Daya Baca Mahasiswa dan Sarjana Indonesia
Anugerah Pekerti, M. Psi, Ph.D. adalah Direktur Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (PPM) Jakarta, sejak 1988 hingga sekarang.
Bapa yang dilahirkan 6 Pebuari 1938 ini sangat berpengalaman dalam bidang pendidikan. Ia pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (61-73), menjadi konselor mahasiswa di Evangeliche Studenten Gemeinde, Karlsruhe, Germany (1964), mengajar Pastoral Psikologi di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta (1966-1973), mengajar di University of Southern California (1981-1982) dan sejenak 1968 bergabung di PPM.
Sedangkan pendidikan yang pernah dienyamnya antara lain: Doctor of philosophy in Business Administration (1985) di University of Southern California, USA ; Master in Psychology (1967) di Universitas Indonesia; Program non gelar dalam bidang Theology and Social Ethics di Princeton Theological Seminary dan Princeton University, serta jurusan Fisika dan Kimia (1957-1958), di FMIPA Universitas Indonesia.
Ia menikah dengan Angela Rahmi Pekerti serta dikarunia empat anak: seorang wanita dan tiga orang pria. Dr.Angela Rahmi Pekerti pada usia 50 tahun menyelesaikan disertai doktornya di Universitas Indonesia.
Bapak yang bergereja di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. Layur ini ketika akan diwawancarai baru kembali dari luar negri. Ia – ditengah kesibukannya – bersedia di wawancarai Dia via telepon. Karena kesibukannya pula, wawancara lewat telepon pun sempat tertunda beberapa kali.
Apa pendapatnya tentang budaya dan kualitas baca mahasiswa dan sarjana Indonesia sekarang? Apa yang dimaksud dengan mahasiswa dengan serjana yang buta huruf fungsional? Bagaimana supaya budaya baca masyarakat Indonesia bertumbuh? Hal-hal apa saja yang harus diubah? Bagaimana pula pengalaman dan upaya Anugrah Pekerti dalam mencapai kulitas hidup seperti sekarang?
Pembaca, simak wawancara DIA ini!
Hasil penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa ‘self study’ dikalangan mahasiswa sangat rendah. Sebetulnya adakah keterkaitan anatara self study dengan kemandirian seseorang?
Jelas! Orang yang bisa belajar sendiri berarti orang yang mandiri sebagai mahasiswa. Kalau bisa mencari pengetahuan dan informasi sendiri berarti dia mandiri,
Kalau melihat rendahnya ‘self study’ mereka, apakah itu menunjukkan kualitas mereka?
Ya! Salah satu penyebabnya adalah kemampuan membacanya yang sangat terbatas.
Apakah ketidakmampuan membaca itu untuk semua jenis buku, termasuk buku rohani?
Benar! Karena kurang mampu membaca, maka tidak mau membaca buku, baik buku cerita maupun buku rohani, apalagi ilmiah!
Ketidakmampuan membaca yang bapa maksud seperti apa?
Saya menggambarkan daya baca mahasiswa ibarat mobil yang hanya mempunyai 2 macam persneling. Persneling satu dan persneling mundur. Membaca buku memang bisa dengan persneling satu. Tapi itu hanya maju dan mundur. Bila ingin mengendarai mobilnya di jalan bebas hambatan (tol), sangat tidak layak dan tidak efektif! Selain itu, dari segi bahan bakar, energi dan waktu terbuang banyak. Kendaraan umumnya memiliki lima persneling. Bila lima persneling dapat digunakan, dimana pun dia berada dapat mengganti-ganti persneling maju mundur, maka jalannya pun hanya maju dan mundur!
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pemuda khususnya mahasiswa, saat ini kurang mandiri. Salah satu indikasinya adalah keinginan mereka untuk mencapai sesuatu dengan mudah dan tidak siap ketika menghadapi masalah. Ini terlihat belakangan ini-banyaknya-terjadi tawuran di kampus. Bagaimana tanggapan Bapak, benarkah sinylemen tersebut?
Benar. Mahasiswa sekarang kurang mandiri. Namun apakah ada hubungan langsung antara tawuran dengan ketidak mandirian, saya tidak dapat menjawab dan pastikan.
Ketidak mandirian mereka itu dapat saya lihat langsung dari para sarjana yang menjadi mahasiswa S2 di PPM. Umumnya para sarjana dan mahasiswa sekarang kurang mampu belajar dan membaca buku-buku. Bila tidak memahami sesuatu, mereka tidak mencari sendiri dari buku, tetapi bertanya pada orang. Mereka hanya belajar dari kuliah. Itu menunjukkan bahwa mereka belum mampu belajar mandiri.
Di samping itu, kemampuan membaca para mahasiswa terbatas. Ini pun tanda bahwa mereka kurang bisa belajar mandiri. Untuk bisa seperti itu, salah satu keterampilan yang harus dikuasai adalah membaca. Membaca di sini adalah membaca buku bahasa Indonesia, bukan bahasa asing. Kalau diukur dengan bahasa asing, lebih parah lagi.
Saya menyebut mereka buta huruf fungsional. Artinya, apabila mahasiswa tidak bisa belajar dari membaca buku, otomatis dia ‘buta huruf’. Setiap kali belajar harus diberitahu. Begitu juga bila kita melihat orang yang benar-benar buta huruf. Setiap pekerjaannya harus ada instruksi secara lisan. Tidak bisa bekerja sendiri.
Berarti itu lebih parah dari hasil penelitian yang kami lakukan, Pak?
Memang parah. Apalagi bila dibandingkan dengan membaca buku bahasa Inggris, lebih parah lagi! Banyak mahasiswa yang tidak mengerti dan memahami. Padahal ilmu pengetahuan dan informasi sebagian besar terekam dalam bahasa tersebut. Kalau mau maju salah satu syaratnya adalah mengetahui dan menguasai informasi pengetahuan. Orang yang tidak memiliki pengetahuan akan mengalami kendala dalam proses belajar serta kemajuannya.
Apa yang harus dilakukan untuk menguasai informasi dan pengetahuan seperti yang Bapak ajarkan?
Mahasiswa harus diberi pengetahuan dan dilatih membaca dengan efektif. Ada cara untuk melakukan hal tersebut. Alangkah baiknya bila melakukan hal tersebut. Alangkah baiknya bila hal seperti itu dilatih sejak di Sekolah Dasar (SD). Namun setelah mahasiswa pun tetap dapat dilatih.
Apakah pendidikan kita sudah melaksanakan hal tersebut?
Jelas belum! Kalau sudah kan berarti tidak akan ada masalah lagi! Cara kita membaca sekarang adalah cara yang sangat tidak efektif dan efisien.
Jika melihat keadan tersebut, berarti kita tidak bisa menyalahkan mahasiwa dan sarjana kan, Pak?
Sistemnya yang salah. Seharusnya sistem di sesuaikan dengan kebutuhan. Bila ingin mendidik mereka menjadi mahasiswa yang berkulitas, sistem dan suasana belajarnya pun harus berkualitas. Hal itu akan membuat mereka terampil membaca, berpikir kreatif, aktif, mampu mengemukakan pendapat dan sebagainya. Itu berkaitan dengan proses latihan dan keterbatasan berkarya yang harus ada dalam sistem masyarakat kita.
Apakah ada kaitan mahawaiswa yang malas membaca dengan kesenjangan yang terjadi pada teori dan kenyataan?
Memang banyak buku yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, baik itu yang terjemahan maupun yang bukan. Meskipun demikian ada juga buku yang mencerminkan kehidupan sehari-hari.
Tetapi menurut saya, bukan karena tidak ada buku atau karena buku tersebut tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari, melainkan karena mahasiswa tidak terampil membaca! Bahkan dosen pun masih banyak yang jarang membaca buku!
Bapak pernah melakukan penelitian dosen di Indonesia?
Ya! Saya punya data kurang lebih seribu orang yang mempelihatkan keterampilan membaca mereka. Beberapa rekan dosen perguruan tinggi pun mengakui bahwa mereka itu tidak gemar membaca.
Bila keadaan mahasiswa dan dosen seperti itu, bagaimana keadaaan bangsa ini nantinya?
Kita pasti akan tertinggal dengan negara yang orang-orangnya “haus” membaca dan belajar. Kenapa? Pekerjaan yang akan datang itu banyak berdasarkan pengetahuan. Bila kita tidak haus dan gemar membaca, akan jauh tertinggal. Ketertinggalan ini dapat kita lihat dari perbandingan orang-orang yang dibina. Satu perusahaan Jepang saja bisa membina 230.000 karyawan, sedangkan Indonesia baru 5000 orang (ini yang diselenggarakan oleh PPM)
Seperti kita ketahui ‘self study’ menuntut sarana yang memadai untuk memperlengkapi seseorang agar berkualitas
Apa betul sarananya kurang? Selain buku, sarana fisik lain di Indonesia tidak kurang! Yang kurang itu justru ketrampilan membacanya! Ini masalah utama kita!
Tetapi di daerah, sarana/fasilitas yang dibutuhkan sanagat minim. Sedangkan kondisi umum yang terjadi saat ini adalah kecenderungan ‘Brain Drain’ (perpindahan tenaga-tenaga terdidik dari daerah ke kota besar yang lebih maju). Di sini terjadi persaingan antara orang-orang yang “berkualitas” dan yang “kurang berkualitas”. Bagaimana mengatasi kondisi yang kurang sehat ini?
Dalam suatu negara yang sedang mengarah ke industrialisasi, terjadinya urbanisasi tidak dapat dicegah. Itu akibat kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang mengarah dari sektor pertanian ke sektor industri. Maka lapangan kerja di bidang pertanian makin kecil. Akibatnya banyak orang mencari pekerjaan di sektor industri.
Bila memperlajari beberapa buku tentang urbanisasi yang mendorong para urban untuk bermigrasi ke kota bukan hanya kesempatan bekerja, juga kesempatan belajar. Begitu pula dengan peredaran uang, sembilan puluh persennya ada di kota besar. Sehingga tidak perlu heran bila orang ingin pindah ke kota-kota besar. Ini tidak dapat dicegah!
Namun bila membandingkan kualitas hasil pendidikan yang jauh berbeda antar universitas, persaingan seperti apa yang terjadi?
Alumni PT di daerah memang akan kurang memiliki andil dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Karena itu kita harus memasyarakatkan kesempatan dan menyebarluaskan pendidikan bermutu kepada masyarakat. Pendidikan tersebut harus dapat terjangkau oleh mereka bukan saja dalam hal dana, juga secara geografi. Itu dapat dilakukan bila media elektronik lebih dimaksimalkan fungsinya di Indonesia, misalnya penggunaan radio dan televisi secara efektif. Kedua media tersebut sangat besar pengaruhnya. Ceramah Soemitro tentang ekonomi contohnya, dapat ‘ditangkap’ mahasiswa di daerah bila disiarkan melalui media elektronik. Sehingga pengetahuan mereka bukan hanya diperoleh dari bangku kuliah. Mahasiswa Universitas Terbuka pun dapat belajar dari orang-orang sekaliber Soemitro.
Bila perkembangan pendidikan kita berlangsung terus di kota-kota besar saja, sedangkan di daerah tidak, apa yang akan terjadi?
Pasti daerah-daerah akan tertinggal, bukan hanya dari segi mengecap pembangunan dan pendidikan, juga dalam menikmati kekayaan negara ini. orang yang menguasai ilmu pengetahuanlah yang menikmatinya. Karena kita harus melakukan pemerataan pendidikan.
Sekarang ini dunia pendidikan semakin maju. Pendidikan sekarang dilakukan bukan hanya melalui tatap muka di kelas. Di beberapa negara maju telah dikembangkan metode dimana seorang mahasiswa yang ada di satu tempat dapat menerima pelajaran dari gurunya melalu media elektronik, mereka dapat berkomunikasi baik meskipun berasa di tempat yang berbeda. Ini hanya dapat terjadi bila media elektronik dimaksimalkan fungsinya. Inilah yang harus dikembangkan ilmuwan Indonesia.
Ketika satelit Palapa B2 diluncurkan, tujuan utamanya adalah mengembangkan pendidikan Indonesia. Para pendidik dan penyelenggara media harus memperhatikan hal ini.
Di saat budaya ‘self study’ masih rendah, media audiovisualnya justru semakin “merebak”. Bagaimana dampak audiovisual terhadap minat baca mahasiswa?
Mungkin mahasiswa malah malas membaca, karena mereka pikir kalau melihat televisi sudah cukup. Untuk mahasiswa jelas itu tidak cukup!
Jadi media audiovisual tidak dapat menggantikan minat baca?
Tidak! Teknologi audiovisual justru dapat dimanfaatkan untuk merangsang masyarakat agar gemar membaca. Bila melihat tayangan televisi tentang fauna/bintanag di suatu daerah, misalnya. Itu kan sebetulnya dapat memacu kita untuk tahu lebih banyak. Untuk tahu lebih banyak, tidak mungkin kita dapat dari menonton televisi saja. Harus membaca literatur yang berhubungan dengan obyek tayangan tersebut. Jadi televisi seharusnya tidak menumpulakan minat baca pemirsanya, tetapi justru memacu dan merangsang kita membaca.
Lalu, sejauhmana televisi dapat memacu kita membaca buku, Pak?
Sulit diukur! Sekarang yang penting adalah bagaimana agar program telivisi yang ada dapat mendorong minta baca anak-anak Indonesia. Membangkitkan minat anak-anak terhadap ilmu fisika, misalnya. Apa yang dapat dilakukan sehingga mereka tertarik pada fisika? Mungkin anak-anak akan terangsang memperlajari fisika bila tahu manfaat dan hasil ilmu tersebut.
Salah satu kendala di Indonesia adalah bila orang ingin membaca, buku yang dibutuhkan tidak tersedia. Padahal buku merupakan hal yang sangat penting di Indonesia. Minat baca ada, tetapi tidak memiliki buku, bagaimana ini?
Adakah perbedaan kualitas seseorang yang memiliki budaya baca dengan budaya dengar?
Jelas ada! Perkembangan industrialisasi selalu disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Itu artinya, tidak semua pekerja bisa diajarkan secara lisan. Bila negara kita mau maju, tidak bisa tidak, budaya baca dan tulis harus dikembangkan. Hal ini tidak bisa ditawar!
Faktanya kini audiovisual sudah menjamur sedemikian rupa, sementara budaya baca kita masih sangat rendah. Bagaimana mengantisipasi hal ini?
Kita harus mulai dari sekarang. Kita harus menerbitkan buku dan menumbuhkan minat baca. Hal itu dapat dilakukan antara lain di kelompok mahasiswa. Mahasiswa jangan hanya demonstrasi. Mereka harus berusaha merangsang diri untuk membaca buku. Pimpinan perusahaan juga harus berusaha merangsang karyawannya membaca.
Mana ada perusahaan yang mau mendorong karyawannya untuk membaca, Pak?
Ada! Kemarin (24 Oktober 1994 – red) saya baru memberikan ceramah disebuah perusahaan yang membeli buku-buku yang dibagikan gratis kepada keryawannya. Mereka diwajibkan membaca buku tersebut. Walaupun masih sedikit, tapi sudah ada kalangan yang mau memotivasi dan menumbuhkan minat baca.
Jepang misalnya. Minta baca masyarakat negara tersebut banyak ditumbuhkan oleh perusahaan. Perusahaan disana mengharuskan karyawannya membaca buku.
Kami (PPM) bekerjasama dengan salah satu perusahaan Jepang, mereka menyelenggarakan program pembinaan sumber daya manusia (SDM) yang setiap tahunnya membina 230.000 orang. Itu baru satu lembaga. Sehingga tidak usah heran bila melihat perkembangan teknologi di negara sakura tersebut sangat maju.
Bila syaratnya memang harus membaca, apa yang dapat dilakukan agar anak-anak, siswa, mahasiswa gemar membaca dan belajar?
Sistem pendidikan kita harus berubah! Selain itu, kita juga dapat membentuk kelompok-kelompok khusus untuk menumbuhkan gemar membaca. Perkantas sebagai lembaga yang membina mahasiswa pun dapat melakukan kegiatan ini. ini dapat di programkan dan dijalankan! sehingga mahasiswa dan alumni dapat belajar mandiri.
Bapak mengatakan lembaga pelayanan seperti Perkantas dapat membina mahasiswa untuk gemar membaca dan belajar. Namun dari hasil penelitian untuk mencapai kemandirian dan kedewasaaan responden lebih menekankan aktivitas seperti berdoa dan berhubungan dengan Tuhan dan sesama. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Mungkin dalam penelitian tersebut Anda dapat bertanya mengenai kedwasaaan rohani. Dalam mempercayakan umat Kristen yang terutama memang membaca Alkitab. Jika orang Kristen tidak membaca Alkitab dengan baik, ia tidak akan memahami dengan baik. Mahasiswa yang membaca dan memahami firman Allah memang baik, sebab jika tidak, pemahaman kita akan Allah juga terbatas.
Untuk memahami firman Allah dengan baik, kita bisa mengundang pembicara seperti Stephen Tong atau Eka Dharmaputera, misalnya. Tentunya kita perlu menyediakan waktu dan biayanya. Tetapi kita pun dapat menempuh cara lain, yakni dengan membeli dan membaca buku mereka. Biayanya lebih hemat dan bukunya tersebut dapat dibaca dimana dan kapan saja. Betulkan?
Padahal mahasiswa yang kami teliti itu sudah tingkat empat ke atas lho, Pak.
Tingkat sarjanapun banyak yang masih seperti itu! Saya tidak heran bila hasil penelitian Anda seperti itu. Budaya baca mahasiswa kita memang masih sangat rendah!
Data IKAPI 1992 menunjukkan bahwa setiap tahunnya Indonesia menerbitkan 5000 judul buku baru. (Anugerah mengatakan bahwa tahun ini mengalami penurunan) Dari jumlah tersebut hanya 15% yang menjadi konsumsi Perguruan Tinggi. Jika satu bidang studi memakai lima buku wajib, maka textbook yang dibutuhkan perguruan tinggi untuk lima fakultas sekurang-kurangnya 30.000 buku. Dari data IKAPI di atas, terlihat betapa minimnya produktivitas pebulisan buku-buku ilmiah. Menurut Bapak, apakah kurangnya jumlah buku baru ini karena minat baca yang sangat rendah atau menat baca rendah karena suplai buku ilmiah yang sangat minim?
Dua-duanya! Karena minat baca kurang, maka buku yang diterbitkan tidak laku. Begitu juga sebaliknya. Bila penerbit buku menerbitkan 30 ribu buku judul baru, mereka pasti berpikir ulang. Siapa yang mau beli buku-buku tersebut? Ini memang salah satu dilema yang dihadapi penerbit Indonesia. PPM juga menerbitkan buku-buku manajemen. Buku-buku yang dicetak dengan tiras 3.000 eksemplar, habis cukup lama.
Apa yang harus kita lakukan supaya kedua-duanya dapat bertumbuh seimbang?
Perguruan tinggi lebih baik menginvestasikan uangnya pada buku-buku perpustakaan. Jangan hanya membuat gedung perguruan tinggi mewah, tetapi perpustakaan kosong. Buat apa? Kampus itu tempat hura-hura atau belajar?
Investasi perpustakaan memang sangat mahal. Tetapi bila ingin memajukan minat baca, hal pertama yang harus dilakukan adalah investasi besar-besaran dalam pengadan literatur. Perpustakaan Perguruan Tinggi terbedasr di Indonesia hanya memiliki 840 ribu buku. Pada hal perpustakaan Nasional University of Singapore memiliki 1,3 juta buku, kemudian perpustakaan Universitas Beijing 5 juta buku.
Kita terlalu banyak menginvestasi dana di tempat yang kurang strategis. Dana tersebut tidak membiayai pengembangan ilmu dan pengetahuan untuk pengembangan sumber daya manusia. Kalaupun ada, tidak disediakan dana yang cukup. Itu salah satu yang membuat perpustakaan di Indonesia tidak menaril! Bila di investasikan sekarang mungkin jarang orang yang membacanya. Tetapi bila tidak diusahakan sejak dini, nanti akan lebih menyedihkan.
Kita juga sering membuat perlombaan yang tidak mengembangkan ilmu pengetahuan. Kita jarang melakukan perlombaan untuk mencari “mahasiswa pembaca terbaik” atau yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan. Perlombaan yang sering diadakan justru perlombaan seperti Puteri Ayu. Bila yang dihargai Puteri Ayu, maka puteri Indonesia akan menjadi pesolek, tidak membaca!
Selain itu, kita sering lebih mementingkan fisik. Ketika penerimaan mahasiswa baru misalnya, yang diperispakan adalah bagaimana supaya acaranya semarak atau bagaimana agar pengadaan seragam Resimen Mahasiswa (Menwa) bisa terpenuhi. Dana yang begitu besar digunakan untuk hal-hal seperti itu ketimbang membeli buku. Sehingga tidak heran bila tindakan mereka lebih ke arah yang terjadi belakangan ini,
Jika melihat kondisi tersebut siapa yang salah?
Setiap orang salah! Mahasiswa salah, begitu pula pemim pin universitas. Mereka (pemimpin-universitas – red) kadang-kadang mengeluh. Bila gedung kamkpus kurang mewah, maka akibatnya sedikit mahasiswa yang mendaftar.
Mahasiswa Indonesia dulu yang belajar dengan sistem pendidikan Belanda, kini menjadi orang sukses di negri ini. mengapa mereka tidak menerapkan pendidikan yang bagus seperi zamannya?
Sebetulnya mereka meneruskan juga, sih. Tapi generasi muda sekarang yang menjadi dosen harus ngompreng (mengajar di sana sini – red) supaya dapat hidup. Imbalan yang diberikan kepada mereka harus diperbaiki, supaya mereka dapat hidup layak sebagai pendidik dan dapat memperhatikan anak didiknya secara baik. Ini memang polemik. Gedung kampusnya bagus, tetapi dosen diberi imbalan kecil dan perpustakaannya kosong. Kondisi seperti ini harus kita ubah! Bila tidak berani berubah, kita akan terpola dan terperangkap dengan kebiasaan-kebiasaan lama.
Bagaimana pengalaman Bapak sendiri dalam melakukan ‘self study’?
Saya menambah ilmu pengetahuan dari buku karena dapat membaca secara efektif. Saya mempunyai informasi luas karena mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sehingga untuk memahami sesuatu hal, saya tidak perlu bertanya pada orang. Saya bisa mencari dan memahaminya melalu buku-buku yang ada.
Bagaimana bapak dapat menguasai bahasa asing?
Belajar sendiri! Saya menyediakan waktu sejak masih muda untuk belajar bahasa Inggris, dengan mendengar siaran British Broadcasting Corporation (BBC) setiap malam sejak usia 12 tahun. Di situ saya belajar mendengar bahasa Inggris. Setiap orang seharusnya memiliki keinginan, kemauan dan menyediakan waktu dan upaya untuk menguasai sesuatu yang diinginkan.
Bagaimana Bapak sampai mempunya konsep seperti itu sejak usia sangat muda?
Itu karena orang tua saya tidak pernah memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Bapak, mungkin, hanya sampai kelas dua SMP. Sedangkan ibu tidak pernah menginjakkan bangku sekolah. Ia (ibu – red) mengatakan pada anak-anaknya, “Orang yang tidak memiliki dan menguasai pengetahuan.” Hidupnya akan seperti kami. Bila ingin mengubah nasib, kalian harus meraih pengetahuan.” Itulah yang memotivasi kami, sembilan bersaudara, untuk menekuni pendidikan. Tujuh dari kami menjadi sarjana, dua menjadi guru besar (salah satunya adalah Bapak Anugerah Pekerti – red).
Berapa banyak buku perpustakaan pribadi Bapak?
Kurang lebih seribu judul buku. Sedangkan PPM memiliki 25.000 buku.
Bagaimana dengan anak-anak Bapak?
Kami memacu mereka untuk belajar dengan baik agar mandiri. Mereka mendapat beasiswa dalam menempuh pendidikan. Untuk menyekolahkan anak-anak di luar negri, kami tidak memiliki dana yang cukup. Begitu pula isteri saya, dalam usia 50 tahun, ia menyelesaikan doktornya di Universitas Indonesia. Bagi kami belajar itu tidak pernah berhenti.
Apakah Bapak memiliki obsesi tertentu dalam mengembangkan budaya ‘self study’ khusunya untuk mahasiswa Indonesia?
Saya ingin agar mereka mandiri dan terus berkembang!
Mengapa Bapak menjadi pendidik?
Saya senang melihat orang berkembang. Selain itu, saya senang membagi pengetahuan kepada orang lain. Itulah tujuan saya berada di pendidikan.
Bila kita menonton film-film ‘kung-fu’, filosofi yang mereka anut umumnya adalah ‘guru tidak mau memberikan ilmunya secara penuh kepada murid’. Bagaimana dengan Bapak?
Saya lebih senang bila murid lebih pintar dari gurunya, termasuk murid saya. Kalau murid tidak lebih pintar dari gurunya, berarti dia tidak maju. Walaupun demikian bukan berarti saya tidak berusaha menambah pengetahuan. Saya terus belajar menambah pengetahuan.
Saran Bapak bagi pembaca?
Pertama, kuasailah salah satu bahasa asing. Bahasa Inggris misalnya. Sehingga khasanah pengetahuan dunia ini terbuka bagi kita. Kedua, berlatihlah membaca buku secara efektif dan efisien. Ini tidak dapat dilakukan secara instant, tapi dengan menyediakan waktu, tenaga dan biaya.