Salah satu kebanggaan Indonesia adalah tingkat religiusitasnya yang tinggi, dan memang demikianlah adanya. Tidak ada satu anak pun di negeri ini yang dibesarkan tanpa diperkenalkan pada konsep-konsep tentang Tuhan dan agama. Hampir semua media massa memasukkan unsur religi ke dalam rubrik mereka, baik berupa konsultasi atau mimbar agama, hingga sinetron-sinetron bernuansa religi. Di dalam kehidupan gereja dan persekutuan Kristen di Indonesia, hal yang sama terjadi. Kita masih bisa dengan mudah mendapati anak-anak muda yang menghadiri kebaktian, bahkan terjun aktif dalam pelayanan. Hal yang sudah jarang didapati di gereja-gereja Amerika atau Eropa.
Akan tetapi, di balik segala aktivitas rohani tersebut, ada yang memunculkan keprihatinan. Tak sedikit aktivis gereja atau persekutuan kampus yang tidak bertumbuh secara pribadi atau malah berkubang dalam berbagai dosa. Aktivitas-aktivitas rohani seolah-olah hanya menjadi stempel atau legitimasi atas spiritualitas seseorang. Apa yang disampaikan di atas mimbar seringkali hanya berhenti di dalam gereja, tak mengalir ke luar. Kekhawatiran pun muncul, jangan-jangan, kehidupan rohani kita “mundur” jauh ke belakang seperti yang ditampakkan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang justru sering dikritik oleh Yesus.
Oleh karena itulah, fokus kita kali ini mengangkat (kembali) permasalahan seputar relasi maupun dikotomi antara spiritualitas atau kerohanian dengan aktivitas rohani. Philip Ayus dari Majalah Dia telah mewawancarai tiga narasumber berkaitan dengan tema kita kali ini, yakni Alex Nanlohy, S.Sos, M.A. (Pimpinan Cabang Perkantas Jakarta), Deddi Tedjakumara, S.T., M.M. (Direktur Eksekutif Prasetya Mulya Executive Learning Institute), dan Ir. Tadius Gunadi, MCS (Staf Senior Perkantas). Berikut hasil perbincangannya:
Kata spiritualitas memang tidak terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, akan tetapi padanan katanya, “kerohanian,” didefinisikan sebagai “sifat-sifat rohani;perihal rohani.” Tiap kali bicara soal spiritualitas, biasanya orang akan mengaitkannya dengan kegiatan atau aktivitas keagaaman. Spiritualitas memang tidak berwujud, sehingga seringkali dilekatkan atau diidentikkan dengan aktivitas yang dapat didengar atau dilihat.
Akan tetapi, apakah sesungguhnya spiritualitas itu? Alex Nanlohy (AN) mendefinisikannya sebagai seluruh aktivitas atau seluruh kehidupan kita di hadapan Tuhan. Banyak orang membagi seolah-olah spiritualitas itu hanya berhenti waktu adal di dalam ruang ibadah, maka tidak heran jika aspek hidup keseharian yang lebih banyak di luar gereja itu tidak diwarnai. “Spiritualitasnya nggak nembus pintu gereja, nggak nembus tembok gereja, semua berhenti di situ,” demikian jelasnya. Dia menambahkan, “Juga kecenderungan segala sesuatu yang terlalu diprivatisasi, jadi seolah-olah yang penting saya memberi waktu beribadah, itu sudah cukup membuat saya merasa spiritual. Meminjam istilah pak Yonky (Yonky Karman—red), kesalehan pribadi nggak mempengaruhi kesalehan sosial.”
Sementara itu, Deddi Tedjakumara (DT) memandang spiritualitas sebagai memaknai dan menjalani kehidupan ini dari perspektif Allah. “Kalau kita hanya menjalani tanpa memaknai hidup kita, kita tak bisa melihat hal-hal yang lebih besar dari sekedar hidup. Kalau kita memaknai saja tapi tidak menjalaninya, kita menjadi seorang filsuf. Buah-buah kita tidak nyata bagi kehidupan,” demikian jelasnya.
Hampir senada, Tadius Gunadi (TG) mengatakan bahwa spiritualitas Kristen adalah kehidupan rohani yang berkaitan dengan persekutuan kita dengan Tuhan. Bagi ayah tiga anak ini, spiritualitas mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Seseorang yang memiliki spiritualitas yang baik biasanya terpancar dari ketenangan pribadinya, kebijakannya, dst. Sehingga semua tindakan dan perkataannya menjadi berkat bagi orang lain. “Kalau seseorang memiliki spiritualitas yang baik, dia bisa lebih tenang, tidak panik, damai, punya kendali sikap yang lebih baik, sehingga kemungkinan melakukan kesalahan lebih kecil,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa satu ukuran yang bisa dilihat adalah dari buah Roh yang dihasilkan, atau istilah Paulus, orang itu dipimpin oleh Roh.
Dengan demikian, spiritualitas itu menjadi penting karena mempengaruhi bagaimana seseorang beraktivitas, dan tentu saja, bagaimana aktivitas itu berdampak nyata bagi orang lain. Spiritualitas itu juga tidak melulu berkaitan dengan aktivitas rohani, melainkan semua aktivitas keseharian kita juga. Bahkan di dalam dunia bisnis, sebagaimana diungkapkan oleh DT, orang-orang sudah mulai berpikir tentang pentingnya berpikir lebih dari sekedar mengejar laba, tapi juga memikirkan makna yang lebih tinggi, meski “transendensi” yang mereka maksudkan berbeda dengan kita, yang memaknai hidup dari perspektif Allah.
Sebagai contoh dari perusahaan yang menerapkan spiritualitas Kristen, DT menyebutkan nama sebuah perusahaan cleaning service yang populer di Indonesia. Meski bergerak dalam jasa kebersihan yang seringkali dipandang remeh, namun pimpinan perusahaannya yang juga adalah anak Tuhan mampu membuat perbedaan yang signifikan, terutama dalam hal penghargaan terhadap karyawan, dan yang lebih penting, dalam hal cara pandang karyawan terhadap pekerjaannya. Pekerjaan sebagai “tukang bersih-bersih” bukan lagi dipandang sebagai hal yang memalukan, namun sebaliknya, menjadi sesuatu yang mulia dan patut disyukuri. “Dia tidak mendefinisikan perusahaannya sebagai social entrepreneurship, dan sebenarnya bisnis itu sudah ada dari dulu, tapi ternyata dia (direktur perusahaan itu—red) bisa menemukan sebuah misi, sebuah makna spiritual yang luar biasa. Ia kembali mengangkat harkat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dipandang berharga, dan buat saya, ini adalah sebuah contoh nyata dari spiritualitas yang berjalan di dalam dunia bisnis,” kata DT.
Pada kesempatan lain, TG berpendapat bahwa pencarian manusia akan hal-hal yang rohani itu wajar, mengingat meski telah jatuh dalam dosa, manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. “Tak heran, selain mahluk sosial, manusia juga mahluk spiritual,” demikian ungkapnya, “Sadar maupun tidak, mengakui atau tidak, manusia itu mencari Tuhan, jadi kalau makin banyak orang mencari hal-hal yang rohani, itu wajar,” sambungnya. Sayangnya, menurut TG, seringkali kebutuhan akan spiritualitas itu dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang menawarkan kekayaan, kesehatan, dan sebagainya. Walaupun kita tidak memungkiri, bahwa dampak logis dari spiritualitas yang baik adalah hal-hal yang baik, tapi itu bukan yang utama.
Spiritualitas atau legalisme?
AN mengingatkan akan bahaya legalisme dalam aktivitas rohani kita. “Seorang dosen pernah ngomong, jangan biarkan orang lain mendefinisikan dirimu hanya sekedar dari saat teduhmu, hanya sekedar dari doamu,” ujarnya. “Poinnya adalah, kita ini berharga di hadapan Allah, dan ini sebuah titik tolak. Jangan merasa dengan saya saat teduh maka Allah lebih sayang sama saya.” Dia menyambung lagi, “Allah memang sudah sayang sama saya tanpa saya melakukan hal-hal itu; tapi kalau lakukan itu (disiplin rohani—red), maka itu dalam pengertian sebagai satu disiplin supaya saya menikmati relasi dengan Dia.”
DT juga menggarisbawahi hal yang sama, yakni bahaya dari pola deterministik, atau pola-pola aktivitas rohani yang sudah ditentukan, yang kemudian bisa membawa kita terjatuh ke dalam legalisme. Dia berpendapat bahwa tiap orang memiliki karakteristik pertumbuhannya sendiri. Ada orang yang paling banyak bertumbuh dengan berdoa, sementara orang lain menikmati pertumbuhan dengan mengikuti seminar rohani. “Oleh karena itu, sebagai anak-anak Tuhan yang sudah dewasa, saya justru mengharapkan kita bisa menemukan pola-pola pertumbuhan rohani yang tepat untuk kita,” demikian tegasnya.
Yang harus selalu diingat, menurut TG, adalah dua hukum yang terutama, yakni mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Dia kemudian mengamati bahwa selain menyalahgunakan spiritualitas sebagai jawaban atas kebutuhan hidup, ada pula yang memakai spiritualitas itu sebagai kompensasi atas perasaan inferioritas mereka. “Dalam masyarakat kita banyak yang mengalami inferiority complex, mungkin karena miskin, tidak berpendidikan, tidak punya status sosial, dan sebagainya,” jelasnya. Memang pada kenyataannya, orang-orang yang tergabung dalam berbagai ormas keagamaan, misalnya, mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Yang patut menjadi pertanyaan pribadi, apakah aktivitas rohani kita juga didasarkan pada keinginan untuk tampil excellent karena merasa tak ada yang bisa dibanggakan dari sisi hidup kita yang lain?
Dasar spiritualitas Kristen, menurut AN, adalah pengenalan yang benar akan Kristus, dan pengenalan yang benar itu hanya bisa dicapai dengan mempelajari firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, sehingga kita mengenal Yesus secara utuh. Itulah sebabnya, dia suka dengan istilah “disiplin rohani.” Lebih jauh dia menjelaskan, “Kita tidak bisa mengatakan spiritualitas itu terbentuk dengan sendirinya. Sebagaimana hal-hal yang jasmani itu butuh disiplin, butuh latihan, maka disiplin rohani menjadi penting. Tapi menarik, istilahnya disiplin, bukan kewajiban, karena disiplin itu lahir dari kesadaran dari dalam diri, sedangkan kewajiban dari paksaan dari luar.”
Yang jelas, semua disiplin rohani, seperti doa, puasa, saat teduh, PA, bible reading, dan seterusnya tujuannya sama, yakni untuk menolong kita mengenal Tuhan, jadi bukan untuk mendapat legitimasi atau cap sebagai orang yang spiritual. TG mengatakan, bahwa Yesus memberikan pemahaman baru mengenai apa itu relasi dengan Allah, yakni seperti anak dengan bapaknya. Ketika kita membaca alkitab, misalnya, itu dalam pemahaman bahwa Bapa kita ingin berbicara dengan kita.
Ketika spiritualitas mengalami kemunduran
Kesadaran akan status relasi yang sangat intim ini akan sangat berpengaruh pada spiritualitas seseorang. Ketika terjatuh ke dalam dosa, misalnya, dia tak akan segan atau menunda-nunda untuk berdoa dan mengakuinya kepada Bapa. AN mengutip perkataan pembimbingnya dahulu, “Ketika kamu masih berdoa meskipun kamu sadar betul bahwa kamu sedang dalam pergumulan dosa, hal itu jauh lebih baik daripada tidak berdoa sama sekali.” Lebih lanjut dia menambahkan, “Tak ada orang tua yang ketika anaknya melakukan kesalahan kemudian bikin akta ‘kamu bukan anak.’ Keyakinan bahwa kita anak Allah seharusnya membuat kita mau dating lagi pada Tuhan waktu berdosa, bukannya malah menjauh.”
Di kesempatan lain, DT mengatakan bahwa setiap orang punya potensi untuk mengalami kerohanian yang “mundur.” Ada yang menjalani pelayanan, tapi tidak menemukan makna dari pelayanan tersebut. “Ada titik di mana spiritualitas kita paling rendah,” ungkap DT, “di situlah pentingnya kita mengetahui metode untuk fast-recharging kita seperti apa,” sambungnya. Dia mengumpamakan kehidupan spiritual kita seperti baterai ponsel, yang ketika berada dalam kondisi low-batt butuh untuk segera di-charge. Metode fast-recharging kita bisa bermacam cara, misalnya dengan melakukan refleksi/retret, ikut KKR, baca buku, dan lain sebagainya. Mengenali kelemahan diri dan cara yang paling efektif untuk menyingkirkannya itu sangat penting.
AN juga mengingatkan akan pentingnya komunitas. Jika ada anggota komunitas yang jatuh, “kita yang rohani seharusnya membimbing. Kalaupun kita mendisiplin dia, itu bukan untuk melepasnya jauh, tapi untuk membuatnya kembali,” tukasnya. AN melanjutkan, “memang, orang itu akan merasa malu atau tertuduh, tapi sebenarnya itu kan sarana pemulihan. Saya melihat persekutuan kita tidak menjadi tempat di mana orang saling mengaku dosa. Saya lagi bergumul gimana supaya komunitas kita menjadi komunitas di mana ‘anak yang hilang’ itu diterima.”
Dia juga menyoroti keengganan komunitas untuk menegur orang yang jelas-jelas salah, dengan alasan itu urusan pribadi. “Kalau apatis dengan lingkungan yang paling dekat, bagaimana dengan bangsa?” dia bertanya, “budaya sungkan atau lu-gue lu-gue membuat orang yang bersalah tetap berada di dalam persekutuan dan tidak berubah, atau yang ada di luar makin menjauh dan tak terjangkau lagi.”
Spiritualitas, aktivitas, komunitas
DT mengatakan, bahwa dunia kita saat ini, entah disadari atau tidak, sudah tersistemkan untuk striving for excellence. Itulah yang membuat dunia ini mengalami kemajuan yang luar biasa. “Namun, kecepatan ini seringkali justru membuat kita tidak bisa lagi memaknai,” ungkapnya. DT juga mengatakan bahwa jikalau kita semua memahami bahwa kehidupan kita di dunia ini adalah untuk sebuah purpose, dan itu bukan untuk hanya bertahan hidup, tetapi juga untuk menghidupi hidup itu, maka sebenarnya kita selalu punya waktu untuk memikirkan dari sisi spiritualitas. Ketika kesibukan kita begitu banyak, seringkali kita hanya akan terjebak pada sekedar bertahan hidup. Kita tidak bisa lagi menghidupi hidup itu. Itu sebabnya kita mendapati orang-orang yang merasa hidupnya kosong padahal pencapaiannya luar biasa. Kenapa ia mengalami kekosongan? Menurut DT, karena ia terjebak dengan aktivitasnya, tapi lupa untuk menghubungkannya dengan purpose.
DT mengajukan pertanyaan kepada kita sebagai anak-anak Tuhan, “Pernahkah kita berpikir, mengapa kita melakukan sesuatu lebih baik lagi?” Sebagai anak Tuhan, tambahnya, pasti itu berhubungan dengan purpose Tuhan. Atau jangan-jangan, apa yang kita lakukan dengan lebih baik itu sudah menyimpang dari purpose Tuhan? DT memberikan gambaran kisah yang menarik, yakni ketika seorang turis yang kagum pada kedisiplinan prajurit di negara balkan untuk mengikat seekor anjing dan melepaskannya satu jam kemudian pada jam yang persis sama tiap hari. Ketika ditanya, prajurit itu tak tahu mengapa melakukannya, selain karena ditugaskan oleh atasannya. Selidik punya selidik, ternyata dahulu kala ketika sang kaisar mengadakan jamuan minum teh bersama teman-temannya, ada seekor anjing yang selalu mengganggunya. Itulah sebabnya, ia memerintahkan bahwa tiap hari pukul empat hingga lima sore, yakni pada saat ia minum teh di taman, anjing itu harus diikat. Ketika anjing itu mati, merekapun mencari anjing yang lain untuk diikat dan dilepaskan pada jam yang sama!
Sementara itu, untuk aktivitas-aktivitas rohani, TG mengingatkan bahwa itu semua diperlukan untuk membangun spiritualitas kita. “Kuncinya adalah ketekunan dan keteraturan,” ungkapnya. “Mungkin disiplin rohani pada awalnya tak begitu terasa dampaknya, tapi lambat laun pasti bermanfaat.” TG menekankan pentingnya upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga agar spiritualitas kita tetap terjaga dengan baik.
Oleh karenanya, disiplin rohani seperti membaca alkitab, membaca buku rohani, refleksi, doa, dan sebagainya, sangat diperlukan. Di tengah derasnya arus informasi yang “setengah-setengah,” di mana seorang motivator bisa saja mengutip ayat alkitab lalu menambahkan dengan kata-katanya sendiri atau dari kitab lain sehingga terdengar menarik, adalah sangat penting bagi kita untuk bertekun dalam mempelajari kebenaran firman Tuhan, sehingga kita bisa menyaring hal-hal tersebut dengan baik. “Kalau punya kebiasaan baca Alkitab yang baik, kita akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk melihat apa yang salah di dunia kita,” tambahnya. “Tentu, bersekutu itu sangat penting. Kita bisa subjektif (dalam menilai—red), tapi dengan banyak orang, kita bisa lebih objektif.”
AN juga berpendapat bahwa “hal-hal klasik” seperti PA, saat teduh, dan sebagainya itu tidak bisa diabaikan begitu saja jika kita ingin membangun spiritualitas yang benar. “Ketika itu diabaikan,” kata AN, “spiritualitas yang dihasilkan akan seperti spiritualitas dunia.” Mengutip Chris Wright dalam bukunya yang berjudul “Misi Umat Allah” (diterbitkan Literatur Perkantas), AN berkata, “Ketika kita sadar kita ciptaan Allah, itu satu kesadaran bahwa kita milik Allah dan Dia adalah Raja dalam hidup kita. Kita ini umat kerajaan-Nya yang harus hidup dalam nilai-nilai kerajaan-Nya.”
Dia juga menekankan pentingnya komunitas. “Jangan bermimpi menjadi berkat bagi bangsa ini terlepas dari komunitas,” tegasnya. “karena Tuhan tidak mengutus kita sendirian, tetapi Tuhan mendesain umat-Nya, dan aku melihat walaupun ada seseorang yang menonjol di depan, pasti ada orang-orang yang jadi backup-nya. Hidup spiritual di hadapan Allah dipertemukan dengan sebuah komunitas, hasilnya itu dahsyat menurutku.”