Yulius Tandyanto:
Mentor

Apakah mentor itu selalu baik? Harapannya sih begitu. Semua orang membayangkan “kakak pengasuh” yang baik. Setiap orang menghendaki dibimbing untuk menjadi lebih baik.

Tapi, mungkin di situ tersimpan sejumput persoalan yang tak mau pudar: menjadi “baik”. Imajinasi tentang kebaikan senantiasa menggugah batin. Ia juga menumbuhkan harapan. Ya, harapan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik meski saat ini keadaan kita sedang tidak baik. Harapan bahwa Anda dan saya bisa menjadi orang yang lebih baik.

Dengan harapan seperti itu, sang mentor mewariskan kebaikan seturut keyakinan dan imajinasinya. Di situlah kita berjumpa dengan berbagai jenis, spesies, dan klaim tentang “kebaikan”. Dan, tak jarang pula “baik” versi mentor si anu saling bertentangan dengan “kebaikan” versi mentor si inu.

Syahdan, terjadilah adu mulut tentang kebaikan yang paling benar.

Ironisnya, tak sedikit mentor yang berani mendaku bahwa ia yang (paling) benar. Dan kegigihan mempertahankan kebenaran-kebenarannya itu kerap disepadankan dengan melakukan kebaikan.

Barangkali itu kuk sang mentor. Ia bertanggung jawab atas asuhannya. Tapi, seyogianya sang mentor juga tidak lupa bahwa apa yang ia ajarkan tidaklah (pernah) sempurna. Kebaikannya selalu terbatas. Kebenarannya tak tuntas. Ia perlu membuka diri terhadap segala kemungkinan dan ketakpastian.

Boleh jadi keterbatasan dan keterbukaan sang mentor justru membuat adik asuhnya semakin lebih baik. Sekurang-kurangnya, itulah yang direfleksikan oleh seorang rekan yang menuliskan pengalamannya tentang “Mentor”.

Ia menulis dengan narasi yang hangat. Di sana kita akan menemukan figur mentor yang ia namai sebagai “Engkong”. Baginya, Engkong telah menyulut percik-percik imajinasi di dalam batinnya. Bersama Engkong, ia menikmati petualangan menyelam ke dalam dunia ide-ide. Selain itu, ia juga belajar menjadi jujur pada diri sendiri.

Baginya, pengalaman bersama Engkong meninggalkan sebuah impresi. Ya, sebuah impresi yang ingin ia ceritakan dalam plot bertema “mentor”. Berhasilkah? Mungkin Anda perlu membaca dan menjawabnya sendiri.

Terlepas dari itu, mungkin si Engkong sesungguhnya tidak pernah membayangkan dirinya menjadi seorang mentor. Ia hadir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia sama seperti kebanyakan orang lain yang lebih dahulu belajar ini dan itu di antara rekan-rekannya yang lebih muda—alias lebih tua.

hidup yang tidak dinarasikan adalah hidup yang tak layak dijalani

Justru, impresi tentang figur mentor lahir dari refleksi si penulisnya. Sang penulis mengolah segala ingatan tentang Engkong dan merajutnya dalam sebuah narasi kehidupan. Di sinilah bergema sebuah maksim kuno yang kembali dibahasakan secara kekinian oleh Ricœur: hidup yang tidak dinarasikan adalah hidup yang tak layak dijalani.

Tak hanya itu, dalam narasi sang penulis, secara samar-samar Anda dan saya akan menemukan sebentuk relasi antarsesama yang lebih humanis. Sang penulis menempatkan si Engkong pertama-tama sebagai suatu pribadi. Tentu ini adalah hal yang baik di tengah-tengah relasi yang menjadikan sesama terutama sebagai alat untuk memuaskan kepentingan diri—entah sadar ataupun tidak.

Di sana-sini, kita cenderung memanfaatkan orang lain pertama-tama sebagai obyek, alat, sarana.

Agaknya, melalui narasi reflektif sang penulis, Anda dan saya seolah-olah diajak untuk kembali menala. Setidaknya, saya sendiri disuguhkan sebuah spektrum kehidupan yang membukakan berbagai kemungkinan pilihan (makna) hidup. Dalam hal ini, sang penulis menjadi “mentor” bagi saya.

Siapa pun boleh saja menyatakan dirinya sebagai mentor. Toh, statusnya bisa diperjualbelikan selama manusia memuja duit. Lagipula, tugas sang mentor bukan sekadar beretorika kalau-kalau perbuatan yang ini harus dilakukan atau perbuatan yang itu harus dinista.

Namun, mentor selayaknya dihormati karena ia menantang Anda dan saya untuk mengaktualkan segenap potensinya. Bahkan, untuk melampaui sang mentor itu sendiri. Ia mendorong kita untuk berani menghayati kehidupan—beserta dengan segenap teka-tekinya—secara takzim!

Barangkali, itulah hakikat mentor.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 pemikiran di “Mentor”