Zacheus Indrawan:
Ini Misi Kami

Pelayanan mandiri kini banyak dilakukan orang-orang Kristen kaum awam- Mereka antara lain para profesional Kristen yang secara total terjun langsung dalam pelayanan gereja maupun parachurch tanpa meninggalkan pekerjaannya. Pada awalnya jenis pelayanan ini dilakukan para misionaris yang mendalami sendiri pelayanannya. Kebanyakan dari mereka bukan hanya mengabarkan Injil, tetapi juga mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Pelayanan ini kemudian juga dilakukan oleh kaum awam. Mereka yang berprofesi seperti dokter, pengusaha, guru, bisa menjadi pelayan mandiri.

 

Mengapa pelayanan mandiri diperlukan? Sejauh mana umat Kristen dapat menjalankan peran ini? bagaimana kerja sama yang dapat dilakukan dengan gereja dan hamba Tuhan fulltime (purna waktu)? Mengapa dikatakan bahwa peran pelayan mahasiswa adalah ujung tombak pelayanan khusus di gereja? Laporan Utama Majalah DIA kali ini mencoba memaparkan hal tersebut melalui hasil perbincangan dengan Hotman Charlie Siahaan, karyawan PD Pasar Jaya yang melayani sebagai penatua HKBP Menteng Jl. Jambu 46 Jakarta Pusat; Eric Michael, staf administrasi kantor OMF Jakarta; Dra. Ria Pasaribu, M. Div., pemimpin cabang Perkantas Jakarta; dan Agustinus Titi, SH. Koordinator Pelayanan Alumni Perkantas. Berikut hasil wawancara tersebut.

 

Profil Pelayan Mandiri

 Sebagian hidup David Livingstone, penginjil ternama yang hidup di abad ke–18, dihabiskan  di Afrika. Cintaannya pada Tuhan dan sesama telah mendorong pemuda kelatriran Blantyre, Skotlandia ini pergi ke benua hitamvTersebu. Setelah menerima Kristus ia mempelajari dua bidang sekaligus, kedokteran dan teologia karena ingin menjadi misionaris sambil membantu masyarakat di sena dalam pelayanan medis.

Melewati masa 16 tahun di Afrika, ia berjuang secara total dalam pekabaran Injil. Ia membiayai sendiri pelayanannya. Tekad dan usaha yang dilakukan Livingstone ini adalah profil pelayan mandiri, hamba Tuhan yang pergi memberitakan Injil dan membawa misi kesejahteraan.

Ir. Herlianto, M.Th dalam kesaksiannya di buku Toronto Blessing, Lawatan Roh Allah Masa Kini? menulis, “Pelayanan Injil adalah persembahan hidup, bukan sekadar mencari keuntungan. “Pengalaman sebagai pelayan mandiri- dilatarbelakangi oleh keseriusannya menggumuli dua bidang, pelayanan rohani dan berprofesi sebagai arsitek. Ia bekerja bukan sebadar untuk mendukung pelayanannya, tapi juga memikirkan bagaimana orang-orang miskin bisa memperoleh ‘tenda-tenda’ yang membebaskan mereka dari panas, hujan, dan angin (baca juga Mereka Pun Berhak Memperoleh Tenda).

Sebagaimana halnya Herlianto yang berprofesi sebagai arsitek, banyak anak-anak Tuhan yang berprofesi sebagai guru, pengusaha, dan profesi/pekerjaan lainnya yang dibutuhkan masyarakat menjadi pelayan mandiri. Tetapi, berapa banyak dari mereka yang menjalankan misi- semacam ini? Kalau kita amati, tidak banyak gereja yang melibatkan jemaatnya untuk bermisi keluar (mengutus anggota jemaatnya menjadi misionaris tanpa meninggalkan

Hotman Charlie Siahaan, berpendapat “Tugas dan panggilan seseorang tidak-dibatasi oleh tempat dan jenis pekerjaannya. Kita semua adalah hamba Tuhan yang menyaksikan Kristus kepada sesama di mana pun kita berada. Menurut saya, lebih mudah membagikan Injil kepada orang yang kita kenal. “Hotman mencontohkan, “Orang yang paling tepat mengabarkan Injil kepada pegawai kantor adalah sesama pegawai. Sambil melakukan tugasnya sehari-hari, dia bisa mengabarkan Injil. Sebagai seorang profesional saya bergaul dengan rekan-rekan saya. Pertama kali berinteraksi, saya sudah membagikan Injil. Karena mereka melihat saya bukan penginjil, mereka dia bisa menerima kesaksian saya. ”

 

Mengapa Diperlukan?

Dari penuturan Ria pasaribu dan Agustinus Titi dalam kesempatan terpisah, mereka menyimpulkan bahwa pelayanan mandiri perlu dilakukan karena, pertama, setiap orang dipanggil untuk melayani Tuhan secara serius, apapun profesinya. Jadi pelayanan mandiri bukanlah bentuk pelayanan yang eksklusif. Ini didasarkan pada perkataan Tuhan yesus, ‘,…  Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap .. .” Kedua, pelayanan misi konvensional untuk sekarang ini tidak cocok dilakukan di negara-negara yang tertutup. Ketiga, ladang pelayanan ini sangat luas sehingga tidak mungkin hamba Tuhan punya waktu seperti pendeta dapat mengerjakan pelayanan tanpa melibatkan

kaum awam. Keempat, kurangnya perhatian dan concern gereja terhadap pelayanan misi secara merata. Padahal, “Tugas utama gereja adalah bermisi. Gereja bukan institusi yang mengerjakan organisasi atau pelayanan di dalam saja. Mereka harus memikirkan tanggung jawab utamanya, mengabarkan Injil dan mempangun kerajaan Allah. Kalau gereja sudah berhasil melakukan pekabaran lnjil dan pembinaan jemaatnya, gereja harus berpikir bagaimana orang lain juga bisa mengenal Injil,” tutur Ria.

Karena kekurang mampuan gereja menjalankan tugas utamanya tersebut, alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu politik (IISP) Jakarta, dan Trinity Theological College (Singapura) ini berpandangan, pelayanan misi khususnya di daerah, sering tersendat-sendat. Salah satu penyebabnya sirkulasi keuangan terpusat di kota. Gereja di daerah sering bergurnul untuk bisa membiayai pekerjanya. Ria juga berpendapat “Ada hamba Tuhan yang meninggaikan jemaatnya karena tidak didukung sama sekali oleh gereja. Keadaan ini menyebabkan minimnya tenaga yang mau melayani di daerah. Sementara itu banyak gereja di kota besar yang tidak menerima informasi mengenai keadaan gereja-gereja di daerah. Sehingga, sebagian besar dananya dipakai untuk keperluan lain. Setelah terjadi bencana seperti kejadian di Situbondo barulah gereja ramai-ramai membantu. Sudah saatnya gereja yang berkelimpahan membantu jemaat yang kekurangan. Kalau gereja-gereja sudah berkelebihan harus bertanya, kemana uang ini harus disalurkan?”

 

Ini Misi Kami

Terlepas dari kurangnya perhatian gereja terhadap pelayanan misi, Eric Michael dari OMF mengakui bahwa tugas seorang pelayan mandiri memang sangat berat dan penuh tantangan,  khususnya di pedalaman. Di sana tidak mudah mendapatkan berbagai fasilitas umum, apalagi sarana hiburan. “Perlu tekad yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana. Pergumulan utamanya adalah rasa terasing (kesepian), karena jauh dari saudara-saudara seiman. Mereka bisa frustrasi,” kata Eric yang telah belasan tahun melayani di Indonesia.

Tantangan-tantangan lain yang kerap dihadapi para pelayan mandiri antara lain kecenderungan bekerja sendiri. “Banyak yang engga bekerja sama atau berkonsultasi dengan pihak lain, baik gereja lokal maupun saudara seiman lainnya. Orang seperti ini dapat pihak lain, baik gereja lokal maupun saudara seiman lainnya. Orang seperti ini dapat mengganggu pekerjaan Tuhan yang sudah berjalan karena tidak mau tahu keberadaan orang kristen lainnya yang sama-sama melayani tutur Eric, penasihat majelis Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI)

Kedua, frustasi menghadapi kesibukan-kesibukan ditempat kerja sehingga tidak punya waktu untuk melayani. Keadaan ini sangat menyedihkan karena tujuan untuk bermisi tidak tercapai. Persoalan lain yang sering dialami adalah jika mereka kurang terampil dalam pekerjaannya, atau tidak bertanggungjawab terhadap kepercayaan yang telah diberikan.

“Berhadapan dengan berbagai kesulitan seperti ini sering membuat mereka frustasi atau bahkan depresi. Keadaannya bisa lebih parah jika tidak ada bimbingan pastoral bagi mereka.” Ujar Eric perlahan. Ia menekankan perlunya seorang pelayan mandiri memperlajari baik-baik situasi yang ada sehingga bisa melayani untuk saling mendukung pelayanan sehingga bisa saling menguatkan. Jaringan bisa dilakukan antara lain melalui surat atau buletin doa.

Sebutannya memang pelayan mandiri. Namun dalam mengemban panggilannya sebagai saksi Kristus, mereka tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri. Mereka harus bekerja sama dengan gereja sebagai lembaga yang diutus Allah untuk mengabarkan Injil. “ Orang-orang yang mau bermisi tidak bisa melepaskan dirinya dengan gerja. Begitu datang harus segera menghubungi gereja setempat. Setiap kali Rasul Paulus singgah di suatu tempat, dia langsung pergi ke rumah ibadah Yahudi (simagoge). Dari situlah dia melakukan misinya. Ini tentu tindakan berhikmat dari Tuhan. Para pelayan mandiri yang mau bermisi harus berkenalan dan menjadi jemaat di gereja lokal. Lalu membangun hubungan dengan hamba Tuhan disana.” Ujar Ria Pasaribu.

Di lain pihak, gereja pun harus aktif memperhatikan jemaatnya. Menurut Eric Michael, “Gereja harus menjangkau para pelayan mandiri. Mereka adalah bagian dari pelayan gereja secara keseluruhan. Jika ada seorang pegawai negeri aktif membina jemaat, gereja harus merasa, orang ini adalah bagian dari persekutuan orang-orang percaya disana. Untuk itu perlu usaha untuk membina mereka. Tetapi kenapa selama ini gereja kurang terbeban? Apakah gereja belum melihat bahwa mereka diutus Allah ke sana? Mereka sangat membutuhkan dukungan saudara seiman di tengah-tengah tantangan dan tekanan yang luar biasa. Dengan demikian gereja bisa berkata “ini misi kami”. Jangan sampai mereka datang dan melayani ke sana tetapi berjuang sendiri (single fighter).

 

Ujung Tombak

Bagaiimana dengan pelayan mandiri di perkotaan? Ternyata peran mereka juga sangat vita. Hotman Siahaan berpendapat bahwa pelayan mandiri merupakan ujung tombak dari misi membangun jemaat secara keseluruhan. Merekalah yang “turun” ke lapangan. Berhadapan langsung dengan dunia nyata dalam hal ini lingkungan pekerjaan, pelayanan mereka sangat strategis karena pendeta sulit masuk. Selain itu, kalau jemaat sudah bisa mengembangkan pelayanan mandiri tentu lebih baik. Peran hamba Tuhan purna waktu atau pendeta bukan lagi di depan, melainkan “di belakang layar”. Era globalisasi menurut pria kelahiran Balige, 9 November 1950 ini menuntut semua pihak mandiri, tidak lagi mengandalkan. figur tertentu. ‘Sudah saatnya para pendeta berpikir bahwa mereka bukan lagi orang yang harus berada di depan. Atau dengan kata lain, ‘apa-apa tanya pendeta dulu’. Toh keadaan tersebut tidak akan menghilangkan kharisma mereka. Mereka tidak perlu takut kehilangan wibawa hanya karena tidak ‘tampil’ lagi, ” jelas Hotman.

Di pihak lain, Ria Pasaribu tidak sependapat kalau pendeta harus berada di belakang pelayanan mandiri ini. Setiap orang punya panggilan masing-masing. “Ada yang dipanggil sebagai gembala yang menjadi wakil Allah untuk melaksanakan tugas-tugas khusus. Semtarang orang tidak bisa melakukannya, seperti membaptis atau memberkati pernikahan. Namun bukan berarti mereka harus dikultuskan. Semua orang sama di hadapan Tuhan. Jadi, tidak ada yang namanya pelayan mandiri berada di depan, hamba Tuhan di belakang, dan sebaliknya. Masing-masing melaksanakan panggilan Tuhan bahu membahu,” tutur Ria.

 

Persiapan Seorang Pelayan Mandiri

Sekarang, apa yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa dan alumni Kristen yang hendak menjadi pelayan mandiri? Hotman mengatakan bahwa tugas ini hanya terbuka bagi mereka yang sudah dewasa rohani. “Pelayanan mandiri adalah makanan keras. Mereka harus mengerti untuk apa mereka hidup. Untuk melakukan panggilannya mereka harus berani berkorban, baik itu tenaga, pikiran, danuang,”

Sementara itu, Ria menambahkair bahwa kesempatan untuk menjadi pelayan mandiri, khususnya para sarjana Kristen, sangat terbuka. Mereka bisa pergi ke daerah, bekerja di sana sesuai dengan keahliannya. Mereka dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan mengadakan kerja sama. Dengan demikian masyarakat di sana punya kesempatan untuk “berkenalan” dengan model kehidupan di dalam Kristus.

“Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan tergantung kebutuhan daerah yang bersangkutan. Dokter adalah profesi yang senantiasa dibutuhkan masyarakat. Profesi lain yang juga dibutuhkan masyarakat adalah sarjana teknik dan sarjana pertanian. Seperti kita tahu, pembangunan di daerah masih tertinggal. Insinyur-insinyur,pertanian ini bisa mengajarkan masyarakat bercocok tanam dengan sistim yang lebih canggih,” kata Ria.

Namun mereka harus tulus dan tetap terbuka, terutama saat menjalin relasi dengan gereja. “Kalau masuk ke daerah Indonesia Timur, jangan harap menemukan gereja seperti yang ada di Jakarta. Karena itu jika harus beribadah dt gereja yang berbeda aliran, janean menjadikan itu sebagai hambatan. Jangan khawatir, perbedaan doktrin gereja di daerah tidak sama gereja di Jakarta dan kota besar lainnya. Mereka sangat sederhana, terbuka, dan hangat. Selama masih bisa bersekutu dengan Tuhan, sudah cukup buat mereka,” ujar angggota HKBP Menteng ini.

Lalu, bagaimana para pelayan mandiri yang terpanggil bermisi di perkotaan? Hotman Siahaan mengingatkan, kondisi masyarakat di kota besar lebih kompleks. Orang Kristen perlu melihat secara tajam permasalahan yang ada sekarang. Kecanggihan teknologi sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kota. “Tetapi kecanggihan sering membuat manusia kota semakin terkungkung dalam dunianya. Dari ramalan para ahli, suatu saat orang akan berkantor di rumahnya karena semua fasilitas tersedia. Mereka tentu merasa kesepian.

Orang-orang seperti ini harus dijangkau juga kan? Kalau gereja tidak mempersiapkan diri menghadapi hal ini, akan terjadi ‘gap’. Karenanya ini harus menjadi perhatian para pelayan’ mandiri,” katanya. “Namun perlu diingat, lanjut anak kedua dari sembilan bersaudara ini, jangan lari dari konsep dasar pelayanan itu sendiri, yakni pemuridan. Bagi saya pribadi, tujuan utama melayani adalah ‘mencetak orang’ supaya mereka sama seperti saya. “Berdasarkan pemikiran ‘inilah; pelayanan mandiri sekarang ini sudah merupakan, kebutuhan. Kepentingannya tidak lagi menjadi prioritas ke seratus.

Tuhan Yesus pernah mengatakan, “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.” Sebagaimana kerinduan Hotman, sudahkah kita menempatkan pelayanan dalam prioritas yang tinggi? (em)

Berikan tanggapan

2 pemikiran di “Ini Misi Kami”