‘Penginjilan Terpadu’ mungkin hanya sebuah istilah, salah satunya untuk mendefinisikan perintah Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20; Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ayat ini mengandung pengertian supaya kita tidak hanya memperkenalkan orang kepada Kristus, tetapi juga mengajar mereka agar tumbuh dalam kedewasaan rohani. Namun penginjilan terpadu juga bisa mempunyai arti lain. Kalau demikian apa maksud penginjilan terpadu yang kita bahas di sini? Dan dalam kaitan kemajemukan masyarakat Indonesia, penginjilan macam apakah yang bisa diupayakan?
Majalah DIA melalui Bowo N, Aryadi, koresponden di Jember, menemui Prof. Drs. Pieter Alex Sahertian, dosen IKIP Malang, Lortha Gebyar Mahanani, koresponden di Semarang, menjumpai Ev. Andreas Christanday, STh., Gembala Konsulen di GKMI “Gloria Patri” Semarang. Di samping itu dari Jakarta, Erna Manurung menjumpai Pdt. H.A. van Dop, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarrta dan anggota Yayasan Musik Gereja. Berikut laporannya.
Bentuk penginjilan sekarang ini, seperti yang kita dengar dan saksikan ada bermacam-macam. Sebagian menekankan pada cara menenangkan jiwa sehingga jumlah orang percaya bertambah. Ada yang menekankan cara membina orang-orang itu supaya sungguh-sungguh menjadi anak Tuhan. Ada juga yang mengutamakan pelayanan sosial dengan harapan melalui pelayanan itu orang akhirnya menerima Injil.
Menurut Andreas Christanday perbedaan ini terjadi karena adanya pandangan teologi yang berbeda. “Apa yang dipikirkan orang demikianlah yang dilakukannya,” papar salah satu pendiri Yayasan Christopherus Semarang ini. Ia kemudian mengungkapkan mengapa ada gereja yang alergi dengan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), juga dengan bentuk penginjilan-penginjilan masal. Ada lagi yang hanya mementingkan iman, kesembuhan ilahi sehingga urusan jasmaninya soal kedua. Mereka kurang berpikir pada masalah sosial, misalnya menolong yang sakit, atau mengangkat yang terlantar dan tidak sekolah. Akibatnya yang satu hanya memikirkan masalah sosial, sedang yang lain hanya berkutat soal iman.
“Banyaknya denominasi gereja atau lembaga-lembaga penginjilan dimulai dari datangnya misi-misi dari luar negeri, dari Amerika, Belanda, Jerman. Kemudian masing-masing mengembangkan ciri khas mereka sendiri,” ungkap Sahertian. “Bagaimana kalau kita berangkat dari tidak membuat perbedaan itu, tetapi dari bagaimana Injil itu dinyatakan dan dibudayakan di Indonesia? Mengapa kita tidak berpikir kontekstual?” tuturnya beruntun.
Yang dimaksud kontekstual oleh Sahertian adalah bentuk penginjilan yang tidak mengacu model Barat tetapi bentuk penginjilan yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Kalau begitu bagaimana caranya? Mungkinkah dengan pendekatan budaya atau dengan bentuk lain yaitu memadukan berbagai cara penginjilan yang ada?
Penginjilan Terpadu
Ketika kepada Sahertian diminta pendapatnya tentang penjinjilan terpadu, langsung ia menjawab cepat “Kita samakan dulu konsepnya.”
Ada tiga konsep keterpaduan yang dirumuskan bapak tiga anak ini. Pertama, keterpaduan antara isi dan wujud berita keselamatan yang disampaikan. Artinya, penginjilan harus menyelaraskan antara berita keselamatan yang disampaikan dengan teladan hidup orang yang membawa berita. Sahertian menyarankan, jangan sampai keluar kelihat manis, namun di dalam rapuh, sistem keuangan tidak beres, majelis dan jemaat kurang kerjasama.
Kedua, keterpaduan dalam sistem penatalayanan (pengaturan). Penginjilan harus dilakukan secara tuntas, mulai dari perencanaan sampai memantau pertumbuhan. Gereja harus mengatur bagaimana membina orang-orang yang telah menerima Kristus sehingga mereka mengalami pendewasaan rohani. Lalu pada gilirannya mereka akan mampu melakukan kehendak Tuhan dalam praktek hidup sehari-hari (Mat 28:19-20).
Ketiga, keterpaduan antara unit-unit pelayanan. Misalnya kerjasama antara gereja-gereja dan lembaga-lembaga penginjilan baik dalam denominasi yang sama maupun yang berbeda. Sahertian mengamati, selama ini masing-masing lembaga atau gereja berjalan sendiri-sendiri, tidak heran kalau kemudian perbedaan ini semakin terlihat mencolok. Menurut Sahertian sebetulnya tidak masalah kita datang dari gereja mana atau lembaga apa kerena sebagai Kristen kita mengakui kesamaan. Salah satunya adalah tentang konsep kehidupan kekal. Yaitu manusia telah jatuh dalam dosa, manusia bisa selamat hanya kalau ia menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat satu-satunya.
Sementara itu Andreas Christanday dan H.A. van Dop berpendapat, penginjilan terpadu merupakan penginjilan yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara jasmani, rohani maupun kehidupan sosialnya.
Dalam kesaksiannya selama melayani Tuhan sebagai misionaris, Van Dop menyadari bahwa manusia tidak hanya terdiri dari jiwa saja. Jadi yang diselamatkan juga tidak cukup hanya jiwanya saja. Menurutnya tidak cukup penginjilan hanya memperkenalkan orang kepada Kristus. Mereka juga harus turut memperhatikan sisi kehidupan lain. Bukankah manusia juga memerlukan pertolongan kalau dia sakit atau pendidikan supaya ia berkembang?
Masyarakat Majemuk
Ya, kehidupan masyarakat Indonesia memang masih sangat perlu mendapat perhatian, terutama karena keadaan sosial ekonomi sebagian masyarakat masih memprihatinkan. Belum lagi adanya kesenjangan dan kemajemukan. Kemajemukan negeri ini bukan hanya dalam hal status sosial, ekonomi, namun juga beragamnya suku bangsa, adat istiadat maupun bahasa. Diperlukan sikap yang arif dan kebijaksanan dalam menghadapi masyarakat seperti ini.
“Kita harus belajar menghargai perbedaan-perbedaan yang ada ada masyarakat kita. Memperkenalkan Mesias kepada orang lain harus disertai sikap rendah hati yang mencerminkan sikap Dia sendiri, “ tegas Van Dop.
Menurut pengamatan bapak kelahiran Utrecht, Nederland ini, orang Kristen sering mendirikan tembok pemisah. Mereka menganggap diri mereka lebih baik dibanding orang yang mereka injili. Dia menganjurkan agar kita belajar dari orang-orang di sekitar kita. Kita bisa mengamati cara mereka beribadah. Kita beruntung bisa bertemu dengan mereka yang tinggal di Irian Jaya dengan kebudayaan mereka yang unik, mengamati mereka yang naik haji dalam menghayati puncak eksistensi mereka sebagai makhluk insani dihadapan Allah. Juga orang Hindu Bali yang setiap hari menyadari keberadaannya di antara dunia atas dan dunia bawah. Atau orang Toraja yang begitu kuat merayakan upacara adat. “Pengamatan itu perlu supaya kita tidak membuldoser begitu saja semua itu dengan ekspresi-ekspresi kekristenan yang kita pinjam dari dunia Barat. Dalam hal ini orang Kristen sering kurang kritis terhadap diri sendiri,” ujar Van lebih lanjut.
“Ya, kita tidak bisa meniru model penginjilan seperti yang dilakukan di Barat,” ujar Sahertian senada dengan Van Dop. Ia mengajak umat Kristen untuk melakukan penginjilan sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Misalnya melalui kunjungan keluarga yang masih tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia.
“Perlu toleransi namun bukan kompromi,” tukas Christanday. Toleransi harus dilakukan agar kita mengerti seluk beluk masyarakat. Di samping itu diperlukan strategi dan bekal pengetahuan sosial, komunikasi dan psikologi yang cukup.
Pelaku Penginjilan
Ketiga nara sumber sepakat bahwa tugas penginjilan bukanlah semata-mata tugas kalangan tertentu, namun tugas semua orang percaya. Bahkan orang awam sekalipun. Dalam melayani masyarakat Indonesia yang majemuk yang datang dari segala lapisan maka diperlukan orang yang datang dari segala lapisan pula. Keterpaduan pelayanan menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat seperti ini.
Menurut Christanday, orang awam justru mempunyai kekuatan yang sangat penting dalam misi ini. Sebagai anggota tubuh Kristus mereka memiliki talenta yang dapat melengkapai apa yang kurang pada hamba Tuhan. Mereka bisa berperan dalam banya hal misalnya, pertama, dalam hal manajemen. Mereka yang mempunyai pendidikan lebih dan mendapat kesempatan belajar manajemen yang bagus dan bisa diterapkan dalam pelayanan sehingga penginjilan lebih efektif.
Kedua, mereka juga bisa memberikan waktunya untuk melakukan penelitian. Hasil penelitian memungkinkan kita lebih menguasai medan penginjilan, dengan demikian penginjilan akan lebih efektif.
Ketiga, mereka bisa memberi fasilitas kerja bagi pelayanan, misalnya sarana dan prasarana. Dengan dukungan sarana yang kuat pelayanan akan menjadi lebih lancar.
Keempat, mereka pun bisa menyumbangkan ide-ide yang kreatif. Pelayanan penginjilan bukanlah hanya pelayanan mimbar. Maka untuk masuk dalam lingkungan orang-orang yang belum mengenal Kristus diperlukan langkah-langkah kreatif yang tidak memberi kesan memaksa, sehingga mereka pun menerimanya dengan sukarela.
Kelima, orang awam bisa menjadi jembatan yaitu bisa berperan sebagai sahabat bagi orang-orang yang diinjili. Kadangkala sangat besar pemisah antara pendeta atau hamba Tuhan dengan orang-orang yang dilayani. Maka disinilah peran orang awam menjadi penting sebagai penengah yang menghubungkan hamba Tuhan dengan mereka. Apalagi bila mereka memiliki posisi strategis seperti guru, insinyur, dokter atau ibu rumah tangga. Mereka bisa langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tak mungkin dilakukan oleh pendeta.
“Untuk melaksanakan penggilan kristiani di dunia, kerjasama antar gereja, antar lembaga, dan antara gereja dan lembaga penginjilan perlu ditingkatkan,” demikian Van Dop.
Menurutnya, di Indonesia sekarang ini banyak organisasi yang mempunyai dana dan tenaga yang cukup. Maka sangat baik bila lembaga-lembaga penjilan (Gereja, Persekutuan, Yayasan Kristen) melihat pelayanannya dan membandingkan dengan lembaga lain. Dari hasil pengamatan dan perbandingan itu mereka bisa mencari kemungkinan kerjasama. Mereka bisa merumuskan prinsip-prinsip bersama kemudian bersama-sama pula melaksanakannya.
Dalam kerjasama ini, akan tumbuh suatu rumusan yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya, ia memberi contoh. Kaum injili dahulu kurang membicarakan masalah-masalah sosial. Mereka lebih banyak membicarakan masalah bagaimana memenangkan jiwa. Maka dalam kerjasama ini mereka semakin dilengkapi. Demikian pun mereka melengkapi lembaga lain.
“Bentuk kerjasama dengan lembaga lain bisa juga berupa rasa menghargai dan menghormati,” tambah Sahertian atas pendapat di atas. Dikatakannya sebuah lembaga boleh saja berbeda dengan lembaga lain, misalnya dalam cara-cara yang dilakukan atau liturgi ibadah yang digunakan, namun mereka tetap harus menghargai pihak lain.
Memang benar, adanya perbedaan itu justru akan menambah kekayaan pelayanan. Sebab apa yang tidak bisa dilakukan oleh suatu lembaga, bisa dilakukan oleh lembaga lain. Sebagai contoh tidak mungkin suatu lembaga menjangkau seluruh suku di Indonesia, mungkin karena keterbatasan dan, keterbatasan tenaga, atau karena alasan lain. Maka lembaga inilah yang bisa meneruskan pelayanan itu. Contoh lain, satu lembaga melayani soal pelayanan sosial kepada suatu masyarakat, lembaga lainnya bisa masuk dalam pelayanan rohani.
“Namun sekali lagi jangan sampai kita menganggap diri paling benar,” tegas Sahertian
Dengan nada agak keras Christanday mengungkapkan, seandainya kerjasama antar lembaga bisa dibina baik, maka tak perlu lagi adanya pertambahan lembaga dengan denominasi baru. Sebab menurutnya, timbulnya lembaga penginjilan baru biasanya karena ketidakpuasan atas lembaga yang selama ini diikutinya. “Kenapa harus membentuk lembaga baru, kenapa tidak mendukung atau melengkapi yang sudah ada?” tanyanya sambil memberi saran.
Dengan nada prihatin Christanday membandingkan keadaan di Indonesia dengan di India. Di India orang Kristen banyak tetapi aliran sedikit. Di Indonesia keadaan sebaliknya, orang Kristennya sedikit, tetapi alirannya banyak. Ia juga prihatin akan keadaan penginjilan di Indonesia jika perbedaan aliran ini semakin tajam. Bila terlalu mengurus perpecahan atau kekecewaan terhadap gereja dan sebagainya, akhirnya penginjilan akan terbengkalai. Ia kuatir pertumbuhan jumlah gereja bukan terjadi karena pemuridan, tetapi hasil perpindahan jemaat.
Christanday menyarankan supaya setiap lembaga mawas diri. Sebaliknya mereka menganggap pelayanan lain pun memiliki kelebihan. Dengan demikian mereka akan saling menghagai dan menghormati. Ia mengingatkan bahwa keterpaduan pelayanan bukan harus berada dalam satu wadah, bisa saja berbeda-beda fungsi, tetapi ada saling pengertian.
“Saya orang yang fanatik terhadap denominasi yang saya anut. Jelas. Tetapi bukan berarti saya lalu menganggap yang lain salah. Salah malah harus mengakui bahwa denominasi lain mungkin bisa melakukan pelayanan lebih baik,” tuturnya. Itulah sebabnya lulusan Institut Injil Indonesia ini menyarankan setiap lembaga mempunyai networking. Sebagai contoh, bila sebuah gereja akan mengadakan KKR, tetapi karena belum biasa ia bisa mengundang pembicara dari gereja lain. Usul ini ia kemukakan sambil memberi contoh kenapa Tuhan Yesus memanggil 12 murid, bukan seorang saja untuk melanjutkan pekerjaanNya. Tak lain karena dengan adanya 12 orang yang mempunyai talenta berbeda, mereka akan saling melengkapi dalam pelayanan.
Bagian Mahasiswa dan Alumni
Menyinggung masalah mahasiswa, Van Dop seperti disentakkan untuk mengemukakan pendapatnya yang seolah mendapat saluran yang tepat. Secara panjang lebar ia mengingatkan supaya mahasiswa dan alumni tidak membentuk pulau-pulau sendiri. Maksudnya, mahasiswa harus mulai mengabil bagian dalam pelayanan kepada masyarakat luas.
Ia pun menyarankan Perkantas untuk terjun pada pelayanan terhadap masyarakat umum. Ketika kepadanya diberitahukan bahwa memang misi Perkantas adalah melayani kaum intelektual mulai dari siswa, mahasiswa maupun alumni, yang pada gilirannya merekalah yang diharapkan terjun ke tengah masyarakat. Ia tetap kukuh menyatakan bahwa bila yang dilayani hanya kaum terpelajar maka Perkantas lama-lama akan terisolasi.
Ia juga mengingatkan bahwa kita harus dapat membedakan antara atheis teoritis dan atheis praktis. Atheis teoritis adalah orang-orang yang secara langsung mengatakan bahwa mereka tidak percaya akan Allah. Mereka berbuat baik, dan melakukan kejujuran. Sebaliknya, atheis praktis adalah orang-orang yang mulutnya mengaku percaya kepada Tuhan, namun tindakannya tidak mencerminkan kehidupan orang yang takut akan Tuhan.
Menanggapi keluhan Perkantas tentang kendornya aktivitas para mantan mahasiswa, ia menghimbau mahasiswa dan alumni yang diberi karunia kepandaian menyalurkan apa yang dimilikinya itu untuk pelayanan kepada masyarakat luas.
“Mahasiswa seharusnya bisa menempatkan diri sebagai bagian dari anggota gereja,” ungkap Sahertian. Ia menyarankan agar bila mungkin mereka masuk menjadi anggota mejelis. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya pandai menilai gereja kurang ini atau itu. Dalam pengamatannya, Sahertian melihat ada 4 tipe orang: Pertama, ada orang yang masuk ke dalam dan dia bekerja membantu dari dalam. Kedua, ada yang hanya mau tinggal di luar, lalu menilai dan menyatakan kesalahan-kesalahan. Ketiga, ada yang bersikap acuh tak acuh dan terakhir, orang yang sama sekali pasif.
Ia mengharapkan ada banyak mahasiswa yang mempunyai sikap pertama. Yakni mau terlibat dalam pelayanan gereja. Dengan demikian teori manajemen, administrasi, kepemimpinan, perencanaan atau bahkan seni drama bisa mereka kembangkan dalam gereja.
“Jangan menjadi pengeluh terhadap gereja. berilah lebih banyak karena kalian sudah diberi lebih banyak” demikian Sahertian berpesan kepada mahasiswa dan alumni. (03/10)