Yulius Tandyanto:
Benci

Pada tahun 2015, pastor David Oyedepo mengkhotbahkan kebencian terhadap umat Islam demi memenangkan petahana Goodluck Jonathan dalam pemilihan presiden di Nigeria. Bahkan, seruan untuk membunuh umat Islam pun tak lagi mengusik hati nurani massa pengikut Oyedepo.

Di Pakistan, Sabeen Mahmud (39) menjadi target golongan religius ekstrem sejak tahun 2013 karena mengampanyaken Hari Kasih Sayang. Ia kehilangan nyawanya pada bulan April 2015.

Menyeberang ke belahan benua Amerika, majalah Time baru-baru ini menurunkan laporan khusus berjudul “Hate in America” (28/8) atas maraknya gejala rasisme dan nasionalisme kulit putih.

Tentu warga Indonesia juga tak ketinggalan. Ujaran kebencian hadir di media-media sosial hingga tempat-tempat ibadah. Momen pilkada DKI Jakarta menjadi salah satu contoh kasus yang menarik perhatian dunia nasional maupun internasional. Bahkan, akhir-akhir ini hidup kita pun digaduhkan dengan ritual kebencian yang selalu ada setiap tahun: benci terhadap PKI.

suka tidak suka, rasa benci sesungguhnya begitu lekat dengan diri kita

Toh, suka tidak suka, rasa benci sesungguhnya begitu lekat dengan diri kita. Rasa benci tak dapat kita musnahkan. Malahan, jejak rasa benci berakar kuat dalam narasi-narasi kuno, seperti kisah Kain dan Habil (semitik) ataupun mitos Styks (Yunani).

Normalnya, fenomena kebencian di sana-sini menuntut kita untuk memahami cara kerja ujaran-ujaran kebencian sebelum diri kita sendiri digilas benci.

Secara sederhana ujaran kebencian dapat dipahami sebagai fitnah atau pencemaran identitas suatu kelompok tertentu. Tujuannya, untuk menindas serta menolak hak-hak asasi yang dimiliki oleh para anggota kelompok bersangkutan.

Maka, ujaran kebencian dapat berupa berbagai retorika dan jargon yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mendiskreditkan hingga mengajak untuk membunuh orang-orang yang memiliki agama, ideologi, dan ras yang berbeda.

Kendati demikian, ujaran kebencian juga memiliki cara kerja yang lebih halus. Ia dapat memainkan peran sebagai sang korban. Tapi, ia kemudian merangsek balik pihak yang telah dianggap menistanya dengan kerusakan yang jauh lebih besar. Cara kerja itulah yang disebut oleh akademisi Cherian George sebagai pemelintiran kebencian dalam Hate Spin (MIT Press, 2016).

Pada hakikatnya pemelintiran kebencian adalah strategi politik. Selalu ada aktor-aktor politik dan para demagog yang menciptakan fitnah dan kemarahan dengan mengeksploitasi identitas-identitas kelompok tertentu. Kelak strategi tersebut berguna untuk menggerakkan massa serta menyerang lawan-lawan politiknya.

Pemelintiran kebencian juga beroperasi secara sistematis sehingga massa rela melakukan teror dan tindakan ekstrem. Seruan-seruan seperti “ganyang” atau “bunuh” adalah kosakata yang juga terdengar dalam peristiwa penyerangan kantor LBH Jakarta pada bulan ini (18/9).

Sekurang-kurangnya pemelintiran kebencian beroperasi dalam empat tahap. Pertama, para demagog memanfaatkan kecemasan kolektif massa sehingga mereka sangat mudah untuk dimanipulasi. Sumber kecemasan ini akarnya bermacam-macam, mulai dari faktor ketidakstabilan ekonomi, sosial, hingga moral.

Kedua, para demagog melakukan agitasi untuk membangun identitas kolektif. Bahkan, identitas kolektif kian menguat karena mereaksi kelompok lain yang dianggap menjadi sumber kecemasannya. Misalnya, identitas nasionalis versus kelompok PKI, mayoritas versus minoritas, pribumi versus nonpribumi.

Ketiga, alienasi terjadi. Dampak dari dua tahap sebelumnya adalah kecenderungan untuk menghilangkan harkat kemanusiaan siapa saja yang mengancam identitas kolektif. Walhasil, mereka yang dianggap sebagai sumber keresahan adalah orang-orang yang tidak layak mendapatkan penghormatan dan empati yang setara.

Puncaknya, terjadi proses “buruk muka, cermin dibelah”. Dalam tahap ini menguat keyakinan bahwa kelompok yang dianggap lawan memang sungguh-sungguh ingin menyerang identitas kolektifnya. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian.

Akibatnya, tindakan untuk menyerang balik kelompok lawan dihayati sebagai bentuk pertahanan diri. Itu sebabnya penyerangan massa terhadap kelompok yang dicap PKI, menodai agama, atau minoritas adalah upaya mereka untuk mempertahankan identitas kolektifnya.

Patut digarisbawahi bahwa pemelintiran kebencian selalu terencana dan terkoordinasi. Kendati media secara umum mendeskripsikan kerusuhan sebagai kemarahan massa yang bersifat spontan, sudah selalu terdapat para demagog yang memprovokasi dan mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

Malahan, kerusuhan sebagai aksi massa yang sungguh-sungguh spontan boleh jadi adalah sebuah mitos belaka. Pasalnya, sungguh amat jarang terdapat kasus yang mampu menggerakkan kemarahan seluruh orang secara spontan. Selain itu, perlu diperhitungkan pula adanya rentang waktu antara momen pelecehan identitas kolektif tertentu dan reaksi balasannya yang bersifat terencana.

Tampak jelas bahwa pemelintiran kebencian disutradarai oleh para demagog. Mereka adalah kaum sofis masa kini yang lihai beretorika. Mereka mengolah potensi ujaran kebencian menjadi aksi protes dalam skala besar.

Para demagog pandai mengkonversi sebuah pertengkaran kecil menjadi kasus besar.

Para demagog pandai mengkonversi sebuah pertengkaran kecil menjadi kasus besar. Mereka memiliki kapasitas untuk menafsirkan berbagai peristiwa serta memotivasi massa untuk segera beraksi. Di sisi lain, massa sungguh-sungguh percaya kepada para demagog karena dianggap menyuarakan kepentingan diri mereka.

Sayangnya, massa sering kali terlena oleh ucapan manis para demagog. Massa kerap lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang pertama kali akan dikorbankan demi kepentingan para demagog.

Lantas, mengapa pemelintiran kebencian kian marak secara global? Kecenderungan massa untuk menerima narasi-narasi superfisial para demagog secara tidak kritis merupakan faktor utama yang melanggengkan ujaran-ujaran kebencian.

Di sisi lain, faktor agama sebagai satu-satunya tolok ukur untuk segala sesuatu juga menyuburkan pemelintiran kebencian. Sesungguhnya agama menyediakan berbagai simbol, ritual, dan solidaritas yang berpotensi memberdayakan umatnya.

Di tangan pemuka yang tepat, agama apa pun niscaya mendatangkan kebaikan bagi semua orang. Namun, di tangan para demagog, agama menjadi sumber legitimasi untuk mempromosikan intoleransi dan kekerasan. Bahkan, kerusuhan atas nama agama menjadi dalih para demagog dan aktor politik untuk menyelubungi kepentingan mereka.

Pada situasi seperti itulah kita perlu bersikap skeptis dan curiga. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dalam kerusuhan atau aksi pemelintiran kebencian yang sedang terjadi?

Ujaran-ujaran kebencian memang mustahil dihilangkan dalam alam demokrasi. Namun, tidak berarti pemelintiran ujaran kebencian dibiarkan merajalela begitu saja. Ada suatu panggilan moral bagi kita untuk merawat tatanan kehidupan bersama dengan menangkal segala bentuk pemelintiran ujaran kebencian.

Bukankah menjadi lelucon tragis apabila Anda dan saya tetap berkubang dalam ujaran kebencian di tengah-tengah euforia kebanggaan gara-gara memiliki perpustakaan nasional yang katanya tertinggi di dunia itu?

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *