Sepintas tentang Arti “Kanon”
Kata kanon diperkirakan berakar dari kata Ibrani, “qoneh”, yang berarti “gelagah” atau “buluh”. Dari makna harfiah ini kemudian berkembang berbagai makna yang lebih luas. Dalam Yeh. 40:3, misalnya, sesuai dengan fungsinya, kata ini berarti “tongkat pengukur”. Ketika Paulus mengatakan bahwa ia tidak mau bermegah melampaui batas melainkan tetap menurut ukuran kanon, yang dimaksudkannya adalah “daerah kerja” (2 Kor 10:13). Dalam Gal 6:16, ia menggunakan kata kanon dalam arti “patokan” (atau “norma”).
Dalam perkembangan selanjutnya, kata kanon makin menjauhi makna harfiahnya. Para Bapa Gereja seperti Klemens dari Aleksandria (sekitar tahun 215) menggunakannya dengan makna yang lebih luas seperti aturan iman (“ho kanon tes pisteos”), norma kebenaran (“ho kanon tes aletheias”), dan aturan gereja. Yang disebut terakhir mencakup semua pengajaran gereja, termasuk berbagai aturan mengenai jabatan dan hal-hal yang harus dilaksanakan dalam gereja. Baru pada pertengahan abad keempat, kata kanon digunakan dalam arti “daftar kitab-kitab berwibawa” yang diakui oleh gereja. Athanasius, Uskup Aleksandria, misalnya, menggolongkan Gembala Hermas sebagai kitab yang “tidak termasuk kanon” (“me on ek tou kanonas”).
Apa Dasar Kanonisasi Perjanjian Baru?
Sejak awal, gereja sudah mempunyai Kitab Suci yang juga diakui oleh umat Yahudi sebagai firman Tuhan. Namun, kitab-kitab yang secara teologis dilihat sebagai “Perjanjian Lama” tidak membatasi gereja untuk mengakui kitab-kitab lain yang ditulis kemudian setelah kenaikan Yesus. Dengan kata lain, Perjanjian Lama lambat laun dilengkapi lagi dengan tulisan-tulisan dari era “Perjanjian Baru”.
Apa dasar untuk bertumbuhnya kanon yang berkelanjutan ini? Terutama Yesus sendiri! Secara prinsipil terjadi perubahan radikal dalam pemahaman umat Kristen mula-mula terhadap teks-teks suci itu. Seperti keyakinan yang diungkapkan Paulus, “Perjanjian Lama” yang dibaca oleh umat Yahudi tetap terselubung, “karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya” (2 Kor 3:14-16). Kristuslah yang memberi makna baru terhadap teks-teks suci itu. Dalam Khotbah di Bukit (Mat 5-7), misalnya, walaupun teks-teks Perjanjian Lama dikutip berulang kali, kata-kata Yesus yang otoritatif menentukan interpretasinya.
Demikian pula, kepada para murid disingkapkanNya pemahaman atas Kitab Suci yang bersaksi tentang Dia (Luk. 24:45). Kristus juga menjanjikan Roh Kudus yang akan mengajar mereka senantiasa dan mengingatkan mereka pada semua yang dikatakan Sang Guru (Yoh 14:26). Maka tulisan-tulisan mereka pun diakui sebagai kesaksian berwibawa tentang Kristus dan menentukan bagi ajaran gereja.
Proses Kanonisasi yang “Lambat Laun”
Tentu saja, sepanjang para murid Yesus masih hadir mendampingi gereja, pembakuan tertulis belum dirasakan mendesak. Ajaran Sang Guru diingatkan dan diteruskan secara lisan dengan penjelasan yang otoritatif. Situasi ini berlangsung sampai surat-surat para rasul dan kitab-kitab Injil mulai dituliskan. Tulisan-tulisan ini semua memang ditujukan kepada kalangan tertentu, namun lambat laun mulai disebarkan ke jemaat-jemaat lain. Menariknya, dalam Perjanjian Baru pun sudah terdapat referensi ke kitab lainnya sebagai Kitab Suci (“he graphe”). Dalam 1 Tim 5:18, misalnya, perkataan “seorang pekerja patut mendapat upahnya” dalam Luk. 10:7 telah dikutip sebagai Kitab Suci (“he graphe”)!
Kitab Didakhe (Pengajaran Rasul-rasul) dari awal abad kedua telah memperlakukan kutipan-kutipan dari kitab-kitab Injil sama seperti kutipan dari Perjanjian Lama. Ignatius dan Polikarpus, Bapa-bapa Gereja dari abad kedua, melakukan yang serupa. Rupanya, pengakuan akan otoritas tulisan-tulisan para rasul terjadi secara “spontan” tanpa memerlukan suatu konsili gerejawi. Kanon dalam arti daftar resmi kitab-kitab berwibawa belum menjadi persoalan akut.
Pada pertengahan abad kedua, seorang bernama Marcion dari Sinope memisahkan diri dari gereja Roma. Ia mengajarkan bahwa Tuhan yang disembah para pengikut Kristus tidak mungkin sama dengan Tuhan yang disembah umat Israel. Berbeda tajam dengan Kristus yang penuh kasih dan anugerah, Yahwe dilihat sebagai Allah penghukum yang penuh murka. Selaras dengan pandangan ini, Marcion menolak seluruh Perjanjian Lama. Di antara kitab-kitab Perjanjian Baru pun, hanya surat-surat Paulus dan Injil Lukas yang diakuinya normatif bagi Kekristenan. Teks-teks pilihan ini masih disunting lagi untuk memurnikannya dari agama Yahudi!
Kendati demikian, gereja belum mengambil sikap drastis dengan mengukuhkan suatu kanon kitab-kitab yang otoritatif. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai sikap gereja terhadap kaum gnostik yang menggunakan sumber-sumber tambahan berisi ajaran khas kelompoknya seperti Injil Tomas, Injil Yudas, Injil Kebenaran, dan Injil Maria. Irenaeus, Uskup Lyon yang terkenal sebagai “pemburu bidat” (tahun 180-190), menyebut beberapa kitab ini dan menolaknya, tetapi gereja umum tidak sampai mengadakan suatu konsili untuk memutuskan tentang batas-batas kanon.
Hingga permulaan abad ketiga, dari tulisan Bapa-bapa Gereja di wilayah yang berbeda, antara lain, Irenaeus di Barat, Tertulianus di Afrika Utara, dan Klemens dari Aleksandria di Mesir, terlihat pengakuan luas terhadap keempat kitab Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, 1 Yohanes, dan Wahyu. Kitab-kitab lainnya seperti surat Ibrani, Yakobus, 1 dan 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, dan Yudas tidak mempunyai pengaruh yang sama di semua tempat. Dalam fragmen “Muratori”, yang diperkirakan berasal dari sekitar pertengahan abad ketiga, kita menemukan semacam daftar kitab-kitab yang diakui jemaat di Roma, yakni: keempat Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, Yudas, dua surat Yohanes (tidak jelas yang mana), dan Kitab Kebijaksanaan Salomo. Namun, Apokalips Petrus yang disebut bersama dengan Kitab Wahyu juga diakui walaupun tidak semua menyetujui kedua kitab ini dibaca dalam ibadah. Kitab Gembala Hermas pun disebut dalam fragmen berbahasa Latin itu, tetapi tidak dianjurkan untuk dibaca dalam ibadah.
Daftar yang dibuat oleh Origenes (tahun 182-254) dan muridnya Eusebius (253-339) melibatkan fluktuasi yang serupa menyangkut berbagai kitab. Di luar kitab-kitab yang sudah mendapat pengakuan luas, yang lain seperti Surat Ibrani, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yakobus, Yudas, dan Injil Ibrani (yang dipakai di Palestina), tidak dikenal ataupun dipakai secara luas di wilayah tertentu. Kitab Barnabas, Gembala Hermas, dan Didakhe yang diterima Origenes, oleh Eusebius dinyatakan “tidak asli”; begitu pula halnya dengan Kisah Paulus dan Apokalips Petrus. Beberapa tulisan lainnya, yakni Injil Petrus, Thomas, Matias (bukan Matius), Kisah Andreas, Kisah Yohanes, dan rasul-rasul lain dengan tegas digolongkan Eusebius sebagai karya-karya bidat!
Dalam sebuah surat Paskah yang dikirim kepada gereja-gereja di Mesir pada tahun 367, untuk pertama kalinya dalam sejarah kanon Perjanjian Baru, Athanasius mendaftarkan secara lengkap ke-27 kitab yang berstatus “kanonik” (“ta kanonizomena”): “Hanya dalam kitab-kitab ini, ajaran yang benar (“to tes eusebeias didaskaleion”: harafiah: ‘ajaran kesalehan’) diwartakan. Jangan seorang pun menambahnya; jangan ada yang dihilangkan daripadanya”. Kanon Athanasius kemudian mendapat pengakuan luas, antara lain, oleh Konsili Hippo (tahun 393) dan Konsili Kartago (397).
Kriteria yang Teramati dalam Kanonisasi
Harus diakui, uraian di atas telah menyederhanakan proses kanonisasi yang sebenarnya sangat rumit. Namun, apakah ada kriteria yang digunakan dalam proses kanonisasi yang berlangsung lambat laun? Sekurang-kurangnya ada tiga kriteria yang merupakan dasar untuk “menyaring” aneka ragam tulisan untuk masuk ke dalam kanon Perjanjian Baru:
- Sifat Rasuli (Apostolicity): Apakah tulisan tertentu berasal dari para rasul? Kriteria ini tentu tidak berlaku untuk Injil Markus dan Lukas, namun keduanya diyakini sebagai murid para rasul yang meneruskan ajaran rasuli.
- Sifat Umum (Catholicity): Apakah tulisan tertentu digunakan secara luas oleh gereja-gereja, atau setidaknya oleh sebagian besar gereja? Kriteria ini membatasi tulisan-tulisan gnostik yang memang tidak pernah digunakan dalam ibadah gereja di hampir semua tempat.
- Ajaran Sehat (Orthodoxy): Apakah tulisan tertentu sesuai dengan ajaran yang diterima gereja secara luas? Injil Petrus tidak lolos sensor karena dinilai mengandung unsur doketis. Menurut Injil ini, Yesus membisu saja ketika disalib, seolah-olah Dia tidak merasa sakit. Implikasinya, seperti pandangan doketis, Dia hanya kelihatan saja seperti manusia, padahal tidak.
Penutup
Jelaslah, proses kanonisasi tidak terjadi menurut salah satu kriteria saja, melainkan merupakan kesimpulan dari sebuah proses panjang yang melibatkan ketiga kriteria di atas. Ini pun harus disadari sebagai kesimpulan berdasarkan pengamatan yang terbatas mengenai faktor-faktor yang mungkin menerangkan suatu garis akhir dari perjalanan yang berlangsung ratusan tahun. Ketika konsili-konsili pada abad keempat dan selanjutnya menetapkan bentuk kanon Perjanjian Baru, penetapan ini menegaskan patokan yang diyakini gereja dengan bimbingan Roh Kudus, bahwa kitab-kitab itu mewartakan dan meneruskan ajaran Kristus melalui para rasul dan penerusnya. Kitab-kitab yang tadinya memiliki tujuan terbatas pun telah menjalani suatu ujian panjang melalui penggunaannya dalam ibadah dan pengajaran gereja. Tidak mengherankan jika begitu banyak kitab lainnya secara bertahap tersingkir dari proses penyisihan itu.
Oleh karena itu, walaupun secara prinsipil kanon tidak pernah dinyatakan “tertutup”, secara praktis, hampir bisa dipastikan, tidak ada tulisan lain dari masa kemudian yang dapat memenuhi bahkan hanya salah satu dari ketiga kriteria tadi. Tidak ada alasan mendasar yang mengharuskan umat Kristen pada masa kini meninjau ulang lagi keputusan para pengikut Kristus yang telah diambil dengan hati-hati.
Akhirnya, semua proses ini mengingatkan kita kepada dimensi rangkap Kitab Suci yang bersifat ilahi dan sekaligus manusiawi, seperti tabiat Tuhan yang diwartakannya. Di dalam teks-teks inilah kita mendengar suara-Nya untuk manusia kini.
—– Dituliskan oleh Anwar Tjen, Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia, melayani sebagai Konsultan Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia
— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008