Yulius Tandyanto:
Dengki

Joel Stein tidaklah mengada-ada ketika ia mengaitkan internet dengan salah satu gejolak emosi di dalam diri kita: rasa benci. Ia bertanya, “Mengapa kita menyerahkan internet pada budaya benci?” dalam majalah Time (18/8).

Stein (45), kolumnis Time, mendeskripsikan secara apik bagaimana oknum-oknum tertentu menjadikan internet sebagai jamban yang penuh dengan keagresifan dan kekerasan. Rasanya kita tak akan kesulitan untuk menemukan deskripsi yang dikemukakan oleh Stein dalam keseharian hidup kita. Lebih-lebih apabila oknum-oknum tersebut pintar memanfaatkan sentimen—entah itu keagamaan atau politik—dengan logika-logika kaum sofis.

Misalnya, pihak-pihak yang memprovokasi dengan begitu meyakinkan bahwa memberikan ucapan selamat hari besar keagamaan kepada tetangga adalah haram. Atau pula, para pengajar kitab suci yang sungguh-sungguh meyakinkan kita bahwa siapa pun yang berada di luar kepercayaan agamanya adalah orang-orang kafir—meskipun mereka adalah sahabat atau orang tua kita sendiri. Begitu pula dengan para akademisi yang mati-matian menyerang politisi tertentu dengan penjelasan-penjelasan akademis dan humanisnya.

Dan dengan mudahnya kita dapat membaca argumen-argumen tersebut terpampang di dinding Facebook, Twitter, dan jejaring media sosial lainnya.

Generasi digital boleh jadi mengangguk-anggukan kepala mendengar pemaparan para ahli tersebut. Tapi, ada satu-dua orang yang terlahir untuk menyimpang dari opini kebanyakan orang. Mereka berani menanyakan, “Apa yang sebetulnya tersembunyi di balik opini-opini alim, canggih, dan cendekia tersebut?” Mereka mampu mengendus bau busuk dari setiap rayuan argumentasi yang begitu memikat dan meyakinkan. Dan bau busuk itu adalah sesuatu yang gelap, dalam, dan tersembuyi: rasa dengki, benci, hasad, atau khisit.

Seni dan keterampilan komunikasi kiwari telah berhasil mengubah dan menghaluskan rasa dengki menjadi sebuah sikap moral. Bahkan, kita pun lupa bahwa kita telah sedemikian rupa menyublim rasa dengki tersebut sehingga tak lagi terganggu dengan jargon-jargon moral, seperti “kesucian”, “kebenaran”, dan “pro rakyat kecil”.

Dalam arti tertentu, bukankah kesucian sebetulnya lahir dari kehasadan kita akan dunia yang menghadirkan berbagai penderitaan alih-alih dengan hidup suci kita meraih surga? Bukankah kebenaran lahir dari kebencian kita akan dunia yang misterius sehingga dengan kebenaran kita memiliki pegangan untuk menjalani hidup? Dan bukankah pro rakyat kecil lahir dari kedengkian kita pada takdir yang seolah-olah menjahati kita sehingga dengan berpihak pada rakyat kecil kita menjunjung keadilan?

Boleh jadi kecurigaan ini berlebih-lebihan alias lebay. Tapi, bukankah kita memang senantiasa membesar-besarkan atau menganggap remeh satu dan lain hal? Kita suka membuat majas-majas perbandingan yang niscaya terdengar ganjil bagi telinga yang terbiasa mendengarkan musik di balik kata-kata. Kita suka membandingkan nasib si kaya dan si miskin seraya membela mereka yang miskin—tetapi lupa bahwa orang miskin sejatinya lebih bernas dari siapa pun juga. Persoalannya justru terletak pada orang kaya yang tidak memahami kata “cukup” dan mereka yang berada di antara orang kaya dan miskin—dan spesies inilah yang paling banyak—yang bermental oportunis seraya pintar memanipulasi orang miskin.

Syahdan, sublimasi rasa dengki kian subur di internet karena tak ada lagi pertemuan antarwajah di sana. Enigma wajah orang lain ditunda dan dilacurkan melalui cara kerja algoritme-algoritme jejaring sosial. Dan hasilnya adalah sempalan-sempalan informasi yang membaptis dirinya sebagai yang paling benar, paling egaliter, dan paling manusiawi. Padahal, segala informasi tersebut bersifat dangkal, buruk, dan totaliter.

Dalam situasi itulah, “berkisah” di jejaring media sosial adalah sebuah putusan etis. Sekurang-kurangnya dua pertanyaan etis perlu menghantui kita dan sekaligus membentangkan jarak antara kita dan jejaring media sosial. Dari makam teleologis muncul pertanyaan, “Apakah tujuanku menulis adalah upaya untuk mendatangkan kebaikan bersama setelah menimbang secara mendalam segenap pertimbangan pro-kontranya?” Dan dari makam deontologis, “Apakah motifku menulis merupakan pertimbangan rasional, dapat berlaku universal, dan memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya?”

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan antik seperti itu bertujuan untuk menggelisahkan kita. Toh, tulisan ini pun perlu dipersoalkan dengan dua pertanyaan etis tersebut. Siapa tahu sidang pembaca sekalian dapat mengendus bukan rasa dengki—tetapi rasa jijik.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *