Victor M. Sagala:
Monogami

“Bagaimana ajaran Alkitab tentang pernikahan? Haruskah monogami? Bukankah di dalam Alkitab dengan jelas kita lihat persetujuan Alkitab tentang poligami? Lihat saja misalnya Abraham, Musa, Daud, dan Salomo. Bahkan Salomo sendiri memiliki 700 istri dan 300 gundik (1 Raja 11:3),” demikian tanya seseorang.

Sebelum kita masuk ke masalah tersebut di atas, baiklah kita lihat dahulu konsep pernikahan menurut ajaran Alkitab. Charles Hodge, seorang teolog besar abad lampau, menulis, “Marriage is a compact between one man and one woman to live together, as man and wife, until separated by death” (Systematic Theology, Vol. 3, Hal. 380). Selain itu, Norman L. Geisler, seorang teolog Injili abad ini, dalam bukunya menulis, “Marriage is a lifelong commitment between a male and a female that involves mutual sexual rights” (Christian Ethics, hal. 277).

Dari kedua pandangan di atas, dapat kita lihat beberapa hal. Pertama, pernikahan Kristen terdiri dari seorang pria dan seorang wanita (kita akan membahas ini lebih lanjut).

Kedua, pernikahan Kristen bersifat heteroseksual, bukan homoseksual. Karena itu, berbagai teori yang diberikan untuk membenarkan pernikahan homoseksual harus kita tolak dan buang jauh-jauh. Alkitab, baik Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB), menolak hubungan homoseksual dan menghukumnya. Sejak awal, Alkitab sudah mengatakan bahwa pernikahan Kristen hanya antara laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan (Kejadian 2:24). Kejadian Sodom dan Gomora (Kejadian 19:1-9) memperingatkan kita akan hukuman Allah terhadap dosa homoseksual. Rasul Paulus juga menyebut dosa ini sebagai hukuman Allah, di mana Allah telah menyerahkan mereka kepada keinginan mereka sendiri (Roma 1:26-27). Hal ini perlu kita tegaskan lagi karena nampaknya dosa ini dimunculkan lagi akhir-akhir ini dan sepertinya semakin diterima oleh kelompok tertentu.

Ketiga, pernikahan Kristen merupakan komitmen seumur hidup yang hanya dapat dibatalkan oleh kematian dari salah satu pihak. Ikatan suami istri tidaklah bersifat kekal, tetapi merupakan ikatan sepanjang hidup. Alkitab menjelaskan bahwa relasi di surga kelak adalah seperti malaikat-malaikat, tidak kawin dan tidak mengawinkan. Kita tidak menganut ajaran Mormon yang menganggap ikatan suami istri bersifat kekal. Lalu bagaimana dengan masalah monogami (Yunani, mono = satu, gameo = menikah)?

Sebagaimana telah disinggung di atas, ada orang yang mempertanyakan masalah keharusan monogami dan mulai membenarkan poligami (poli = banyak). Memang benar, nampaknya PL menyetujui pernikahan secara poligami atas dasar beberapa hamba Allah yang melakukannya. Kenyataannya bahwa Abraham – seorang bapak orang beriman – dan Daud – seorang raja yang diperkenankan Allah – berpoligami nampaknya menjadi dasar yang kuat untuk menyatakan bahwa Alkitab menyetujui poligami.

Bagaimana sesungguhnya? Jika kita kembali kepada Alkitab, yang adalah firman Allah, maka sebenarnya sejak dari awal Alkitab mengajarkan monogami. Pernikahan merupakan inisiatif Allah. Allahlah yang pertama kali mendirikan institusi pernikahan yang secara jelas bersifat monogami. Demikianlah Allah berfirman: “Sebab itu seorang laki-laki (Adam) akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (Hawa). Sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Ajaran monogami ini kemudian dipertegas ulang oleh Allah kepada Musa ketika Allah berfirman, “Juga janganlah kamu mempunyai banyak istri” (Ulangan 17:17). Yang menarik ialah, bahwa Salomo sendiri yang memiliki 700 istri dan 300 gundik, dalam Amsalnya ternyata memiliki pandangan (ideal) monogami (satu istri). Salomo menulis, “Istri (bukan istri-istri) yang cakap adalah mahkota suaminya” (Amsal 12:4). “Istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan” (Amsal 19:14b). Dia bahkan memberikan pujian secara khusus kepada istri yang baik dalam Amsal 31:10-31.

Jadi, kegagalannya untuk mentaati ajaran Alkitab tentang monogami tidak membuatnya menurunkan ajaran Allah dan membatalkannya. Sebaliknya, dia meneguhkannya.

Perlu diperhatikan bahwa apa yang dicatat dan dilaporkan oleh Alkitab belum tentu merupakan ajarannya, atau sesuatu yang disetujuinya. Jadi, itu tidak berarti Alkitab memerintah Abraham dan Daud menikah lebih dari satu kali. Itu juga tidak berarti Alkitab menyetujuinya, sama seperti Alkitab tidak memerintahkan Abraham berbohong dan Daud berzinah.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa PL memberikan perbedaan hak antara istri yang sah dengan yang tidak (termasuk gundik). Istri yang sah memiliki hak penuh di rumah, tidak demikian istri kedua atau gundik. Itulah sebabnya Sarah berhak mengusir Hagar dari rumahnya ketika terjadi konflik di antara mereka (Kejadian 16:4-6).

Ajaran monogami ini diteruskan dan dipertegas dalam PB. Tuhan Yesus ketika ditanya oleh orang-orang Farisi tentang perceraian dan hal menikah, Ia menegaskan lagi, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: ‘Sebab itu laki-laki (tunggal) akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (tunggal)’ (Matius 19:4-5).”

Nampaknya orang-orang Farisi salah mengartikan ajaran Musa, seakan-akan Musa menyetujui poligami. Namun Tuhan Yesus menegaskan doktrin Musa bukanlah poligami, tetapi monogami. Yesus menafsirkan kelonggaran yang diberikan Musa untuk memberi surat cerai kepada orang yang menceraikan istrinya semata-mata karena ketegaran hati orang-orang Farisi. “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8).

Rasul Paulus dalam surat-suratnya juga menegaskan konsep monogami. Kepada jemaat di Korintus, dia menulis, “… baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). “Seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya hidup …” (Roma 7:2). Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Rasul Paulus yang menegaskan bahwa penilik jemaat haruslah seorang yang tidak tercela, yaitu suami dari satu istri.

Benar, bahwa ada penafsiran yang melihat ayat tersebut justru menyatakan fakta poligami di dalam gereja saat itu. Menurut mereka, karena fakta poligami inilah Rasul Paulus menyebut secara khusus bahwa menjadi penilik jemaat haruslah suami dari satu istri. Di pihak lain, poligami adalah wajar bagi anggota jemaat, tetapi untuk penilik tidak.

Terus terang kami berbeda dengan penafsir ini dan melihat cara menafsir yang terlalu sembarangan. Kami melihat bukan karena hal poligami wajar dalam jemaat, maka Paulus menyebut kriteria seperti di atas. Justru sebaliknya yang terjadi.

Penilik jemaat haruslah menjadi teladan monogami inilah yang terus menerus diikuti oleh bapak-bapak gereja dari abad ke abad, demikian juga oleh jemaat pada umumnya.

Bila ada di antara anggota jemaat yang gagal mengikutinya, itu adalah fakta kegagalan yang terjadi dan mereka jalani sebagai realita hidup. Seperti itu bukanlah impian dan kerinduan mereka. Dengan perkataan lain mereka terpaksa menerima kenyataan tersebut. Karena itu, biarlah pernikahan monogami tetap menjadi doa dan kerinduan kita. Biarlah dalam anugerah-Nya yang ajaib kita menjalani monogami dan bersyukur serta bangga atas-Nya.

Sebagai penutup, kita sependapat dengan Charles Hodge yang mengatakan, “Monogamy has its foundation in the very constitution of our nature. Polygamy is unnatural, and necessarily destructive of the normal, or divinely constituted relation between husband and wife.” Ya, poligami secara teologis merusak. Tetapi dari segi sosiologis, ekonomis, dan psikologis, poligami sungguh merusak! Karena itu sebagaimana Geisler, kita menegaskan, “Thus polygamy was expressly forbidden. And it is always forbidden.

************

*Dituliskan oleh Victor M. Sagala, Staff Perkantas Lulusan Trinity Theological College, Singapura.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *