Evan Aristol Lature:
Langit Biru

Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.
(Mazmur 19:2)

Namaku Langit. Orang tuaku memberiku nama lengkap Langit Biru. Menurut ayah, aku diberi nama demikian karena ayah melamar ibu di bawah langit biru. Tetapi meski sesederhana itu asal namaku, dampaknya sangat terasa ketika aku beranjak dewasa. Aku punya cita-cita yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari langit biru di angkasa sana. Tidak, aku tak pernah bercita-cita ingin menjadi astronot ataupun pilot. Pemikiranku sederhana saja: aku harus menaklukkan bumi jika hendak menggagahi langit. Itu sebabnya, cita-citaku sangat membumi. Aku ingin menjadi seorang geologis, seorang ahli bumi.

Pamankulah yang menginspirasi cita-citaku itu. Dia adalah seorang geologis. Pekerjaannya mengeksplorasi migas di seluruh penjuru dunia. Di mataku, ia nyaris menjadi manusia sempurna. Kaya-raya, harta melimpah, tabungan menggunung, dan tongkrongan mentereng. Dia hanya kurang beruntung saja dalam hal berumah-tangga. Pamanku dan istrinya bercerai tak kurang dari lima tahun setelah mereka menikah. Menurutku, hal itu disebabkan oleh sikapnya yang tidak dekat dengan Tuhan. Itulah sebabnya, sebagai mahasiswa geologi dari kampus ternama di Indonesia, aku memutuskan untuk bergabung dengan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK). Aku perlu berada di PMK agar kelak bumi dan langit kumiliki.

Namun, “kesialan” terjadi padaku. Di PMK, cita-citaku seperti diobok-obok. Hal-hal seperti hidup baru, menyangkal diri, pikul salib, melayani, hidup kudus, persaudaraan—bukan individualistis—yang kudapatkan di PMK bertabrakan dengan kesuksesan diri yang sangat kuagung-agungkan itu. Ah, aku salah langkah! Sampai pada akhirnya, aku menemukan formula untuk menyikapi hal ini. Inilah yang kukatakan pada diriku sendiri, “Langit, gagasan Kekristenan tentang menjadi pengikut Kristus itu memang adalah hal yang mulia. Tapi ingat, Langit. Kau tidaklah tinggal di surga. Kau bisa stres sendiri dengan gagasan-gagasan itu. Ini bumi, bukan surga! Kau harus jadi pemuda yang cerdas yang harus mampu memilah-milah mana yang pas untuk hidupmu!”

Aku, Langit Biru. Kecerdasan yang ada padaku kugunakan untuk menyaring kekristenan sesuai dengan yang kubutuhkan.

Hingga satu hari, penyaringku rusak. Aku tak bisa membendung laju kebenaran yang tiba-tiba datang seperti air yang bergulung-gulung melumpuhkanku.

Hari itu, ketika aku duduk di depan kamarku sambil menatap sang fajar terbit, seperti biasa aku membaca Buku Tua sakti. Aku membuka Alkitabku. Sebuah kalimat yang sebenarnya telah sering kudengar dan kubaca tiba-tiba menghunjam hulu hatiku, “Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”

Entah apa yang terjadi di pagi itu. Alam semesta seolah telah disabotase oleh Sang Ilahi untuk melumpuhkanku, menghancurkan bangunan keyakinan yang selama ini kudirikan, dan meluluhlantakkan hatiku sedemikian rupa. Itulah kekalahan terbesar sekaligus awal dari perjalanan terbesarku. Aku si Langit Biru yang mengaku-ngaku diri gagah perkasa, menciut tak berharga di hadapan-Nya.

Mau apa hari ini, kawan bertanya
‘ku punya rencana

Lihat hari pada senja,
Biar terlena, itu bahagia

Langit mengetuk-ngetukkan ujung pulpennya di atas memo yang berisikan baris-baris syair yang ia coret-coret di sana-sini. Di hadapannya, menjulang senja yang selalu dinanti Langit. Senja adalah sumber inspirasi Langit. Senja mengingatkan Langit akan sebuah transisi besar dalam hidupnya. Menjadi seorang geologis, menaklukkan bumi, dan menggagahi langit? Itu dulu. Kini, satu dekade telah berlalu, dan rentang masa itu telah banyak mengubah Langit. Langit Biru: seorang geologis, menguasai bumi, dan meraih langit. Ia bertekad takkan pernah melupakan sebuah sabotase yang pernah terjadi di satu pagi dalam hidupnya.

Senja hilang, malam tiba
‘ku di antara,’ku pilih diam
Tak perlu kata dan suara
Biar terlena, itu bahagia

Hitam pekat malam sudah
Tubuhku lelah, ‘ku mau lelap
Tak perlu kata dan suara
Biar terlena, itu bahagia

Namanya, masih tetap Langit Biru. Padanya masih terpahat romantisme asmara ayah dan ibu. Namun, ia bukanlah Langit Biru yang sama. Padanya kini, terpahat cerita menawan yang hendak ia teruskan. Dari generasi ke generasi.

——-
*Evan adalah Staf BPC Perkantas Jawa Barat

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *