Indonesia sudah menjadi realita politik dan fenomena internasional. Indonesia kini dikenal sebagai negara demokrasi nomor tiga terbesar di dunia, sebagai “environmental superpower” atau pemilik hutan tropis yang menjadi solusi penting perubahan iklim global, dan sebagai kekuatan ekonomi yang dinamis, berlimpah sumber daya alam, dan bermasa depan cerah.
Pada 2008 untuk pertama kalinya KTT G-8 mengundang Indonesia dalam “major economies meeting”. Sejak itu, OECD memasukkan Indonesia dalam “enhanced partnership” bersama India, China, Brazil dan Afrika Selatan. International Finance Corporation menyatakan Indonesia sebagai salah satu “fastest reformers” di kalangan emerging markets.
Goldman Sachs juga memasukkan Indonesia dalam kategori Next 11 (N 11), yakni sekelompok negara yang dipandang berpotensi menyaingi G 7. Dari 11 negara ini, hanya Indonesia dan Meksiko yang tahun 2050 ekonominya diprediksi akan melampaui Perancis, Inggris, Jerman dan Jepang.
Berbicara mengenai kejayaan Indonesia, yang terpenting haruslah ada keserasian antara tujuan aspirasional dan nilai operasional. Aspirasi kita menjadi bangsa juara harus didukung oleh mental juara.
Ironisnya, kita masih sering dibelenggu oleh kebiasaan lama (nilai operasional) yang selama ini membuat kita lamban, naif, dan lengah. Di berbagai kalangan, kita masih sering melihat energi negatif, sentimen anti-ini dan anti-itu, sinisme, takut perubahan, malas bersaing, xenophobia, paranoia terhadap dunia luar, dan ketidak mampuan membaca tanda zaman.
Jika terus berpegang pada kebiasaan lama ini, kita hanya akan mencapai 40 % potensi bangsa. Padahal, jika kita meninggalkan kebiasaan lama itu, Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi unggul yang paling kompetitif di Asia, handal beradaptasi dan mengambil keuntungan dari globalisasi, serta mencapai target internasional Millenium Development Goals dengan kemakmuran yang relatif merata dari Sabang sampai Merauke.
Padahal, kita berada di lingkungan strategis baru. Seorang sosiolog Inggris terkemuka saat ini, Anthony Giddens, menyebut dunia kita saat ini sebagai “run away world” – dunia yang berlari cepat, sangat cepat.
Untuk itu, saya mengidentifikasi 5 nilai operasional yang mutlak perlu bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang unggul di abad ke 21, yaitu profesionalitas, dedikasi, keterbukaan, konektifitas, dan kekudusan hidup.
Saya rindu pelayanan Perkantas diabdikan sepenuhnya untuk mempromosikan kelima nilai ini ke dalam mainstream Indonesia. Saya yakin nilai-nilai inilah yang akan memicu ledakan kreatifitas Indonesia.
Perkantas harus mampu membantu generasi muda membangun semangat, mentalitas dan etos kerja yang progresif dan lebih cocok untuk menjawab tantangan zaman di abad ke-21.
Perkantas perlu mendorong siswa, mahasiswa, dan alumni yang dilayaninya untuk terus giat beradaptasi dengan perubahan zaman di abad ke 21, sehingga Perkantas mampu menampilkan alumni yang nasionalis, internasionalis, open minded, dan fungsional.
Perkantas perlu menegaskan bahwa generasi hari ini harus dipacu oleh semangat menangkap peluang, dengan wawasan yang terus menyongsong hari esok; bukan dikekang oleh teori konspirasi, dan harus berorientasi pada energi positif, bukan energi negatif, serta dengan terus menonjolkan sikap moderat dan pluralis sebagai kunci sukses.
Perkantas perlu membuka pikiran umat untuk tidak takut dengan perubahan, tetapi sebaliknya justru terpacu dengan perubahan. Selalu mencari ide dan inovasi baru, dan yakin bahwa perubahan yang berkesinambungan adalah kunci menuju vitalitas dan kesuksesan bangsa.
Dengan semangat marturia, koinonia, dan diakonia yang tak pernah padam, Perkantas perlu bahu-membahu dengan semua pihak yang berniat mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar di abad ke 21. Dan, pekerjaan besar ini dimulai di sini, sekarang. Itulah identitas Perkantas setelah berulangtahun yang ke-40.
————————–
*Dituliskan oleh, Partogi Samosir Diaken di Wildwood Baptist Church Maryland
**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi I, tahun 2011