Pelayanan Siswa PMK IPB:
Mahasiswa Menjadi Guru Agama

Bogor terkenal sebagai kota hujan. Selain hujan air, hujan berkat bagi siswa-siswi Kristen pun ada di sana. Pelayanan intensif para siswa ini ditangani Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor (IPB). Pelayanan ini disebut Komisi Pelayanan Siswa (KPS). Para mahasiswa memberikan pelayanan yang tidak tanggung-tanggung, yaitu menjadi guru agama Krsiten di sekolah-sekolah. Para mahasiswa menjadi guru agama secara resmi atau setidak-tidaknya atas persetujuan pimpinan sekolah yang bersangkutan. Pelayanan ini terus berjalan dan berkembang selama lebih dari 10 tahun. Jarang pelayanan misi PMK mampu bertahan selama ini. Karena itulah Majalah DIA menyorotnya.

Awal dan Perkembangan Pelayanan

Keterlibatan mahasiswa untuk mengajar dimulai dari ajakan Pdt. Suradi (dari gereja baptis) untuk membantunya mengajar agama Kristen di sekolah-sekolah di Bogor. Ketika itu, Bogor memang kekurangan guru agama Kristen. Bila para siswa ingin mendapat nilai agama, mereka meminta dari gereja masing-masing. Tentu amat menyulitkan.

Awalnya, tugas para mahasiswa hanya membantu. Karena jumlah sekolah yang dilayani semakin banyak dan Pdt. Suradi semakin sibuk dengan tugas penggembalaan, maka porsi tanggung jawab mahasiswa makin diperbesar. Akhirnya, seluruh tanggung jawab Pengajaran Agama Krsiten (PAK) dipegang KPS. Pelayanan seluruh PAK ini dilakukan dengan koordinasi dan sepengetahuan Kepala Sekolah, Departemen P & K maupun Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Setempat (PGI-S), Bogor. Bahkan para mahasiswa yang mengajar wajib mengikuti penataran guru-guru agama yang diselenggarakan pemerintah.

Semakin besarnya tanggung jawab pelayanan, menuntut adanya suatu komisi yang mampu memberikan pelayanan konkrit, konsisten dan terkoordinasi. Apalagi pelayanan yang diberikan amat penting dan strategis, yaitu  peletakan dasar karakter, moral dan iman para remaja. Alasan-alasan inilah yang mendasari pendirian KPS, dibawah koordinasi Unit Mahasiswa Kristen (UMK)/PMK IPB. Pertengahan dasawarsa 80an pelayanan KPS semakin intensif dan sistematis di bawah kepemimpinan Bambang Bodhianto. Pelayanan pun terus berkembang baik kuantitas dan kualitas.

Saat ini, ada 13 sekolah yang dilayani, terdiri dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) negeri maupun swasta. Sedangkan kelas yang harus dilayani ada 31, terdiri dari sekitar 700 murid. Pelayanan dilakukan setiap Senin, Selasa dan Sabtu. Dengan demikian pada hari-hari tersebut KPS harus melayani minimal 10 kelas atau sekitar 250 murid. Untuk setia kelas, KPS menyediakan dua guru (satu orang mengajar, satu orang duduk mendengarkan untuk memberikan masukan sesusai mengajar). Jumlah mahasiswa yang terlibat dalam pelayanan KPS sekitar 30 orang, yang didistribusikan ke dalam 11 kelompok pelayanan. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang dan bertanggung jawab atas pelayanan pada sekolah tertentu.

Secara kualitas, pelayanan KPS terus meningkat. Ruang lingkup pelayanan tidak hanya sebatas mengajar agama berdasarkan kurikulum resmi. Mereka memberi pembinaan yang lebih dalam, misalnya PA Kelompok, pelayanan melalui kelompok kecil, konseling informal, atau mengarahkan kegiatan-kegiatan kerohanian sekolah dalam rangka Paskah, Natal maupun Retret. Mereka juga merangkap sebagai kakak sahabat para siswa.

Pada saat bincang-bincang ini dilakukan, sayup-sayup DIA mendengar suara nyanyian pujian dan untaian kata-kata, dari ruangan garasi markas KPS. Setelah diteliti, ternyata mereka adalah kumpulan siswa-siswi SMAN 6 Bogor yang sedang latihan membawakan renungan.

“sebuah terobosan baru,” demikian kata Yoel, salah seorang pembina, dengan nada bangga dan mata berbinar. Gambaran di tas, sekedar menunjukkan sudah demikian baiknya kualitas pelayanan yang diberikan kepada siswa. Gambaran lain yang dapat diberikan adalah dengan semakin dilibatkannya mereka dalam perencanaan kurikulum; menyiapkan bahan ujian agama, memilih buku-buku bacaan tambahan, selain buku wajib Suluh Siswa.

Guru-guru agama ini, tidak hanya mampu mengajar pelajaran agama, tetapi juga kimia, metematika,fisika, biologi dan beberapa pelajaran lain. Maka jadilah mereka guru private. Ketika ditanya dibayar atau tidak, para pengurus KPS tersenyum dan berkata, “Tidak ada kewajiban siswa untuk membayar para guru.”

Bukannya Tanpa Kendala

Kendala utama adalah terbatasnya jumlah pelayan dibanding kebutuhan. Misalnya, saat ini jumlah pelayan idealnya minimal 50 orang. Dengan jumlah itu, hampir setiap sekolah dapat dilayani. Karena keterbatasan tersebut, maka ada sekolah yang terpaksa di gabung, yaitu Sekolah Menengah Umum (SMU) Kornita dan Pembangunan.

Kedua, proses yang panjang. Selain terbatasnya jumlah pelayan, dalam kenyataannya guru-guru agama yang dibutuhkan tidak boleh asal comot. Proses penyiapan guru agama harus melalui jalan panjang dan hati-hati. Pertama-tama setiap mahasiswa yang terbeban dalam pelayanan siswa, harus melalui pembinaan dasar selama satu semester. Kemudian disambung dengan pembinaan lanjutan selama satu semester lagi. Di awal pelayanannya, para guru-guru muda ini pun terus dibimbing. Ini diperlukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya terlalu menekankan pengajaran denominasi tertentu padahal doktrin tersebut tidak terlalu prinsip, pengajaran menyimpang dari kurikulum, tidak melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain terutama pihak sekolah, pemerintah (Departemen P&K, Departemen Agama) serta PGI.

Ketiga, regenerasi yang  tidak mudah. Berdasarkan pengalaman, waktu efektif yang dapat diberikan para mahasiswa adalah 2-3 tahun saja. Di tahun pertama, praktis mereka belum dapat melayani. Sedangkan tahun keempat mereka sudah mengkonsentrasikan diri pada penyelesaian studi. Agar kesinambungan pelayanan tetap terjaga, harus berjuang keras dan sistematis dalam regenerasi pelayanan. Pengalaman menunjukkan bahwa proses regenerasi tidak mudah. Salah satu kesulitannya adalah rendahnya prestasi keberhasilan. Misalnya dari sekitar 30 mahasiwa tidak tertarik dan mencoba melayani, hanya belasan yang terus bertahan.

Keempat, heterogennya latar belakang denominasi para siswa juga faktor yang harus diperhitungkan. Jika tidak hati-hati dan bijaksana dapat menimbulkan pertentangan yang tidak perlu. Hal lain  yang perlu diperhatikan adalah, bahwa tidak semua siswa yang dilayani berasal dari keluarga Kristen. Ada yang dari keluarga Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan lain. Biasanya mereka hadir, karena ikut teman. Karena itu pelayanan harus dijaga sehingga tidak menyinggung kepercayaan lain.

Kelima, kendala klasih pembatas gerak pelayanan adalah dana untuk operasional dan pengembangan pelayanan. Sampai saat ini KPS, belum memiliki kantor sendiri yang cukup representatif sebagai markas pelayanan. Kantor sekarang adalah kantor kesekian selama kurun waktu sepuluh tahun ini.

Mengingat pelayanan ini tidak bersifat mencari untung, maka KPS tidak dapat menjadikan mengajar sebagai sumber utama. Untuk mengatasinya, merkea melakukan berbagai upaya, aksi masak, menjual makanan, perpuluhan dari para alumni KPS dan usaha-usaha lainnya. Mereka juga pernah mencoba  melakukan terobosan dalam mencari dana, misalnya membuka peternakan unggas dalam skala kecil, namun belum berhasil. Terpaksa ayam dan burung-burung dipotong dan disantap untuk mencegah kerugian lebih besar.

Namun demikian, ternyata kendala-kendala di atas tidak meruntuhkan semangat pelayanan mereka. Demikian kesaksian Yudha, Benyamin dan Yoel.

Buah-buah Pelayanan

Alkitab mengajar, tidak ada satupun pelayanan yang dimulai Tuhan berakhir dengan tragis. Anda yang senantiasa terlibat dalam pelayanan pasti memahami ungkapan ini, “Bila Tuhan sudah jatuh hati, tak satu kekuatanpun mampu menghalangi cintaNya.” Hal yang sama pun terjadi dalam sejarah pelayanan KPS. Di tengah-tengah berbagai keterbatasan, pelayanan mereka terus bertumbuh. Yang lebih penting dari sekedar bertumbuh adalah pelayanan itu ternyata telah berbuah banyak. Buah dirasakan para siswa, sekolah dan juga para pelayan.

Kebahagiaan pelayan KPS, sanga besar tatkala mengetahuin bahwa adik-adik binaannya, berhasil lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), khususnya IPB. Hal ini cukup sering terjadi dan memberi dampak potidip bagi kesinambungan pelayanan. Karena dengan segera mereka memilih KPS sebagai bidang pelayanan. Mereka melayani dengan penuh kasih, karena telah terlebih dahulu dilayani dengan penuh kasih. Kebahagiaan lain adalah bila melalui pelayanan KPS ada siswa, yang tanpa paksaan, mau bertobat dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Baik yang dari  keluarga Kristen maupun non Kristen.

Mereka juga bahagia, karena secara konkrit dapat mengabdi kepada negara dan gereja melalui jalur pendidikan, sekaligus memberi pemahaman iman Kristen kepada para siswa. Melalui pelayanan KPS para siswa mendapatkan nilai pelajaran dan isi pengajarannya.

Kebahagiaan lain yang dapat diungkapkan sebagai kesaksian adalah cukup banyaknya pelayanan yang mendapat teman hidup melalui pelayanan KPS ini. Hal ini juga memberi dampak positip bagi kesinambungan pelayanan, terutama melalui dukungan perpuluhan pasangan-pasangan alumni KPS tersebut.

Ladang Potensial

Apa yang dialami dan dilakukan PMK IPB sebenarnya memberikan indikasi betapa luas dan konkritnya jangkauan elayanan PMK. Asal saja PMK mau belajar membangun kerjasama dengan pihak-pihak terkait yaitu pemerintah, sekolah, guru-guru dan gereja. Melalui pelayanan seperti ini, kehadiran PMK di seluruh kota-kota di Indonesia, akan lebih terasa.

Sensus 1990 menunjukkan bahwa total penduduk Indonesia usia muda remaja (0-18 tahun( mencapai puluhan juta jiwa. Dengan melihat data-data tersebut secara lebih teliti, maka diperkirakan awal tahun 2000an, jumlah siswa-siswi setingkat SLTP-SLTA akan mencapai angkaa diatas 50 juta jiwa. Andaikan saja 5% diantara mereka yang berasal dari keluarga Kristen, maka ada sekitar 2,5 juta siswa yang perlu mendapat pelayanan pelajaran agama. Sudah dipastikan, kita kekurangan guru agama Kristen. Apalagi menurut para ahli, abad 21 nanti adalah abad spiritual. Kehausan akan pelayanan rohani akan terasa dimana-mana. Bila PMK tidak mempersiapkan diri, berarti kita harus merelakan jutaan siswa kepada pengajaran-pengajaran lain, yang belum tentu benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila pelayanan seperti itu ditawarkan kepada PMK Anda, sudah siapkah Anda atau apakah PMK-PMK di kota Anda sudah menyiapkan konsep alternatif untuk mengatasi hal tersebut?

 

**Dituliskan dalam DIA New moral, edisi 1/1995. Berani Tampil Beda

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *