Lily Endang Joeliani:
Buktinya Manna…??

“Apakah gunanya, saudara-saudara, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan?” Yakobus 2:14a

            Salah seorang teman saya – seorang Kristen yang tidak aktif dalam lingkungan persekutuan kampus maupun gereja – selalu bersikap sinis terhadap orang-orang persekutuan yang sering berkata, “Doakan saja…” atau, “Yah, nanti saya doakan.” Ketika saya tanyakan sebabnya, dia berujar “ Wah doa terus … kapan bertindaknya? Emang kalo di doakan perus jadi kenyang?” belum lagi mendengar komentarnya terhadap sikap umum orang Kristen yang tidak terlalu peduli terhadap keadaan lingkungan, “Boro-boro lingkungan masyarakat, orang satu gereja pun dia belum tentu tahu kaya apa kondisinya!” cukup pedas terdengar telinga kita.

Boleh jadi kita tidak suka mendengar komentar tersebut. Tapi pembelaan apa yang dapat kita ajukan? Banyak orang Kristen akan bersembunyi di balik alasan klise: “Kan  yang penting menyebarkan Injil. Keselamatan jiwa lebih penting dari hal-hal fisik dan materi. Kalau orang itu sudah bertobat, ya sudah. Tuhan memelihara dia, kok.” Apa benar demikian?

Yakobus dengan keras menantang orang-orang yang bersembunyi dibalik tameng iman, “Tunjukkan kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak 2:18b). dalam perikop tersebut, Yakobus tidak menentang kebenaran bahwa imanlah yang menyelamatkan manusia. Ia hanya menegaskan iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati (2:17) tapi bukan oleh “iman saja” (tanpa ditunjukkan oleh perbuatan)

Ia berkata, “Jika seseorang saudara atau saudarimu tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang diantara kamu berkata: ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apalah gunanya itu?” (2:15-16). Remaja masa kini akan menyebutnya, “itu sih, ngeledek.”

            Berita Injil Kristus adalah berita yang mengubahkan, baik pribadi-pribadi maupun masyarakat secara keseluruhan. Dibanyak tempat telah terbukti bahwa dimana Injil diberitakan, kondisi sosial masyarakat berubah pula, bukan sekedar banyak orang yang bertobat. Tidak hanya pemabuk tidak lagi minum-minum, namun rumah-rumah tempat minum pun ditutup. Demikian dasyat perubahan yang segera terlihat dalam konteks sosial masyarakat.

Demikian pula dasyatnya perubahan dalam pribadi-pribadi. Seseorang bisa jadi tidak hafal dimana Kristus lahir. Namun kala ia bertemu Tuhan, hidupnya berubah. Motivasinya berubah, kesukaannya berubah, cara pikirnya berubah tujuan hidupnya berubah. Iman yang lahir, kemudian tampak nyata dalam perbuatan. Koruptor tidak lagi korupsi, pelacur tidak lagi melacur, narapidanan menjadi pendeta. Kesaksian macam ini dapat kita peroleh dan baca dimana-mana.

Tapi mengapa ditengah kehidupan masyarakat Kristen masih saja terdapat kesusahan, kemiskinan, kekurangan, dan kebodohan? Apakah karena Injil itu tidak kuasa lagi mengubahkan? Atau karena tangan Tuhan kurang panjang untuk menolong dan memelihara?

Bukankah jumlah umat percaya semakin besar dibandingkan ketika Jemaat mula-mula?

Saya khwatir bukan karena Injil sudah “lumpuh” atau karena Tuhan tidak mampu lagi. Tetapi karena jemaat yang jumlahnya semakin banyak itu tidak lagi mampu dan mau mempraktekkan imannya. Banyak pristiwa yang telah terjadi sepanjang sejarah kekristenan, dan tidak sedikit pengaruhnya terhadap praktek iman kita.

Sejak awal, kekristenan lahir sebagai agama yang revolusioner. Yesus bersaksi keras terhadap ketimpangan yang ada dalam masyarakat Yahudi, dimana orang Farisi, para imam dan para tokoh iman memperlakukan kaum yang terbuang seolah-olah sampah. Kekristenan abad petengahan mengakibatkan runtuhnya perbudakan, dijunjung tingginya hak asasi manusia, dihormatinya kaum wanita, dan banyak lagi.

Namun respon keras terhadapt lahirnya sosial gospel – ajaran yang terlalu mementingkan tindakan sosial dan mengabaikan aspek teologis – diawal abad ke 20, menyebabkan banyak kalangan tidak lagi mengaitkan iman Kristen dengan perbaikan sosial. Iman tinggal iman semata, makin miskin dari penerapan sosial. Tindakan penyelamatan sosial kemudian banyak diambil alih oleh kalangan non-Kristen, dan justru dicela oleh kebanyakan masyarakat Kristen. Kekristenan yang dahulu adalah agama yang berhasil membawa perubahan besar dalam peradaban, kini semakin terpojok.

Yakobus menegaskan dalam tantangannya diatas, bahwa iman tidak mungkin dipisahkan dari perbuatan, dan sebaiknya. Iman yang benar dan menyelamatkan akan tampak dari perbuatan yang benar pula. Umat yang beriman seharusnya memiliki perbuatan dan tindakan yang selaras pula.

Betapa kontradiktifnya kehidupan banyak kalangan Kristiani saat ini. Saat mereka dengan pongah menyatakan diri sebagai umat Tuhan, mereka dengan darah dingin mengabaikan sesama yang menderita. Bahkan jika yang menderita itu sesama umat percaya sekalipun. Saat persekutuan-persekutuan tumbuh menjamur, disaat yang sama pula kepedulian terhadap sesama semakin pudar. Jemaat persekutuan hanya memikirkan bagaimana agar dirinya selamat, diberkati Tuhan, punya kehidupan rohani yang mesra dengan Tuhan, persekutuan – yang didalamnya seharusnya terdapat kasih, penerimaan, penghiburan, pertolongan, penguatan, saling berbagi – kini tinggal nama tanpa identitas kekristenan yang jelas.

Kalau kita merasa diri sebagai umat percaya, anggota persekutuan Tubuh Kristus, jangan terlalu cepat bangga. Periksa tindakan dan perbuatan kita terlebih dahulu. Terbuktikah atribut yang kita sandang?

 

Dituliskan oleh Lily Endang Joeliani, Alumni Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia, Jakarta

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *