Herning Tyas Ekaristi:
Perempuan, Pemelihara Kehidupan

Sejarah adalah milik laki-laki. Ia bebas beraksi dalam panggungnya sendiri. Dan perempuan? Ia hanya bisa berdiri terpaku, menatap lakon panggung tersebut dari kejauhan saja. Lebih jauh lagi, perempuan tak jarang tak paham peran dan skenario apa yang sedang terjadi dalam panggung megah itu.
Lalu, Indonesia saat ini, apakah bisa dikatakan ia adalah milik perempuan juga? Atau hanya laki-laki saja yang bisa bermain peran dalam segala hal di Indonesia?
Bagi warga Indonesia, kue kesejahteraan belum dirasakan oleh semua kalangan. Kue itu hanya bisa dinikmati oleh warga yang dekat dengan kekuasaan yaitu warga yang tinggal di ibukota kita, Jakarta. Seharusnya, potongan kue itu bisa dicecap oleh seluruh warga Indonesia, baik dari wilayah Barat hingga di ujung Timur di kawasan Papua.
Bila dibandingkan, kawasan Indonesia Timur sangat jomplang keadaannya dengan segala kemewahan sarana dan prasarana yang ada di Jakarta. Ditilik dari sektor apa pun—entah itu pendidikan, akses terhadap informasi, ekonomi, apalagi layanan kesehatan—sangat jauh tertinggal. Saya yang sudah hampir tiga setengah tahun menginjak daerah Nusa Tenggara Timur ini menjadi orang yang dari dekat bisa menyaksikan ini semua. Getir.
Sikka adalah kabupaten yang sedang berkembang, jika dilihat dari segi ekonomi dan pariwisatanya. Namun, di lain sisi, masih banyak perempuan yang menjadi korban ketidakadilan sistem. Masih banyak perempuan korban pelecehan seksual dan kekerasan domestik, perempuan yang tidak diikutsertakan dalam pembicaraan adat walaupun pembicaraan itu secara langsung menyangkut dirinya, perempuan yang dalam sebuah pertemuan masih sekedar simbol karena pendapatnya kurang dihargai, perempuan yang harus mengalah harus berhenti sekolah ketika ia sudah mendapat komuni suci Katolik, perempuan dengan peran ganda yaitu menggarap kebun pun mengurus rumah dan tentunya perempuan yang mengalami gizi buruk ketika ia hamil.
Salah satu permasalahan yang ada di Kabupaten Sikka—tempat saya berkarya sekarang—adalah banyaknya balita dan ibu hamil yang menderita gizi buruk. Beberapa penyebabnya adalah kurangnya asupan makanan, penyakit infeksi seperti cacingan dan malaria, budaya, rendahnya pendidikan, dan kurangnya akses dalam perekonomian. Memang dibutuhkan berbagai lintas sektor untuk mengatasi hal ini. Pendidikan dan rendahnya pengetahuan akan Angka Kecukupan Gizi menjadi salah satu jawaban. Perempuan di Sikka ini sebagian besar berpendidikan terakhir di bangku Sekolah Dasar saja.

Perempuan Sikka: sekedar simbol
Inilah potret buram tentang perempuan yang ada di Sikka ini. Laki-laki masih memegang peran utama dan cenderung dominan. Dalam struktur politik saja, perempuan masih sekedar simbol. Percaya atau tidak, saat ini di DPRD Kabupaten Sikka hanya ada dua perempuan dengan total anggota sebanyak 30 orang. Padahal jumlah perempuan lebih besar daripada laki-laki. Ironis. Apakah itu cukup mewakili semua perempuan yang ada di Sikka ini? Mengapa penting bagi perempuan untuk terlibat menjadi si pembuat keputusan? Karena hanya perempuanlah yang bisa memahami apa yang ia alami sehingga ia lebih mendalami dan menjawab apa yang menjadi kebutuhan kaumnya. Misalnya tentang kesehatan, reproduksi, pelecehan seksual, kekerasan domestik, harga kebutuhan pokok, dan lain-lain. Itulah sebabnya, bila perempuan ada sebagai si pembuat keputusan, ia bisa mencegah segala keputusan yang tidak berpihak padanya.
Perempuan adalah pemelihara kehidupan. Perempuan adalah manusia yang diberkati dan yang dipercayakan oleh Tuhan sebagai subjek di mana Tuhan menenun manusia kecil di rahimnya. Apa yang akan terjadi bila perempuan kurang mendapat lakon dan peran dalam sebuah siklus kehidupan ini?

Siti Joleha Fatagar
Di sebuah desa terpencil, yaitu Desa Nenbura, Kabupaten Sikka, ada seorang perempuan yang memiliki karya nyata untuk memajukan kondisi desanya. Siti Joleha Fatagar namanya. Perempuan paruh baya kelahiran Kokas, Papua Barat ini sudah lama tinggal di Sikka yaitu sekitar 20 tahun, dan sejak saat itu ia menjadi kader Posyandu. Ketika suaminya, Petrus Mahin menjadi Kepala Desa, ia pun mendapat peran tambahan sebagai Ibu Desa. Artinya, ia harus menjadi panutan dan teladan bagi warga desa utamanya kader Posyandu yang lain.
Pengalaman nyata tentang anak bungsunya inilah yang membuatnya terus berkarya menjadi kader Posyandu. Saat itu, ia hampir kehilangan anaknya karena anaknya lahir dengan berat badan rendah. Ia tidak menyerah. Ia memerah ASI dan meminumkan ke anaknya dengan sendok sedikit demi sedikit sampai anaknya pulih dan berat badannya naik. Dan dengan kasih sayang seorang ibu, kini Edwin—nama anak itu—bisa tetap ceria dan sehat hingga saat ini. Meskipun sebagai kader Posyandu, ia hanya dibayar Rp.300.000,- per tahun, ia tetap memiliki hati untuk membantu warga desanya.
Kebanyakan penduduk Sikka masih memelihara pire—semacam pantangan untuk ibu hamil untuk makan sesuatu. Misalnya, larangan makan sayur daun katuk, daging ayam, telur dan ikan untuk perempuan yang sedang hamil. Padahal jenis makanan inilah yang sangat diperlukan bagi ibu hamil untuk memenuhi gizi bagi bayi yang dikandungnya.
”Kita, perempuan seringkali berada dalam posisi yang lemah. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan akan kesehatan dan bagaimana cara meningkatkan gizi keluarga di desa inilah yang membuat saya tergerak untuk memotivasi perempuan-perempuan yang ada di desa ini”, ujar Siti. Siti sadar bahwa di tangan perempuan lah, generasi penerus bangsa ini akan lahir. Mulailah ia menanam bibit sayuran (terong, tomat, paria, kangkung, pepaya, sawi hijau, bayam, kacang panjang, dll) di kebun pekarangan rumahnya dibantu oleh suami dan anaknya. Perlahan, upayanya ini mendapat perhatian dari tetangganya. Siti pun dengan senang membagi bibit sayurnya dan mengajari mereka bagaimana cara menanam sayur. Dengan ini, Siti percaya gizi keluarga akan membaik.
Ia pun berkeliling ke setiap Posyandu di desanya untuk mengukur berat badan bayi, memberikan sosialisasi tentang pentingnya Angka Kecukupan Gizi, dan mengorganisir pemberian makanan tambahan bagi bayi penderita gizi buruk yang ada di Posyandu-Posyandu di desa tersebut. Dalam waktu tiga bulan, warga Nenbura melihat ada perubahan pada gizi bayi dan ibu hamil penderita gizi buruk.
Siti menjadi sosok nyata bahwa perempuan bisa berkarya walaupun dengan cara yang sederhana. Ia menjadi pemelihara kehidupan bagi ketiga anaknya. Ia menjadi pemelihara kehidupan bagi bayi dan ibu hamil penderita gizi buruk yang ada di desanya. Ia menjadi pemelihara kehidupan bagi generasi bangsa ini.
Kisah ini seharusnya membuka mata kita bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Bahkan, perempuan lebih peka terhadap hal-hal yang dianggap sepele oleh laki-laki. Tuhan menciptakan perempuan sepadan dengan laki-laki. Sebagai pendamping, perempuan tentu saja memiliki perannya sendiri, bukannya tanpa peran. Mari berikan kesempatan dan motivasi bagi perempuan untuk duduk sejajar dalam pembuatan keputusan. Mari berikan apresiasi kepada perempuan, sang pemelihara kehidupan!
*Penulisa adalah Herning Tyas Ekaristi, S.So, Saat ini melayani di Wahana Visi Indonesia ADP Sikka, 

**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *