Yulius Tandyanto:
Hegemoni

Kita selalu berdebat. Kita senantiasa berbeda pendapat. Ya, kita! “Kita” sebagai suatu terjemahan halus untuk mengaburkan perbedaan terselubung antara “kami” dan “mereka”.

Sejatinya, penegasan “kami” sudah selalu mengandaikan keberadaan “mereka”. Dan pengandaian tersebut bukan terutama persoalan pembedaan bahasa. Mungkin, sama halnya ketika seseorang menyebut dirinya sebagai “aku” untuk menegaskan kehadiran dirinya di hadapan sang kekasih yang ia sebut sebagai “kamu” di suatu kafe pada suatu senja.

Di sana ada jurang tak terselami yang membatasi aku dan kamu—sebagaimana kami dan mereka.

Tentu saja kita juga tidak selalu berdebat setiap saat. Ada momen-momen “kami” dan “mereka” mengabaikan segala perbedaan dan melebur ke dalam “kita”. Pada saat seperti itu, kita bisa mengerjakan suatu proyek bersama-sama—meskipun tak semua orang satu suara dengan proyek tersebut.

Persoalannya: proyek seperti apakah yang dapat menyatukan kita?

Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Pasalnya, identitas kita begitu rentan terserak-serak menjadi identitas kami dan mereka. Dan entah mengapa kebanyakan orang sangat suka mengidentifikasi perbedaan dengan sekat-sekat agama, ras, maupun gender. “Ah, dia kan kafir. Ah, dia kan Cina. Ah, dia kan perempuan,” demikian seterusnya.

Sesungguhnya identifikasi itu sendiri tidak masalah. Hanya saja kita sering lupa bahwa sekat-sekat tersebut adalah identifikasi yang telah kita ciptakan sendiri. Dan di balik identifikasi tersebut terdapat penilaian baik-buruk yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kita enggan mempersoalkan kembali penilaian yang telah menjelma menjadi “akal sehat” kita.

Maka, tak berlebihan ketika Antonio Gramsci (1891-1937) menyatakan, “Seseorang sudah selalu merupakan manusia-massa atau manusia paguyuban.” Maksudnya, pikiran waras setiap orang pada dasarnya dibentuk oleh tata kelola kehidupan sosialnya. Kalau korupsi adalah tindakan yang wajar bagi komunitas tertentu, maka korupsi pada dasarnya merupakan “akal sehat” bagi tiap orang yang berada dalam komunitas tersebut.

Begitu pula bila kita terbiasa hidup dalam masyarakat yang oportunis, berani mengangkangi hukum, dan berpikiran pendek, maka iklim “akal sehat” tiap orang pun tak jauh-jauh dari situasi tersebut. Tengok saja rimba jalanan Jakarta di pagi hari!

Untungnya, akal sehat ini bukan sesuatu yang sekali jadi dan tak bisa berubah. Ibarat organisme, akal sehat juga berkembang: entah jadi lebih berbudi atau lebih cupet. Mungkin di sinilah arena pertarungan dan pertaruhannya. Para rohaniwan, intelektual, demagog, politisi, konsultan, seniman, budayawan, serta siapa pun yang berkepentingan saling bersengkarut membesarkan akal sehat bersama.

Mereka saling beradu wacana. Mereka juga saling menerjemahkan ideologi masing-masing di dalam kancah nasional dengan bahasa yang lebih merakyat. Tentu dengan tujuan agar ideologinya menjadi horizon akal sehat bersama. Itulah inti hegemoni.

Karena itu, kita akan senantiasa berdebat.

Tepat dalam kenyataan yang demikian, alangkah beradabnya apabila kita membangun politik yang mandiri. Politik yang bukan sekadar keterampilan manajerial untuk mengelola berbagai kepentingan yang sangat beragam. Politik yang juga tidak dapat disederhanakan terutama sebagai pemerataan urusan kesejahteraan (ekonomi) rakyatnya belaka—meskipun hal tersebut penting.

Namun, politik adalah suatu seni merayakan ambiguitas hidup secara bersama-sama.

Di sana kita merayakan kemajemukan. Masing-masing paguyuban merawat tradisinya—seraya wawas diri bahwa tradisinya adalah satu dari sekian tradisi lainnya. Dan tiap tradisi tersebut terjalin dalam narasi keindonesiaan yang nyata sekaligus samar: Pancasila.

Maka, mengartikulasikan Pancasila pada hari ini merupakan suatu keniscayaan. Sesungguhnya, tugas ini bukanlah solusi latah musiman ketika krisis muncul di ambang pintu: Bukankah slogan “Pancasila harga mati” memang terasa nyaring karena di dalamnya kosong?

Sebaliknya, tugas “mengartikulasikan” pada dasarnya sudah selalu mempersoalkan “akal sehat” yang selama ini telah berlangsung dan sekaligus memaknainya kembali dalam identitas kekinian. Dan itulah prinsip ganda hegemoni.

Naga-naganya identitas Pancasila sebagai “kita” tak pernah tunggal dan utuh. Karena itu, hegemoni pun tak pernah usai. Dari sanalah selalu ada panggilan untuk mendewasakan akal sehat kita.

Dan kita senantiasa berdebat.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *