ini, tidak membiarkan mahasiswanya yang berpotensi dan ingin berkembang. Ia memiliki pola unik. Ia memberi kepercayaan kepada anak didiknya dengan memberi motivasi kuat agar mahasiswa itu mandiri. Sehingga mahasiswa mampu memahami sesuatu secara benar. Tak heran bila banyak mahasiswa yang meminta Taliziduhu menjadi pembimbing dalam pembuatan skripsi. “Saya tidak akan mengoreksi salah atau betul hasil tulisannya. Saya giring pada pemahaman yang lebih dalam, supaya mahasiswa menemukan kebenarannya melalui studi literatur,” ujarnya. Bahkan tak jarang pula, kakek seorang cucu ini, meminjamkan buku-buku pada mahasiswa bimbingannya.

Tommy lain lagi caranya. Anak bungsu dari lima bersaudara ini selalu mengajar mahasiswanya untuk melihat peristiwa yang terjadi di sekitar dan melihat posisinya. Sebab bila tidak demikian, mahasiswa akan mengambang, tidak tahu posisi mereka apakah mereka menjadi pemain atau penonton. Kesadaran itu akan mendorong mahasiswa mencari jalan keluar. “Saya biasanya memancing mahasiswa dengan dialog. Saya tidak langsung memerintah mereka membaca buku. Dari dialog dan perhatian itu di sekitarnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan jawaban. Jalan keluarnya akan mereka temukan dan berbagai hal, termasuk melalui bacaan,” kata pria lajang ini.

 

Peran Lembaga Kristen

Kedua nara sumber sepakat bahwa gereja dan parachurch seperti PMK dapat menumbuhkan minat baca. Taliziduhu menyarankan supaya fungsi gereja bukan lagi sekedar tempat ibadah masyarakat umum. Tapi angota Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) sentiong ini berharap gereja membuat kebaktian bedasarkan profesi, tingkat usia menyediakan buku-buku dan informasi aktual pada jemaat. Sehingga kebutuhan jemaat dipenuhi.

Selain gereja, Taliziduhu juga mengharapkan lembaga Kristen seperti PMK dapat mendorong daya baca dan belajar sendiri para mahasiswa.

Dari polling pendapat, sebanyak 63 mahasiswa (56,3%) mengakui bahwa PMK-nya membuat program untuk mendorong mahasiswa yang datang ke PMK untuk membaca dan melakukan self study buku. Bukan hanya itu, sebanyak 60,7% perpustakaan PMK rata-rata memiliki 100 buku. Keberadaan PMK tersebut memang harus diakui belum berbuat maksimal untuk mendorong self study mahasiswa. Karena bila ditelusuri asal-muasal PMK yang dibina berawal dari penelaahan Alkitab (PA) yang mengandung unsur self study dan berbagai refresnsi buku.

Melihat data tersebut, Tommy mengusulkan supaya mahasiswa harus dan lebih dimotovasi lagi melakukan self study melalui buku. Karena itu, menurutnya, PMK harus lebih memperkenalkan buku-buku perpustakaan yang ada di PMKnya kepada mahasiswa. Bila perlu, menurut pria yang suka berdiskusi ini, ada pengelola khusus yang bertugas mendaftar dan meresensi buku-buku bacaan lalu dikirimkan ke anggota. Dengan demikian mereka tahu buku yang tersedia dan buku terbaru yang dimiliki PMK. Dengan cara ini Tommy yakin pasti ada mahasiswa yang ingin membaca, serta bila memerlukan mahasiswa tahu mencarinya dimana. Bahkan mempromosikan asyiknya ber-self study, ujarnya, “Informasi tersebut merangsang kita untuk lebih peka pada sekitar. Bila sudah memiliki self study buku yang kuat, kita akan semakin rajin mengutak atik literatur. (06)

 **Majalah DIA Edisi 5/1994

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *