Jonathan Parapak:
Perubahan Dalam Waktu Singkat

Mungkin untuk sebagian orang, mempersoalkan abad ke-21 agak aneh, karena perubahan terjadi hanya seketika, dalam satu detik berpindah dari abad ke-20 ke abad ke-21. Namun pemikiran demikian semakin relevan apabila kita sadar bahwa perubahan-perubahan besar tidak terjadi seketika melainkan melalui proses yang memakan waktu. Yang perlu dicatat adalah bahwa proses perubahan yang dahulu memakan ribuan tahun, ratusan dan puluhan tahun, kini dapat terjadi dalam waktu lebih singkat, hanya tahunan, bulanan, bahkan mingguan, oleh karena perkembangan teknologi, globalisasi dan dinamika masyarakat yang semakin tinggi.

Dalam konteks inilah kita dapat membicarakan kemungkinan-kemungkinan di abad ke-21, baik sebagai kelanjutan perubahan besar di abad ke-20 maupun kecenderungan di abad ke-21 oleh karena akselerasi perkembangan ilmu dan teknologi serta globalisasi, yang pasti akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita, termasuk di dalamnya kehidupan bergereja, dalam wujud persatuan, pelayanan dan kesaksian.

Bahasan kita semakin penting, oleh karena banyak pengamat melihat bahwa gereja cenderung sangat konservatif, enggan mengikuti perubahan dan pembaharuan, sehingga gereja ketinggalan, dan warga gereja merasakan kurang relevannya pesan dan kesaksian gereja di tengah dunia nyata yang sedang berubah cepat.

Oleh karena itu, tulisan singkat ini diharapkan dapat membantu kita meneropong ke depan, memperkirakan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin berkembang, sehingga kita dapat mempersiapkan diri untuk hadir secara mantap, berkualitas dan dapat berkomunikasi secara efektif dengan lingkungan dan masyarakat kita.

Kecenderungan Memasuki Abad Ke-21

Para pengamat, termasuk Alvin Toffler dan John Naisbitt, mengatakan, sekarang dan memasuki abad ke-21, dunia memasuki era informasi, gelombang ke-3. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang begitu pesatnya, khususnya teknologi informasi, sehingga era abad 21 akan merupakan era informasi di mana manusia dengan mudah secara global mengumpulkan, mengakses, dan memanfaatkan informasi.

Oleh karena itu, keunggulan kompetitif, kekuasaan dan nilai komersil seseorang, organisasi atau unit usaha sangat ditentukan oleh kemampuan dan kompetensinya mengelola informasi. Era abad ke-21 juga digambarkan sebagai era globalisasi yang nyata bagi seluruh aspek kehidupan, baik aspek bisnis, komunikasi, transportasi, investasi, pariwisata, seni budaya, bahkan nilai-nilai tertentu pun semakin global (sejagat). Kesejagatan ini (yang sesungguhnya bagi gereja dan/atau orang beriman Kristiani bukan barang baru) akan membawa dampak dan perubahan yang amat dahsyat dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam dunia globalisasi, kita harus berkompetisi secara global, saling mempengaruhi dan saling tergantung secara global. Benturan-benturan nilai dan kepentingan terjadi pula secara global. Yang menarik adalah bahwa dalam kesejagatan ini dapat pula berkembang fragmentasi seperti yang terjadi di Yugoslavia, Rusia, dan mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia.

Abad ke-21 adalah era iptek. Dalam era itu perkembangan teknologi informasi, rekayasa biologi, kedokteran, teknologi bahan, dll akan melahirkan pemanfaatannya yang baru seperti supercomputers, artificial intelligence, multimedia, cloning, dll. Perkembangan ini memunculkan tantangan-tantangan baru seperti sejauh mana cloning ini dilakukan untuk manusia, sejauh mana kita mengizinkan super-computers mengendalikan manusia sehingga rasa aman dan kepribadiannya tidak terganggu. Manfaat teknologi pasti dirasakan dan dinikmati oleh gereja dan warganya. Namun tantangan bahkan ancaman teknologi pun akan merupakan bagian dari kehidupan gereja di abad ke-21.

Indonesia Memasuki Abad Ke-21

Dari sudut pandang Indonesia, memasuki abad ke-21 merupakan tantangan yang luar biasa. Pada saat akan memasuki abad ke-21 ini, Indonesia dilanda berbagai krisis yang sangat berat. Mulai dengan krisis ekonomi/moneter, krisis sosial politik, krisis kepercayaan, bahkan krisis moral dan krisis keagamaan. Untuk memasuki abad ke-21, menurut pidato kenegaraan Presiden 16 Agustus ada 3 masalah utama yang harus diselesaikan, yaitu bagaimana mengatasi berbagai krisis, bagaimana secara arif menyelesaikan berbagai konflik sosial politik, dan strategi apa yang cocok untuk masa depan menghadapi derasnya arus globalisasi dan liberalisasi.

Dari gambaran masalah-masalah ini, jelas bahwa Bangsa Indonesia dalam memasuki abad ke-21 masih akan disibukkan dengan masalah-masalah mendasar, sehingga kemampuan kita untuk berkompetensi secara global masih akan terbatas. Kalau dunia akan bicara mengenai iptek canggih, kita masih akan bergumul dengan penyediaan lapangan kerja. Kalau dunia berbicara “cloning”, kita masih bergumul dengan JPS, dan upaya-upaya mengurangi kemiskinan. Kalau dunia bergulat dengan globalisasi kita masih akan bergumul dengan potensi fragmentasi dan penyelesaian konflik-konflik sosail politik bahkan nuansa “SARA” pun masih peka di masyarakat kita.

Menghadapi tantangan yang begitu berat, gereja sebagai bagian dari bangsa ini tidak boleh berpangku tangan, menjadi penonton, melainkan menjadi peserta yang berperan aktif, proaktif dan kreatif dalam mencari penyelesaian yang arif dari berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Kehadiran dan peran yang positif dinantikan oleh segenap komponen bangsa ini.

Gereja Memasuki Abad Ke-21

Secara umum gereja dipahami sebagai organisasi keagamaan yang bentuknya sangat banyak. Sebut saja GKI, HKBP, Gereja Toraja, Gereja Presbyterian, Methodist, dll. Namun secara teologis, gereja adalah persekutuan orang-orang percaya, sudah diampuni dan diselamatkan, dikuduskan/dipisahkan untuk dikirim kembali ke dunia melayani dan bersaksi. Karya penyelamatan yang dipahami dalam iman Kristen adalah keselamatan yang holistik, mencakup aspek spiritual, moral dan wujud fisik kehidupan dalam dunia ini.

Oleh karena itulah gereja tidak dapat mengabaikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia ini. Ia harus memahami, memanfaatkan dan menanggapi dampak dan perkembangan iptek, dinamika masyarakat, bahkan perubahan-perubahan global. Dalam kaitan itulah kita perlu sadar akan perubahan yang terjadi serta memahami tantangan-tantangan yang akan kita hadapi memasuki abad ke-21. Dari sudut pandang gereja dan iman Kristiani kita akan mengalami, antara lain:

  1. Pola komunikasi menjadi multidimensional, sehingga perlu, terus menerus dikembangkan komunikasi yang efektif.
  2. Persaingan dan benturan-benturan nilai global akan semakin terasa sehingga diperlukan pemberdayaan warga yang akseleratif untuk memiliki ketahanan pribadi dan ketahanan iman yang tangguh.
  3. Gaya hidup cepat dengan dinamika perubahan tinggi akan merupakan ciri dari kehidupan abad ke-21.
  4. Tantangan iptek yang berdimensi moral misalnya “cloning” manusia, “genetic engineering”, sehingga diperlukan kesiapan moral, etik, dan spiritual untuk menanggapi perkembangan yang spektakuler.
  5. Meningkatkan rasa “alienasi”, keterasingan kebosanan, dehumanisasi oleh karena otomatisasi yang meningkat dan pola interaksi manusia yang berubah sehingga diperlukan “pembaharuan”, penghayatan/aplikasi dari pesan Kristiani.

Khusus untuk situasi Indonesia, tampaknya “efektivitas komunikasi” perlu dibaharui. Gereja harusnya bisa tampil membawa berita sukacita dan pengharapan dalam era yang penuh krisis dan bahaya disintegrasi. Gereja harus ikut memberi landasan etik, moral dan spiritual bagi upaya bangsa untuk keluar dari krisis ekonomi, sosial-politik serta mampu memberikan masukan untuk strategi pembangunan berkelanjutan. Gereja dan insan Kristiani di Indonesia akan selalu dihadapkan dengan “issue kemajemukan”, di mana secara kuantitas insan Kristiani akan selalu merupakan kelompok minoritas, namun ia harus selalu tampil berkualitas, memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Strategi Kesaksian dan Pelayanan

Kesaksian dan pelayanan adalah komunikasi dalam keutuhan. Oleh karena itu strategi ke depan adalah “strategi komunikasi yang efektif”. Itu berarti “cara mengemas” pesan harus dimutakhirkan, pola komunikasi disesuaikan, pemilihan media yang tepat, serta pemahaman yang baik tentang khalayak. Selain itu, kita harus memahami bahwa infrastruktur komunikasi sudah mengglobal sehingga akses informasi dan kompetisi daya tarik semakin sengit pula! Kini secara teknis kita dapat menghubungkan diri dengan siapa saja di seluruh dunia. Selain itu, “konsep persekutuan” dapat kita wujudkan melalui jaringan, baik itu jaringan fisik maupun jaringan organisasi dan jaringan spiritual. Infrastruktur informasi akan dapat mendukung pengembangan jaringan persekutuan.

Untuk berkembangnya jaringan persekutuan yang mantap diperlukan kesamaan visi dan misi. Strategi jaringan ini dapat pulan menjadi jembatan atau jalur komunikasi yang efektif dengan lingkungan yang sangat majemuk. Pengembangan jaringan yang meluas mengharuskan pula gaya dan warganya “terlibat” dan berperan positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sana “ia” menjadi saluran kasih dan berkat; di sana “ia” membawa pembaharuan dan pengharapan.

Semuanya itu bertumpu pada strategi pengembangan manusia Kristiani yang tangguh dalam iman, kokoh dalam kepribadian, kompeten dalam pelayanan dan kesaksia. Oleh karena itu, motivasi untuk belajar dan memberdayakan diri perlu dipacu terus menerus.

Peran Warga Gereja

Salah satu ciri masyarakat yang akan datang adalah peran individu yang meningkat. Seseorang yang memiliki kompetensi dan akses ke jaringan informasi global dapat berperan secara global. Pikiran dan karyanya dapat disajikan dengan relatif mudah di pentas dunia. Potensi ini tentu juga dapat terjadi dalam kelompok yang lebih kecil, dalam satu negara, wilayah, bahkan dalam satu persekutuan gereja. Bayangkan saja, melalui satelit seseorang dapat berbicara ke seluruh dunia pada waktu yang sama. Yang ingin digarisbawahi adalah bahwa sekarang yang dipersiapkan, diberdayakan, dan diberi kesempatan dapat berperan luar biasa dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, dan bernegara. Oleh karena itu, tugas kita bersama adalah sungguh-sungguh berupaya untuk memberdayakan sebanyak mungkin warga gereja dan menyiapkan mereka untuk memasuki abad ke-21.

Dari sudut pandang pelayanan, kita harus menyadari bahwa arena pelayanan kita akan berubah, media pelayanan baru pun dapat berubah, dan pola komunikasi kita pun dapat berubah. Dapatkah kita bayangkan bahwa khotbah mingguan pendeta yang disiapkan dapat dalam sekejap dikirim ke semua anggota sehingga ibadah minggu bisa berubah menjadi persekutuan puji-pujian, penyembahan, doa, dan diskusi? Dapatkah kita bayangkan “church on the net,” gereja di jaringan multimedia, sehingga tidak perlu mengalami kemacetan di jalan? Dapatkah kita bayangkan “penggembalaan” counseling melalui telepon, internet, dan multimedia? Bersediakah kita untuk mengubah intensitas dan cara kita berinteraksi antarsesama, dengan cara-cara yang baru?

Pola kesaksian kita pun harus ditempatkan dalam komunikasi yang efektif. Banyak masalah kesaksian muncul dari interaksi kita dengan lingkungan. Kita kurang memahami lingkungan kita. Memasuki abad ke-21, kehadiran kita sebagai garam dan terang akan dapat berubah wujudnya dalam pola interaksi yang lain. Masalah yang dihadapi akan berbeda, dan lingkungan masyarakat akan berbeda. Bagaimanakah kita wujudkan kesaksian kita, apalagi dalam masyarakat yang majemuk? Apa yang digambarkan ini mungkin dirasa aneh dan kurang relevan. Namun demikian, untuk kota Jakarta kita sudah berhadapan dengan spektrum gaya hidup yang luas. Memang apa yang digambarkan ini baru terasa di sekitar 10% keluarga. Namun tidak berarti ia akan berhenti di situ. Gaya hidup modern akan terus berkembang dan meluas sehingga pola kesaksian kita pun harus disesuaikan.

Salah satu aspek lain yang ingin diangkat adalah “peran warga gereja” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengalaman di Indonesia akhir-akhir ini menggambarkan betapa kompleksnya hidup sebagai insan Kristiani dalam masyarakat yang majemuk. Lihat saja situasi di Ambon, situasi di KPU dan PPI, dan banyak lagi di mana isu SARA mencuat ke permukaan.

Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan warga gereja untuk menjadi tangguh dan efektif dalam pelayanan dan kesaksiannya di dunia yang kompleks dan penuh tantangan. Persiapan dan pemberdayaan itu menyangkut aspek spiritualitas, aspek profesi, termasuk di dalamnya bidang pelayanan dan kesaksian gerejawi.

Pemanfaatan Iptek dalam Kesaksian dan Pelayanan Gerejawi

Apabila kita berbicara tentang pelayanan dan kesaksian gereja, itu menyangkut manusia utuh (holistik). Oleh karena itu, iptek harus selalu diabdikan bagi kesejahteraan manusia dalam keutuhannya, baik itu aspek spiritualitas, aspek moral, dan kehidupan fisik. Dalam konteks pelayanan dan kesaksian gereja, maka dari sudut pandang pelayanan mungkin lebih banyak dari kita membayangkan ilmu teknologi, kesehatan, pendidikan, pangan, papan, dan sudut pandang yang umumnya berpihak pada mereka yang kurang mampu. Sedangkan dari sudut pandang kesaksian, kita dapat memanfaatkan teknologi satelit, internet, radio, dan televisi, serta media bergerak.

Yang ingin digarisbawahi adalah bahwa iptek harus dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan harkat kemanusiaan untuk membawa kesejahteraan dan keselamatan yang holistik. Warga gereja ikut bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum melalui pemanfaatan teknologi.

Abad ke-21 adalah era baru – Indonesia baru – penuh perubahan dan tantangan. Warga gereja harus proaktif mempersiapkan diri untuk menjadi pelayan yang efektif dan komunikatif bagi kemuliaan Tuhan.

—— Dituliskan oleh Jonathan Parapak, 
——- diterbitkan pada  edisi No.6 November-Desember 2000, Memasuki abad 21

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *