Yulius Tandyanto:
Cinta

Alkisah Sokrates berjumpa dengan seorang peramal dari Mantinea. Namanya Diotima. Tampaknya nasib menjodohkan mereka untuk berbincang-bincang perihal cinta. Ya, tentang cinta dengan segenap sifat misteriusnya. Barangkali, cinta tetaplah misterius hingga kiwari.

Cinta seolah-olah dapat menjadikan seseorang sebagai orang yang paling kaya dan paling miskin sekaligus. Bolehlah kita amati sejenak, misalnya, seorang jejaka yang sedang dimabuk cinta pada gadis pujaannya. Pada momen itulah sang jejaka rela mengorbankan banyak hal—kalau tidak segala hal—demi gadis pujaannya. Mengapa? Pasalnya, sang gadis pujaannya lebih berharga dari segala hal yang ia miliki. Di saat itulah ia merasa orang yang paling beruntung sedunia.

Namun, persis pada momen itu pula sang jejaka menjadi orang yang paling sial sedunia. Bagaimana mungkin? Ah, apalagi selain dari siksaan rasa rindu yang mendera batinnya begitu hebat sehingga kesenangan seluruh dunia tak lagi dapat melipurnya. Ia tak lagi dapat menikmati makan, minum, dan beragam kegiatan lainnya bak orang linglung. O, itulah dampak cinta.

Sialnya, cinta yang serupa juga kerap memunculkan berbagai “dampak” yang lebih rumit dalam hidup bermasyarakat. Pemeo “cinta nomor satu, jenis kelamin nomor dua” menjadi semacam seloroh untuk menyetujui hubungan seksual sesama jenis. Apalagi isu tersebut sempat geger ketika negara Uak Sam (US) melegalkan pernikahan sesama jenis baru-baru ini. Di lain pihak, cinta dapat pula menjelma sebagai kekerasan berkedok agama. Atas nama “cinta kebenaran”, kalangan fanatis sangat mudah digiring untuk menabur benih-benih kebencian terhadap agama dan kepercayaan lainnya.

Berdasarkan satu dua kasus tersebut, bolehlah kita sedikit menerka-nerka bahwa cinta adalah semacam dorongan kuat terhadap obyek yang dihasratinya: entah itu sang gadis pujaan, pasangan sesama jenisnya, atau pun kebenaran. Lantas, apa yang hendak dicapai ketika kita mencintai obyek cinta itu? O, mungkin sesuatu yang digadang-gadang oleh manusia sepanjang sejarah: kebahagiaan.

Rasanya hampir tak ada orang yang menyangsikan bahwa kebahagiaan adalah hal yang baik. Oleh karena itu, cinta pun adalah hal yang baik karena bertujuan untuk mencapai kebaikan—sekurang-kurangnya baik menurut pandangan sang pecinta itu sendiri. Di situ pulalah terletak keunikan cinta: obyek cinta yang beragam mendatangkan pula berbagai macam kebaikan.

Namun, manusia mulai lupa diri.

Tanpa sadar, ia telah menjadikan cinta miliknya sebagai cinta yang paling baik, paling benar, dan paling indah. Kemudian, dengan pongahnya ia mulai menilai segala jenis cinta di dunia ini berdasarkan cinta yang dipujanya. Dari bibirnya terucap segala penamaan yang mengkotak-kotakan cinta yang satu sebagai hal yang jahat, cinta yang kedua sebagai hal yang salah, dan cinta yang lainnya sebagai hal yang buruk.

Sekonyong-konyong bumi hanya memiliki dua warna: hitam dan putih. Dan berbagai perkara akhirnya diputuskan dalam logika dualisme. Seandainya saya menyetujui hubungan seksual sesama jenis, maka berbagai label telah menanti untuk dicapkan pada diri ini: liberal, sesat, atau bahkan gay. Sebaliknya, jika saya menolak hubungan seksual sesama jenis, maka label ortodoks, benar, atau pun normal akan disematkan pada saya oleh komunitas tertentu.

Barangkali kita hanya perlu menunda sebentar putusan-putusan kita alih-alih bersegera menghakimi berbagai gejala cinta. Kita perlu mengamati gejala-gejala tersebut dengan jernih, ketat, dan perlahan-lahan sehingga menemukan ilusi-ilusi dalam penilaian kita. Mungkin saja dengan disiplin tersebut kita dapat membedakan arti “penghormatan” dengan arti “pengakuan” terhadap hak-hak kalangan homoseksual—dengan berbagai variasinya, LGBTQ. Atau, mungkin kita mulai dapat menghayati kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam gaya cinta orang lain tanpa menanggalkan kebaikan yang telah kita hayati selama ini. Siapa tahu kita menemukan kedalaman dan permenungan baru, bak Diotima yang memberi petuah perihal keindahan pada Sokrates.

Diotima menyatakan bahwa keindahan ultimat berpijak dari keindahan-keindahan yang sederhana. Dalam proses tersebut ada semacam rasa kedalaman dan kehalusan yang menghantarkan siapa saja yang sungguh-sungguh hendak mencapai Sang Keindahan. Kira-kira beginilah yang dinyatakan oleh Diotima:

“Dari tubuh-tubuh yang indah pada praktik-praktik yang indah. Dan dari praktik-praktik yang indah menuju jenis-jenis pengetahuan yang indah. Dan dari jenis-jenis pengetahuan yang indah akhirnya menuju pada pengetahuan yang khusus, yakni satu-satunya pengetahuan mengenai keindahan itu sendiri sehingga ia akhirnya dapat mengetahui apa sesungguhnya keindahan itu. Itulah kehidupan, Sokrates yang kukasihi, yang seharusnya dijalani sebagian besar manusia di dalam kontemplasi akan keindahan itu sendiri (Symposium, 211c-d).”

Barangkali kita dapat memetik sedikit hikmat dari petuah Diotima. Disiplin “melambat”—memutuskan dengan sejernih-jernihnya, seketat-ketatnya, dan perlahan—bisa jadi kebiasaan yang tidak populer. Toh, zaman ini kerap merayu kita untuk memuja ketergesaan, fanatisme, dan meruahnya informasi. Namun, situasi zaman itulah yang justru telah memanggil kita untuk lambat menghakimi dan cepat mencintai.

Ya, cepat mencintai! Mungkin dengan kesederhanaan seperti yang ditawarkan Sapardi Djoko Damono:

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

 

Cinta tak seharusnya membuat kita pongah. Cinta seharusnya menjadikan saya, Anda, dan mereka lebih baik. Barangkali, mencintai demi cinta itu sendiri: Kebaikan, Kebenaran, dan Keindahan ….

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Cinta”