Barangkali, ada satu pandangan pokok Aristoteles yang masih relevan hingga kini. Dalam benak Aristoteles, politik itu tidak sekadar membutuhkan keterampilan khusus berpolitik sebagaimana seorang dokter berupaya mengobati tubuh pasiennya. Politik juga tidak sekadar mensyaratkan pengetahuan teori politik sebagaimana para teolog mengontemplasikan hal-hal yang ilahi.
Namun lebih dari itu, politik terletak di antara ranah keterampilan dan ranah teori. Ia berada di wilayah abu-abu dan tidak stabil. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, politik adalah praksis.
Melalui kategori “praksis”, Aristoteles sesungguhnya hendak menegaskan bahwa kodrat manusia itu pada dasarnya bersifat sosial. Seorang manusia selalu membutuhkan manusia-manusia lainnya. Bentuknya pun macam-macam, mulai dari persahabatan, keluarga, komunitas, masyarakat, hingga negara. Dan di dalam beragam bentuk tersebut, setiap orang mengejawantahkan dirinya untuk menjadi—ataupun menghidupi apa artinya menjadi—manusia yang utuh.
Dalam pengertian praksis itulah setiap manusia berpolitik. Singkatnya, setiap orang sudah selalu bertindak dalam konteks hidup bersama dengan manusia-manusia lainnya. Tentu saja dalam konteks yang demikian siapa saja akan dipandang tidak beradab apabila bertindak semau-maunya. Itu sebabnya dibutuhkan sikap yang pas (etis) dalam bertindak.
Sama halnya dengan politik, Aristoteles juga menempatkan tindakan etis di dalam ranah praksis. Etika bukanlah sekadar keterampilan atau teori belaka. Seseorang tak serta-merta dipandang berperilaku etis apabila ia selalu bersikap baik pada semua orang. Sejatinya, hati nurani kita akan meradang apabila ada orang yang bersikap baik kepada para koruptor. Demikian pula
seseorang tak dapat langsung dianggap sebagai orang yang beretika, meskipun ia bertindak menurut keyakinan dan pengetahuan yang pasti tentang “yang baik”
Lebih dari itu, etika sesungguhnya menyediakan kerangka pikir untuk bersikap dengan tepat dalam situasi-situasi konkret yang senantiasa berubah. Dalam kerangka tersebut, tiap orang belajar dari pengalamannya sendiri untuk bersikap dan menempatkan dirinya sendiri dengan pas. Dan di situlah terdapat suatu proses yang melingkar: seseorang hanya mungkin menghayati tindakan yang baik apabila ia telah melakukan tindakan yang baik; dan seseorang hanya dapat melakukan tindakan yang baik apabila ia menghayati tindakan yang baik tersebut.
Maka, di dalam ranah praksis tersebut, politik dan etika tidak dapat dipahami sepenuhnya dalam pengetahuan teoretis—termasuk agama. Nilai-nilai agama yang cenderung sempit selalu membagi kehidupan dalam dua kutub saja: baik-jahat, benar-salah, suci-dosa. Dan rasanya sulit untuk membayangkan seseorang yang hidup baik dan sekaligus jahat dalam kategori agama. Karena itulah ranah agama berbeda dengan ranah politik, kendati ada nilai-nilai agama yang mengilhami tindakan etis tertentu.
Mungkin kita sendiri perlu sedikit memetik sedikit hikmah dari sejarah peradaban Barat—terlepas dari segala perbedaan kita dengannya. Sejarah memperlihatkan bahwa keterjalinan politik dengan agama (kekristenan) pada abad ke-16 justru melahirkan banyak penderitaan dan pembinasaan manusia. Pasalnya, agama di-politik-an sedemikian rupa sehingga suatu rezim politik tertentu dibenarkan sebagai satu-satunya tatanan yang ilahi dan paling benar. Lantas, segala sesuatu yang berada di luar tatanan rezim tersebut pantas untuk dipinggirkan.
Dalam situasi krisis tersebut, (r)evolusi peradaban masyarakat Barat sendiri berangsur-angsur meminggirkan peran utama agama dalam kehidupan politik. Seiring dengan perubahan situasi pada abad ke-17, mereka menggeser agama dengan rasionalisme ilmiah—suatu pandangan yang mengunggulkan kemampuan akal budi apriori dalam menjawab berbagai persoalan. Sejak saat itu, rasionalisme pun bertahta dalam politik.
Lantas, apakah pergeseran semacam itu mampu menyelesaikan segala krisis dalam tatanan kehidupan bersama? Dalam periode-periode berikutnya, sejarah peradaban Barat justru menceritakan bahwa panggung politik didominasi secara silih berganti oleh moralitas humanis (abad ke-18), ekonomi (abad ke-19), dan teknologi (abad ke-20). Dominasi-dominasi tersebut justru menampakkan adanya upaya untuk menaklukkan kehidupan politik dalam skema-skema dasar tertentu.
Ambil contoh, dominasi ekonomi atas politik. Dominasi tersebut memunculkan logika mengenai kesetaraan ekonomi sebagai penjamin terwujudnya keadilan bersama. Rumusan sederhananya, kalau semua orang sama-sama kenyang, maka keadilan bukan lagi isapan jempol. Nahasnya, praktik dominasi ekonomi justru menjungkirbalikkan mimpi indah tersebut dalam rezim berdarah yang tidak sedikit menghilangkan nyawa manusia.
Boleh jadi, sesungguhnya agama, moralitas, ekonomi, ataupun teknologi tak mampu menyelami ranah politik sepenuhnya. Dan, kondisi tersebut menggarisbawahi bahwa politik pada dasarnya tidak dapat ditundukkan di dalam berbagai skema, visi, atau landasan tertentu. Ada semacam gerak—sebut saja “yang politik”—yang selalu luput dalam dominasi skema apa pun. Ia bersifat misterius dan sekaligus menjadi penentu berbagai momen politik.
Barangkali di tengah-tengah situasi itulah tawaran Aristoteles mengenai kebijaksanaan praksis juga menjadi relevan. Pasalnya, prinsip kebijaksanaan praksis menitikberatkan pada kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat. Itu sebabnya kebijaksanaan praksis bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan atau dipahami sebagaimana pengetahuan religius, matematis, ataupun teknis. Lebih dari itu, kebijaksanaan praksis justru tumbuh dari pengalaman dan kebiasaan seseorang untuk bertindak secara etis.
Mungkin, itulah politik.