Tetaplah berdoa.
—1Tes 5:17
Terminal Cikarang pada pukul 02.30 pun masih terjaga. Padahal, desir angin dini hari telah menambah atmosfer beku udara di sana setelah hujan lebat menghunjam ke atas permukaan bumi Jawa Barat. Toh, suasana demikian tak menghentikan langkah-langkah berbagai pasang kaki untuk berkumpul di sana. Bagi mereka, terminal adalah wadah menyabung beragam cerita kehidupan.
Empok Yati (37) menyalakan sebatang rokok sambil menyeruput kopi di warung tenda di seberang terminal. Dan ia mulai bercerita tentang sepenggal kisah hidup terkininya. “Sekarang ini tenaga yang dibutuhkan adalah mereka yang muda-muda. Kalo sudah berumur seperti saya sudah enggak kepake lagi sebagai cleaning service,” ujarnya sembari tersenyum. Pagi itu Empok Yati berniat berangkat ke Depok untuk mengunjungi saudaranya.
Boleh jadi warung kopi di seberang terminal ini ibarat oase bagi para pengelana. Awalnya, setiap pengunjung tak mengenal satu sama lain. Tapi, anonimitas hanya bertahan sebentar di sini. Gorengan, rokok, dan kopi menjadi salam pembuka untuk saling membagikan mood petualangan hidupnya masing-masing. Di situlah Empok Yati berkenalan dengan Mang Ujang (41) yang berjanji mengantarkan Empok Yati ke terminal Bekasi dengan ojeknya.
Tak lama kemudian bus mini dengan tujuan terminal Pulogadung berhenti sejenak di depan warung kopi untuk mengangkut beberapa penumpang. Hampir semua penumpangnya adalah pedagang. Keranjang dari anyaman bambu, galas, topi, dan handuk kecil yang menggantung di leher mereka adalah beberapa perkakas khas yang mereka bawa. Di dalam bus, mereka mencari posisi terbaik untuk tidur sejenak sebelum tiba di kota metropolitan yang ditujunya: Jakarta. Sekonyong-konyong tidur sejenak di dalam bus ini adalah semacam kebiasaan tak tertulis bagi mereka untuk menyongsong rutinitas kota metropolis yang mekanis dan anonim. Barangkali, itulah sebuah potret kecil tentang hidup keseharian.
Anda dan saya pun tak lepas dari kekhasannya masing-masing dalam menjalani hidup keseharian. Kebiasaan seorang dosen tentu berbeda dengan kebiasaan seorang akuntan, pengusaha, pegiat LSM, dokter, rohaniwan, atau seniman dalam memulai rangkaian harinya. Sadar tak sadar, tiap keunikan gaya hidup tersebut menentukan pula cara pandang dalam memaknai kehidupan dan segala teteknya. Toh, sekurang-kurangnya kita dapat menyaksikan beragam kebiasaan unik tersebut pada terminal virtual zaman kiwari: jejaring media sosial.
Tampaknya, kita mudah larut dalam kerumunan dan keriuhan terminal virtual ini. Di sana selalu saja ada topik yang mengisi rasa ingin tahu kita yang tak pernah puas. Informasi begitu meruah sampai-sampai tak dapat dibedakan lagi antara fakta dan opini. Boleh jadi di terminal virtual ini tak ada lagi yang dapat disebut sebagai fakta selain propaganda-propaganda untuk mengegolkan kepentingan tertentu. Misalnya, ingar-bingar pencalonan DKI1 ataupun eksploitasi tragedi-tragedi Aleppo yang sarat dengan isu agama dan politik. Toh, topik-topik itulah yang mengisi keseharian hidup dan sekaligus menentukan pula penilaian serta pemaknaan kebanyakan kita tentang kehidupan. Karena itu, tak berlebihan bila ada orang yang menceletuk, “Media sosial telah menentukan keseharian hidup kita.”
Syahdan, pada suatu ketika ada orang-orang bak tersambar geledek yang sekonyong-konyong mempertanyakan keseharian hidupnya sendiri. “Demi apa aku sibuk mengurus keseharian hidupku ini?” tanyanya cemas. Ada rasa gelisah yang tak dapat dipahaminya. Segala kerumitan hidup sehari-hari—dan keriuhan terminal virtual—yang begitu akrab dengannya tiba-tiba melesap. Terminal virtual tak lagi sekadar menjadi wadah menyabung berbagai cerita kehidupan, melainkan menjadi titik balik untuk keluar dari rutinitas hidup yang mekanis. Mungkin rasa gelisah ini mirip dengan dongeng garapan Lewis Caroll tentang Alice yang hendak memutuskan untuk tetap tinggal di dunia ini atau melangkah masuk ke dalam suatu dunia misterius yang ada di balik cermin.
Toh, tak seorang pun ingin hidup dengan rasa gelisah. Setiap orang berupaya menjinakkan bahkan menguasai rasa gelisah dengan berbagai kebijaksanaan yang telah terpelihara melalui keseharian hidup selama ribuan tahun. Ambil contoh suatu tradisi yang mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa ketika menghadapi masa-masa krisis dan jalan buntu dalam kehidupan. Atau juga disiplin berdoa demi mencapai kesalehan hidup. Seolah-olah doa menjadi obat penenang dan sekaligus harapan untuk menjadikan segala sesuatunya lebih baik.
Barangkali doa jauh lebih dalam dari sekadar itu. Doa adalah suatu mood untuk hidup berdampingan dengan rasa gelisah tanpa berpretensi untuk menaklukkannya. Doa justru mengganggu ritme keseharian hidup seseorang demi mencecap suatu makna yang dalam, orisinal, dan misterius. Doa menjadi suatu penziarahan akan misteri yang tak akan pernah terungkap sepanjang hayat. Kalau begitu, bukankah doa ibarat upaya menjaring angin dalam mengatasi persoalan hidup? Mungkin pertanyaannya yang keliru karena pertanyaan seperti itu berangkat dari tendensi manusia yang selalu ingin nyaman dengan hidup kesehariannya.
Karena itulah, kisah Empok Yati, Mang Ujang, dan para pedagang di terminal dapat saja dimaknai sebagai bagian dari keseharian hidup yang berlalu begitu saja. Anda pun dapat menemukan kisah-kisah keseharian lainnya dengan mudah. Namun, boleh jadi kisah-kisah keseharian juga menjadi gugatan “terminal”—alias yang paling akhir dan fatal—yang sangat menggelisahkan hidup Anda sendiri. Pada momen itulah, Anda bak tersesat di terminal antah-berantah yang berkaribkan bisikan-bisikan pertanyaan terminal.
Dan, mungkin saja Anda merasa takjub ….