Yulius Tandyanto:
Spion

Saya tidak tahu pasti apakah tulisan ini pas atau tidak. Ah, tapi saya tak perlu memusingkan urusan itu. Toh, penilaian tersebut saya serahkan pada sidang pembaca sekalian. Tugas saya saat ini adalah menyuguhkan racikan terakhir rubrik Lesehan pada penghujung tahun 2015.

Sebagaimana huru-hara di hari-hari terakhir bulan Desember, semua orang makin sibuk. Ada yang sibuk tutup buku anggaran tahunan, ada yang sibuk menyiapkan  liburan, ada yang sibuk mengerjakan makalah-makalah ujian akhir, ada yang sibuk natalan, ada yang sibuk mengevaluasi resolusi pribadi, bahkan ada yang sibuk menyibukkan diri tanpa tahu duduk perkara yang sedang disibukinya. Pusing? Saya juga! Bagaimanapun, itulah suasana jelang akhir tahun: makin sibuk!

Lha, memang apa salahnya orang jadi sibuk? Sebetulnya nggak ada yang salah, mungkin ini cuma kerjaan iseng saya untuk menambah kerumitan hidup Anda. Tapi, sebelum Anda melemparkan segudang hujatan pada saya atau memutuskan untuk tidak membaca kelanjutan celotehan ini, izinkan saya memungkas kejailan ini dengan pertanyaan “mengapa”. Rumuskan saja begini: “MENGAPA Anda sibuk?” Dan, bayangkan pula saya bertanya dengan ekspresi yang sungguh-sungguh serius—ya, ditambah pula dengan sedikit motif ke-lebay-an.

            Mungkin saja pertanyaan serius di atas memang terdengar konyol. Tapi, apabila dipikir-pikir secara serius, mungkin konyol juga seandainya kita betul-betul acuh tak acuh dengan pertanyaan tersebut. Pasalnya, “menjadi sibuk” adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang dicap “modern”. Dalam bahasa mujaradnya: menjadi sibuk adalah cara manusia mengada di dunia ini. Bah, repotnya!

Sebetulnya, kejailan saya ini bisa dirumuskan dengan lebih sederhana. Bukankah ajakan saya untuk memikirkan kembali kesibukan dengan serius ini tidak lain dan tidak bukan adalah sejenis refleksi diri. Dengan kata lain, kita merenungkan kembali dan memaknai kesibukan dalam hidup kita sendiri. Lantas, mengapa kita perlu berputar-putar dengan pertanyaan seputar kesibukan untuk tiba pada refleksi diri?

Barangkali dengan sedikit berputar, kita akan berjumpa dengan satu-dua kejutan. Misalnya, kita akan sadar bahwa refleksi diri juga merupakan varian kesibukan terkini—bahkan kesibukan itu sendiri. Refleksi diri adalah cara mengada dan tren manusia kebanyakan saat ini. Bagaimana mungkin?

O, mungkin saja, seandainya refleksi diri itu diibaratkan seperti para pengendara sepeda motor dengan kaca spionnya. Kiwari, orang-orang bebas memasang aneka rupa dan desain kaca spion pada sepeda motornya. Pada mulanya adalah model dan ukuran, Lantas, perihal fungsi adalah urusan nomor kesekian. Dan biasanya, makin kecil ukuran spion, makin digemari.

Sekonyong-konyong spion menjadi aksesori. Dengan santainya si anu bisa saja memotong jalur kendaraan lain tanpa perlu melihat spion. Bila pun melihat spion, sama sekali tak ada perasaan was-was kalau tabrakan dapat terjadi begitu saja. “Ah, kendaraan di belakang masih jauh,” pikir si anu. Dan kalau terjadi tabrakan, pihak yang tampak lebih “lemah” atau “miskin” selalu lebih benar. Tak lupa disertai dengan sorot mata yang tajam dan sumpah serapah dari bibir yang juga biasa merayu. Tidak percaya? Dengarlah pemeo masa kini: mobil selalu salah! Tapi, dari manakah pemeo itu berasal?

Rasanya si anu tidak pernah bertanya pada dirinya dengan tiba-tiba, “Mengapa saya menggunakan sepeda motor?” ketika sedang berkendara. Jangankan si anu, kita yang waras pun akan terpingkal-pingkal dengan pertanyaan sinting tersebut. Dalam hidup sehari-hari, orang-orang waras akan  memandang sepeda motor sebagai alat transportasi paling praktis untuk menuju ke sini atau ke situ. Jadi, sepeda motor hanyalah salah satu sarana untuk menghantar kita pada tujuan-tujuan “sementara” kita.

Barangkali pertanyaan sinting itu akan terngiang, ketika kita sungguh-sungguh mengalami kecelakaan. Misalnya, saat si anu sungguh-sungguh ditabrak truk: sepeda motor ringsek, jari-jari kaki putus, tulang belakang patah, dan sialnya masih bernapas. Pada momen itu, bertanyalah si anu kepada dirinya, “Mengapa saya menggunakan sepeda motor? Mengapa saya tidak melihat kaca spion dengan baik?”

Pada momen itu pertanyaan sinting tidak lagi terdengar sinting.

Ibarat spion, refleksi diri adalah bagian terkecil dari kesibukan. Kita terbiasa dengan kesibukan sebagaimana kita terbiasa  menggunakan sepeda motor. Kesibukan adalah cara mengisi kehidupan kita sebagaimana sepeda motor adalah sarana transportasi untuk mencapai tujuan. Dalam kondisi itulah, refleksi diri menjadi sejenis ritual rutin dengan segenap kerlap-kerlipnya

Tahun lalu kita berefleksi, tahun ini kita berefleksi. Mungkin tahun depan juga demikian. Dan refleksi diri pun terasa hambar setelah sekian tahun dilewati. Demikianlah sewajarnya karena kita tidak sungguh-sungguh berefleksi. Kita berefleksi dalam horizon kesibukan.

Karena itu, “Mengapa Anda sibuk?”

Siapa bertelinga hendaklah ia mendengar. Sayangnya, orang-orang masa kini memiliki telinga yang besar. Mereka mendengar segala suara: parau, sumbang, mendayu-dayu, dan merdu. Namun, mereka tak mampu mendengar “musik” di balik suara-suara tersebut. Walhasil, mereka tidak dapat membebaskan diri dari kesibukan yang mereka ciptakan sendiri.

Ah, cukuplah saya menjaili Anda kali ini. Mungkin keisengan macam ini akan pas bagi mereka yang bertelinga kecil dan mampu membaca huruf di balik abjad. Dan kepada mereka yang mengatupkan telinganya baiklah saya mencibir seraya berkata:

Sontoloyo!”

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *