Siapakah Onesimus? Nama tersebut muncul dalam salah satu surat berjudul “Filemon”. Dan sebagian besar orang mungkin mengenal sosok tersebut hanya dalam surat yang ditulis oleh Rasul Paulus itu—sebagaimana terkanonkan dalam kitab suci. Tapi, siapa sesungguhnya Onesimus ini? Bolehlah kita sedikit bermain-bermain dengan satu, dua, atau tiga imajinasi kita.
1
Barangkali Onesimus adalah seorang budak pelarian. Dan tuan Onesimus dapat diperkirakan bernama Filemon. Tentu saja perbudakaan di masa gereja mula-mula adalah sebuah tradisi yang lumrah. Pasalnya, pengaruh Helenisme-romawi masih cukup kuat pada waktu itu. Namun, tak menutup kemungkinan muncul berbagai reaksi penolakan di sana-sini, Salah satu caranya adalah dengan melarikan diri dari tuannya. Dan Onesimus adalah satu dari sekian budak yang turut melarikan diri.
Tampaknya Paulus menaruh perhatian khusus pada kehidupan pribadi Onesimus. Ia tahu ada persoalan yang perlu dibereskan dalam masa lalu Onesimus. Dan mengurai persoalan menyangkut perseteruan antarsaudara seiman tidaklah mudah—ia pun pernah mengalaminya. Kini, Paulus dihadapkan pada sebuah perseteruan hebat yang telah menyebabkan Filemon kecewa dan Onesimus melarikan diri.
Namun, pelarian Onesimus sebetulnya bukanlah sebuah kebetulan. Tampaknya ada sebuah rancangan ilahi yang “memisahkan” Onesimus dengan Filemon (ay. 15). Melalui keterpisahan itulah, kelak Onesimus berjumpa dengan Paulus. Dan perjumpaan tersebut membuahkan pertobatan Onesimus kepada Tuhan. Sejak saat itu, Onesimus melayani Paulus. Dan sejak saat itu, Onesimus memiliki peranan penting dalam pelayanan Paulus. Bahkan, Paulus menyatakan bahwa Onesimus adalah si ‘buah hati’-nya, alias anak kesayangannya.
Maka, dalam surat Filemon, Paulus bertindak sebagai penengah. Ia hendak mendamaikan kembali hubungan Onesimus dengan Filemon yang retak. Bagi Paulus, pendamaian ini penting dan berguna bagi kehidupan umat Kristen. Apalagi Paulus mengenal kedua pihak yang berseteru ini dengan baik. Melalui narasi seperti itu, pembaca masa kini mungkin saja disuguhkan sosok Onesimus sebagai budak pelarian yang berseteru dengan tuannya. Melalui Paulus, Onesimus mencoba memulihkan kembali hubungan yang sempat retak.
2
Tapi, mungkin saja Onesimus adalah seorang pelayan dari gereja di Kolose. Ia ditugaskan oleh jemaat Kolose untuk melayani Paulus yang berada di rumah tahanan pribadi di Efesus. Pada waktu itu, kepala jemaat Kolose adalah Arkhipus. Dan tentu saja Onesimus adalah pelayan atau budak dari Arkhipus. Sebagaimana Epafroditus, Arkhipus adalah “teman seperjuangan” (Yun: sustratiotes) Paulus. Dan Sebetulnya, Epafroditus juga adalah utusan dari jemaat Filipi untuk melayani Paulus. Kendati demikian, Onesimus tetaplah seorang budak.
Maka, dapatlah diandaikan bahwa surat Filemon adalah surat permintaan Paulus kepada jemaat Kolose. Filemon sendiri adalah teman sekerja Paulus yang tinggal di Laodikia. Dan melalui Filemon, Paulus berharap agar permintaannya kepada Arkhipus mendapat perhatian yang cukup serius. Lantas, apa permintaan Paulus? Tampaknya Paulus mengajukan permintaan “mengenai” (Yun: peri) Onesimus, sang anak rohaninya (ay. 10).
Naga-naganya, Paulus tidak hanya mengajukan permintaan atas nama Onesimus belaka. Tapi, Paulus juga mengajukan permintaan tentang Onesimus sendiri. Paulus sungguh berharap agar Onesimus tetap bersamanya di Efesus. Tampaknya Paulus membutuhkan Onesimus untuk melayani dirinya dan pelayanan yang sedang dikerjakannya.
Jadi, Onesimus bukanlah seorang budak pelarian. Malahan, ia adalah budak yang memang sengaja diutus oleh jemaat Kolose untuk melayani Paulus di rumah tahanan pribadi di Efesus.
3
Tampaknya boleh pula dibayangkan bahwa Onesimus adalah seorang pencari suaka. Pasalnya, hukum romawi yang mengatur hubungan tuan-budak memungkinkan suaka ketika terjadi perseteruan antara si tuan dan budaknya. Dan dalam sejarah kuno, rumah tahanan pribadi pula dapat dijadikan tempat suaka setara dengan situs-situs dan kuil-kuil keagamaan.
Berdasarkan hukum romawi itu juga, seorang budak yang mendatangi sahabat dari tuannya—demi mengupayakan perdamaian dengan tuannya—bukanlah seorang pelarian. Itulah sebabnya Onesimus mencari suaka di rumah tahanan Paulus. Tampaknya Onesimus pernah mendengar tentang Paulus ketika pelayanan Paulus didiskusikan oleh Filemon dan juga oleh gereja Kolose. Maka, Onesimus nekat bertemu dengan Paulus. Ia menganggap Paulus sebagai sahabat tuannya dan dapat menjadi penengah yang baik.
Dalam narasi ini, Onesimus adalah seorang pencari suaka.
Dengan berandai-andai seperti di atas, kita berjumpa dengan tiga sosok Onesimus yang berbeda. Bahkan, kita pun berjumpa dengan tiga narasi yang berbeda. Tapi, pertanyaan, “Siapakah Onesimus?” masih menggantung dalam benak kita. Toh, kita masih belum mengetahui siapa Onesimus ini yang sebenar-benarnya.
Narasi-narasi di atas mungkin juga pernah dibayangkan oleh para akademisi seperti Yohanes Kristotomus, Martin Luther, atau pun Yohanes Calvin. Tentu saja perbedaan sudut pandang, narasi, dan detail-detail dalam merekonstruksi sosok Onesimus memperkaya pembaca masa kini. Tapi, tak jarang pula perbedaan-perbedaan yang saling bertolak belakang justru membingungkan kita. Bagaimanapun, biasanya kita akan memilih satu dari sekian narasi yang kita anggap paling pas.
Barangkali persoalan ini mirip ketika kita ditanya apakah kita mengenal teman kita sendiri, sebut saja misalnya si Bulan. Orang yang satu akan berkata kalau si Bulan ini cerewet, yang lain berkata kalau si Bulan ini pendiam, dan yang lainnya lagi berkata kalau si Bulan ini suka bergosip. Persoalannya, apakah memang si Bulan sungguh-sungguh sesuai dengan berbagai deskripsi yang telah dilabelkan padanya?
Rasanya ada kecenderungan dalam setiap diri kita untuk memastikan apa yang tidak pasti. Kita merasa resah ketika berada dalam ketidakpastian. Karena itu, kita suka memberikan label-label tertentu kepada sahabat kita agar kita tidak merasa asing dengannya. Dan sering kali kita terkaget-kaget apabila sahabat kita bersikap di luar label-label yang kita rasa sesuai dengannya. Lantas, kata “tumben” dan “biasanya” akan digunakan untuk mengungkapkan keheranan kita seperti: “Kok tumben kamu diam, biasanya ‘kan cerewet?”
Demikian pula Onesimus. Ia tak luput dari berbagai identifikasi dari pembaca masa kini. Barangkali pelabelan, identifikasi, dan pembuatan narasi-narasi atas sosok Onesimus memang tak terhindarkan. Mungkin yang perlu kita pertanyakan secara lebih dalam adalah: Mengapa aku menghendaki untuk menarasikan Onesimus secara demikian—entah sebagai budak pelarian, atau pelayan yang diutus, atau pun pencari suaka? Wallahualam!