Armand Barus :
Hidup Bagi Tuhan Bukan Alternatif

Seringkali, pelayanan melalui khotbah di mimbar dipandang lebih “rohani” ketimbang bentuk pekerjaan lainnya, seperti menyapu lantai. Kesan ini memang terekspresikan tanpa kita sadari, tetapi berakibat sangat serius terhadap kehidupan berjemaat dan bermasyarakat.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa pekerjaan “sekuler” bukan bagian dari iman Kristen. Karir yang ditekuninya sama sekali terpisah dengan “karir” sebagai murid Kristus. Para profesional sering merasa hidup di dua dunia, yakni dunia hari Minggu dan dunia hari Senin hingga Sabtu. Kedua dunia ini sama sekali tidak berhubungan, malah bertolak belakang. Tidak dapat dipastikan, apakah konsep ini yang menyebabkan para aktivis di gereja kebanyakan orang-orang yang mendekati pensiun.

Profesi acapkali dianggap sebagai jalan memperoleh uang sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan berbagai prinsip etika Kristen. Jika penghasilan dirasa sudah “berlebihan”, barulah disumbangkan ke gereja atau lembaga pelayanan Kristen lainnya sebagai “penebus dosa” ketika memperoleh uang itu. Tindakan menyumbang uang hanya sebagai pelarian atau cara untuk menutupi rasa bersalah. Dan inilah masalahnya. Motivasi mereka aktif di gereja semata-mata untuk mengendalikan gejolak rasa bersalah. Dengan demikian, kehidupan di gereja dan di luar gereja sama sekali tidak berhubungan.

Bila pola kehidupan seperti ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, dapat membutakan hati nurani. Manusia tidak dapat lagi membedakan tindakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Kepribadian yang terpecah ini tentu saja akan berakhir pada kehidupan yang tidak sehat. Akibat yang lebih parah, hal ini dapat mengganggu keseimbangan jiwa, di samping kehidupan rohani pun menuju proses disintegratif. Kalau sudah begini, persoalan-persoalan dalam hidup dapat mengikis imannya, antara lain meragukan kehadiran dan kedaulatan Tuhan.

Tetapi, pentingkah memiliki hidup yang integratif (utuh) di dunia yang disintegratif (terkotak-kotak) ini? Untuk menjawab pernyataan tersebut, Filipi 1:27-30 akan menjelaskannya.

Hidup dalam Kristus

Hidup dalam Kristus dimulai dengan beriman kepada-Nya. Iman tersebut timbul akibat berita Injil yang didengar (ayat 27). Iman yang didasari pada berita Injil tidak lahir begitu saja tanpa ada orang yang memberitakan Injil tersebut. Dalam pekabaran Injil, Allah tidak memakai malaikat. Ia justru memakai manusia-manusia yang lemah dan sering tidak taat. Maka, hanya mereka yang telah menghayati arti penebusanlah yang akan bersemangat dan bergairah menyaksikan pengalaman imannya kepada orang lain.

Meskipun demikian, keselamatan manusia tetap merupakan karya Allah, yang sepenuhnya merupakan inisiatif-Nya melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu beriman kepada Tuhan Yesus adalah karunia dari Allah (ayat 29).

Biasanya Paulus memakai kata beriman dalam bentuk lampau (lihat Roma 10:14; Gal. 2:16). Tetapi dalam ayat ini dipakai bentuk kata kerja present. Paulus ingin menegaskan bahwa beriman kepada Kristus merupakan peristiwa yang terus-menerus. Jadi, baik iman yang timbul pertama kali maupun yang ada terus, jelas merupakan pemberian Allah. Dengan kata lain, Allah terus berkarya di dalam hidup kita sejak pertama kali percaya kepada-Nya hingga kesudahannya. Ia yang memulai iman adalah yang juga terus memeliharanya.

Ada beberapa orang Kristen yang dapat menyatakan dengan tepat dan akurat tempat dan waktu pertama kali beriman kepada Yesus. Mereka dengan jelas merasakan perubahan yang nyata dalam hidupnya sebelum dan sesudah percaya. Namun cukup banyak mereka yang tidak dapat menjelaskan kapan dan di mana mereka beriman kepada Yesus. Bagi mereka itu lebih merupakan suatu proses ketimbang peristiwa sesaat. Tak perlu diperdebatkan, kapan dan di mana mereka beriman kepada Tuhan Yesus. Perubahan dan pembaharuan seluruh aspek kehidupannya sudah merupakan bukti iman.

Hidup dalam Kristus dan hidup bagi Dia merupakan titik awal iman seseorang kepada-Nya. Tanpa langkah pertama ini, seribu langkah di depan tidak akan punya makna. Mungkin saja orang aktif di gereja tanpa mengenal sama sekali siapa yang dilayani dan mengapa ia melayani. Tentunya kita merasa prihatin bila melihat umat Kristen yang demikian.

Hidup Berpadanan dengan Injil

Setelah mengingatkan jemaat di Filipi tentang karya dan perbuatan Allah, Paulus kemudian menjelaskan bahwa hidup bukan hanya pemberian Allah. Dengan kata lain, Allah terus berkarya di dalam hidup kita sejak pertama kali kita percaya kepada-Nya hingga kesudahannya. Ia yang memulai iman adalah yang juga terus memeliharanya. Tidak berhenti di sana. Manusia yang percaya perlu hidup bagi Tuhan. Inilah yang sering dilupakan oleh banyak umat Kristen. Tanpa menyadari hal ini, kita hanya akan memiliki kehidupan tidak sehat dan terkotak-kotak.

Banyak mereka yang sudah puas disebut orang Kristen dengan ciri seminggu sekali ke gereja. Padahal beribadah ke gereja hanyalah salah satu ekspresi hidup sebagai orang Kristen. Tetapi hidup bagi Kristus tidak terbatas pada hari Minggu saja. Tuhan kita juga harus menjadi Tuhan pada hari-hari lainnya, dalam segala aspek kehidupan; pekerjaan, keluarga, dan lain-lain.

Kemudian dalam teks ini Paulus juga menasihatkan umat Kristen untuk hidup berpadanan dengan Injil. Begitu pentingnya hal ini sehingga Paulus mengatakan, hanya inilah yang diperlukan. Ia tidak memberikan banyak nasihat. Satu saja yang dia tekankan, yakni hidup berpadanan dengan Injil. Ucapan ini berarti, setelah seseorang menerima Injil, ia harus hidup sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Injil.

Hidup berpadanan dengan Injil menuntut seorang Kristen untuk teguh berdiri dalam satu roh. Inilah ciri kehidupan warga kerajaan sorga. Penjelasan ini dipaparkan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi yang tercantum dalam pasal 1:27 hingga pasal 2:18.

Teguh berdiri dalam satu tujuan ditegaskan lagi oleh Paulus dalam pernyataan berikutnya, yakni supaya mereka sehati sejiwa berjuang untuk Injil, dan tidak gentar menghadapi “lawan-lawan” mereka yang menghambat (ayat 27-28). Dalam perjuangan tersebut mereka jangan goyah, tetap tenang meskipun menghadapi musuh saat mengabarkan Injil.

Dalam konteks ini, sehati sejiwa berjuang untuk Injil berarti memiliki komitmen bersama untuk bersaksi, apapun risikonya. Kata berjuang menggambarkan perjuangan seorang gladiator di gelanggang pertempuran, atau kombinasi antara kerja keras dan penderitaan. Tetapi apa pun maksudnya, penekanan Rasul Paulus jelas pada kata sehati sejiwa. Jemaat Filipi memerlukan kesatuan dan persatuan untuk memberitakan Injil. Tanpa kesatuan ini mereka tidak dapat berdiri teguh sebagai pengikut Yesus. Tanpa perjuangan ini mustahil Injil akan memberi makna dan pengaruh bagi masyarakat yang mendengarnya. Pekabaran Injil bukan usaha perorangan atau segolongan orang Kristen, melainkan upaya bersama seluruh jemaat.

Perlu juga disadari bahwa berdiri teguh harus diekspresikan dalam keesaan tujuan pekabaran Injil. Seorang profesional yang mengabarkan Injil tidak boleh lepas dari konteks jemaat secara keseluruhan. Kaum profesional adalah bagian dari umat Kristen yang terpanggil untuk memberitakan Injil Kristus bersama-sama dengan seluruh jemaat.

Kemudian, berdiri teguh dalam satu tujuan berarti tidak perlu gentar menghadapi musuh (ayat 28). Dituntut keberanian dalam memberitakan Injil. Kata digentarkan yang sering dipakai Paulus kerap digunakan untuk mengungkapkan kepanikan kawanan kuda yang mendadak lari tanpa tujuan dan tidak terkendali. Jemaat Filipi diimbau supaya tidak panik seperti kawanan kuda dalam menghadapi hambatan. Sebaliknya mereka harus tenang dan berani menghadapi para penentang Injil.

Hidup berpadanan dengan Injil berarti kita siap dalam menghadapi penderitaan, atau dengan kata lain kita harus rela menderita bagi Kristus. Penderitaan umat Kristen sebenarnya merupakan karunia Allah, karena menjadi Kristen bukan berarti kita tidak menderita lagi.

Umat Kristen yang teguh menyaksikan imannya berarti dia sedang hidup berpadanan dengan Injil, yang bukan hanya menjadi jalan keselamatan, tetapi juga merupakan norma dan aturan hidup umat Kristen. Dan hidup bagi Tuhan berdasarkan Injil itu bukanlah pilihan melainkan konsekuensi logis bagi orang yang telah dihidupkan-Nya.

Mengembangkan karier dalam pekerjaan baik di kantor atau di mana pun, merupakan bagian yang integral dalam membina karier sebagai murid Kristus. Kedua karier ini sangat berkaitan, ibarat tulang dan daging. Daging tanpa tulang akan menjadikan lemah dan tidak berbentuk. Sebaliknya, tulang tanpa daging akan tampak menakutkan.

Apa pun profesi atau keahlian kita, jelaslah bahwa hidup bagi Tuhan adalah imperatif (keharusan) dan bukan alternatif (pilihan). Melalui profesi yang sedang kita tekuni, kita dapat memuliakan Allah melalui ketaatan kita pada nilai-nilai Injil Kristus.


*Penulis adalah alumnus Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara dan Trinity Theological College, Singapura. Sekarang mengajar di STT Cipanas.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *