Ruth Yuni:
Masihkah Dibutuhkan Kesetiaan Pada Masa Kini?

Kata “kesetiaan” sering kali membuat kita terasosiasi dengan suatu konsep hubungan yang romantis antara dua manusia, baik dalam hubungan cinta, persahabatan, maupun hubungan bisnis. Kesetiaan pada jaman ini menjadi barang langka. Apakah memang nilai kesetiaan hanya relevan untuk ranah pribadi? Apakah di jaman ini begitu sulit membangun suatu kesetiaan?

Kesetiaan sebagai sebuah nilai (sesuatu yang dianggap berharga untuk dijunjung tinggi) memiliki makna yang kompleks (menurut kamus Webster). Di dalamnya tidak hanya terkandung unsur sikap seseorang, seperti loyalitas, keteguhan untuk tidak berpaling oleh sebab apapun, tidak ada penyimpangan, rasa tanggung jawab dan keterikatan yang berdasarkan kebebasan bukan karena paksaan, akan tetapi juga memiliki unsur perilaku konkret, seperti kehadiran, kedekatan/kebersamaan secara personal, tidak munafik, dapat diandalkan, asli, mempertahankan kebenaran, dan bukan sesuatu yang abstrak. Di dalamnya juga terkandung suatu makna ikatan moral berdasarkan kejujuran dan hati nurani. Tidak cukup sampai di situ, ternyata kesetiaan (faithfulness) seharusnya didasarkan pada cara pandang yang obyektif atau berdasarkan fakta, dan mengandung makna ketepatan.

Dengan demikian, sebagai sebuah nilai, kesetiaan tergolong sebagai nilai moral yang dianut sebagai suatu kebenaran yang universal. Ia tidak terikat oleh kepercayaan dan agama manapun, di mana seseorang yang memiliki nilai tersebut mampu menunjukkan suatu perilaku nyata dalam menunjukkan keteguhan sikap atas kebenaran yang dihayati secara tepat dan jujur pada saat menghadapi suatu kenyataan hidup. Tindakan tersebut merupakan wujud dari rasa tanggung jawab atas solidaritas dan kedekatan untuk mewujudkan rasa saling percaya yang kuat antara satu orang dengan lainnya. Kesetiaan tidak hanya menjadi sebuah motto atau kata-kata. Kesetiaan harus didasarkan pada asas kebenaran dan hati nurani. Kesetiaan tidak munafik. Kesetiaan juga didasari atas pemahaman yang tepat mengenai apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan kebenaran pada saat berhadapan dengan dilema. Kesetiaan mampu menghilangkan keraguan atas sesuatu yang harus dipegang/dipercayai. Kesetiaan membuat setiap orang yakin bahwa ia tidak diperlakukan secara menyimpang atas asas nilai moral/kebenaran, di mana ada suatu keyakinan bahwa orang di sekitar mereka tidak akan saling mengkhianati satu dengan lainnya. Dengan kata lain, kesetiaan mampu membuat situasi nyaman karena setiap orang mengupayakan kesejahteraan/kepentingan bersama.

Bila ditilik dari pemahaman di atas, maka Kesetiaan tidak cukup menjadi “hanya” sebagai sebuah nilai. Ia harus mewujud sebagai karakter di dalam diri manusia. Karakterisasi suatu nilai mengacu pada suatu proses pematangan diri, yang pada hakekatnya merupakan kematangan respon dalam menyikapi kehidupan. Kehidupan senantiasa dipenuhi dengan masalah. Namun masalah merupakan sel-sel yang menggerakkan kehidupan. Masalah dapat memfasilitasi pertumbuhan karakter tertentu. Masalah bisa dipicu oleh adanya kebutuhan tertentu, bisa juga berupa hambatan atau tantangan.

Situasi yang statis dan nyaman justru merupakan situasi yang berbahaya dengan pudarnya kekuatan karakter untuk mengatasi masalah. Karakter dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang pada gilirannya dapat mengalahkan tantangan, menciptakan kesempatan dan menghambat pembusukan. Jika kesetiaan terbentuk sebagai sebuah karakter, maka kekuatannya akan sanggup mengatasi masalah kehidupan. Kesetiaan mampu menjadi penggerak dalam diri seseorang maupun organisasi (sekelompok orang) mencapai tujuannya.

Tujuan bagi manusia merupakan ukuran yang dapat dilihat baik oleh manusia lainnya maupun dirinya sendiri, yang kemudian dihargai dan dikenang sebagai jasa. Ada tujuan yang kemudian dinilai sebagai bermakna dan ada yang dinilai sebagai sebuah kesia-siaan. Kesetiaan sebagai nilai dan karakter dapat memastikan tercapainya tujuan yang bermakna. Sebaliknya, visi kehidupan yang lebih baik mendorong tumbuh kembangnya kesetiaan itu sendiri.

 

Objek kesetiaan

Kesetiaan sebagai sikap harus memiliki “objek” untuk mewujudkannya. Ia tidak dapat berdiri sendiri. “Objek” yang dimaksud adalah tempat di mana kesetiaan itu mengacu dan ditujukan. Manusia setia kepada manusia lainnya karena dengan kesetiaan itu ia memiliki makna untuk berbagi hidup dengan manusia lainnya. Tak jarang kesetiaan itu distimulasi dengan adanya keuntungan yang dapat diraih terhadap objek kesetiaannya. Jika manusia setia kepada Allah, maka dasarnya adalah manusia tahu bahwa Allah layak untuk dijadikan “objek” kesetiaan. Kesetiaan kepada Allah menguntungkan manusia.

Sebaliknya, ketika Allah setia kepada manusia, apa yang dihargai dalam diri manusia tersebut? Apa yang menguntungkan Allah ketika dikatakan bahwa Allah adalah setia? Kesetiaan bagi Allah lebih bersifat karakter, bukan semata-mana sikap dan nilai-nilai moral. Allah “tidak bisa” keluar dari karakter itu, karena Ia bertanggung jawab atas kehidupan manusia yang Ia ciptakan dengan tujuan tertentu. Tujuan itupun semata demi kebaikan manusia itu sendiri.

 

Bagaimana kesetiaan dibangun, dipelihara dan berguna untuk kehidupan

Membangun kesetiaan adalah sebuah proses membangun nilai (valuing). Menurut psikologi pendidikan, membangun nilai tidak cukup hanya dengan suatu proses pemberitahuan, tetapi harus melalui proses yang disebut sebagai experiential learning (belajar melalui pengalaman). Membangun nilai kesetiaan merupakan proses penyadaran di dalam diri manusia bahwa kesetiaan itu ada, penting dan berguna. Lebih jauh pemahaman yang seharusnya disadari adalah, bahwa kesetiaan itu merupakan suatu kemuliaan atau keutamaan karakteristik manusia yang membedakannya dengan mahkluk hidup lainnya.

Setelah kesadaran itu muncul, maka nilai kesetiaan harus diletakkan di dalam suatu urutan prioritas, yang menjadi ukuran atau batasan bagi manusia untuk menilai dan menyikapi apapun yang ia jumpai di sekelilingnya. Pada saat inilah sistem nilai tengah dibangun di dalam diri individu yang diterapkan di dalam suatu proses pengambilan keputusan. Jika seseorang menggunakan kesetiaan sebagai urutan pertama dari kriteria yang harus dipenuhi di dalam mengambil sikap atau keputusan tertentu, maka ia telah memiliki suatu sudut pandang berdasarkan nilai kesetiaan, yang kemudian jika diberlakukan terus mampu membentuk pradigma berpikir dan bertindak setia.

Dalam kapasitasnya sebagai pendorong perilaku, nilai yang sudah mewujud sebagai paradigma memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi seseorang memiliki perilaku tertentu. Namun paradigma bisa tidak terlihat jika tidak didukung oleh keberanian untuk mengujinya di dalam realitas kehidupan. Ketika kesetiaan sudah melalui berbagai ujian dan melewati sejumlah waktu, maka kemudian kesetiaan itu sudah bertumbuh menjadi karakter.

Dapatkah karakter seseorang berubah? Jawabannya adalah “bisa” dan “mungkin.” Begitu pula dengan kesetiaan. Meskipun sulit untuk membentuknya, kesetiaan sangat mungkin dan sangat bisa menjadi luntur pada diri seseorang. Tak ada hal lain yang mampu mengubah ideologi seseorang selain ideologi lain yang ia percaya mampu menjadi pegangan terbaiknya dalam menyikapi hidup.

Oleh sebab itu, proses pengujian paradigma juga harus dibarengi dengan kesadaran dan kemampuan mensiasati perang paradigma/ideologi di dalam kehidupan. Masing-masing ideologi memiliki pembenarannya sendiri, yang jika tidak didasari kaca mata iman, atau setidaknya pemahaman akan nilai universal yang menjadi pegangan hidup bersama, dapat dengan mudah tergantikan. Proses cuci otak dapat terjadi hanya karena seseorang salah memilih lingkungan. Selain itu, sifat kedagingan manusia menjadi faktor betapa labilnya manusia.

Jika kita belajar dari Allah, Allah itu setia, karena Allah tidak berdosa. Manusia bisa menjadi tidak setia, karena manusia berdosa. Fokus pada diri, kepentingan yang kemudian merusak tatanan kepentingan bersama untuk suatu kemajuan adalah wujud dari dosa yang melunturkan nilai kesetiaan. Ideologi yang lebih mengutamakan nilai hedonisme dan kemakmuran, dapat menggeser ideologi kesetiaan karena menuntut adanya pengorbanan. Kesetiaan kemudian dipersempit hanya untuk diri sendiri, sekelompok orang atau kepentingan jangka pendek yang sementara. Ini bukanlah kesetiaan yang sesungguhnya. Kesetiaan anggota mafia terhadap gengnya, atau kesetiaan terhadap kepercayaan tertentu dengan menganggap orang lain kafir dan layak untuk disakiti demi membangun kekuasaan tertentu adalah ideologi kesetiaan yang semu.

Sebagaimana sesuatu yang hidup dan dinamis, kesetiaan membutuhkan makanan dan pupuk untuk mempertahankan dirinya agar tetap memiliki kekuatan yang bermakna. Jika dosa menjadi sumber lunturnya kesetiaan, maka kesetiaan hanya dapat dipupuk dan dibangun melalui nilai-nilai kebenaran dan kekudusan. Kesetiaan kemudian dapat pula dipersepsikan sebagai ketidaksetiaan oleh orang berdosa.

Oleh sebab itu kemampuan memilah mana pandangan antara yang dapat merusak dan memupuknya harus ditumbuhkembangkan. Kesetiaan membutuhkan kekuatan karakter dan keberanian untuk mengambil risiko. Oleh sebab itu, aktivitas, pemikiran, dan lingkungan yang terus memupuk keberanian perlu diupayakan agar dapat memperkuatnya.

Seorang ahli manajemen, Stephen MR. Covey, mengatakan bahwa kepercayaan di dalam suatu kehidupan masyarakat mampu mereduksi biaya yang sangat besar. Ia  membuat rumus sebagai berikut: Kepercayaan rendah = Kecepatan rendah dan biaya tinggi.  Teori ini ia buktikan dengan suatu kondisi pada saat setelah terjadinya peristiwa 11 September di USA di mana menara kembar (WTC) dibom melalui 2 pesawat komersil yang berisi teroris di dalamnya. Setelah peristiwa itu terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap sistem keamanan bandara menjadi rendah. Akibatnya, diberlakukan SOP (System Operating Procedure) pengamanan yang membutuhkan waktu lebih panjang.

Biasanya, proses tersebut hanya membutuhkan waktu dari 30 menit, namun dengan proses tambahan menjadi 90 menit. Artinya, proses pengecekan (check in) menjadi lebih lambat. Dengan proses yang lebih panjang, penumpang dikenakan biaya tambahan untuk melakukan proses pengamanan yang lebih berlipat ganda dibandingkan dengan sebelumnya. Dengan demikian ongkos yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Contoh ini secara jelas menggambarkan bahwa ketidakpercayaan disebabkan oleh perilaku oknum-oknum yang “tidak setia,” yang tidak memperhatikan kepentingan sesamanya. Ketidakpercayaan yang ditimbulkan mengakibatkan ongkos yang mahal.

Jika proses kontrol demi kemananan/kepentingan bersama dapat dilakukan oleh semua orang, maka waktu akan yang dibutuhkan untuk melakukannya akan lebih pendek, sehingga tidak dibutuhkan ongkos tambahan. Di sinilah tampak, bahwa karena manusia yang satu tidak setia terhadap manusia lainnya, membuat ongkos kehidupan menjadi lebih mahal, dan proses yang seharusnya cepat menjadi lebih lambat.

Kepercayaan hanya dapat dibangun dengan kesetiaan, yaitu kesetiaan untuk memberlakukan nilai-nilai yang tidak mengkhianati kepentingan siapapun. Hal ini sangat dibutuhkan pada masa apapun, terutama masa kini untuk mewujudkan suatu kehidupan yang sejahtera bersama. Kesimpulannya, kesetiaan tidak hanya relevan dalam suatu konteks hubungan individual, melainkan memiliki dampak sosial, politik dan ekonomi. Indonesia terkenal dengan biaya ekonomi tinggi, di mana setiap orang sudah meletakkan uang menjadi yang utama dari pada nilai-nilai kesetiaan yang sesungguhnya.

Kesetiaan, kepercayaan dan supremasi hukum, adalah hal-hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sanggupkah generasi masa kini mewujudkannya demi memperbaiki bangsa ini di masa datang?

————————-

*Dituliskan oleh Ruth Yuni seorang psikolog dan redaktur Majalah Dia

**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi I, tahun 2011

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *