Andi Halim:
Etika Situasi VS Etika Kristen

Problem Etika

Dalam film The Hiding Place, terjadi banyak kasus penyembunyian orang-orang Yahudi dari kejaran tentara Hitler. Tentu bila diperiksa, pemilik rumah tidak mungkin mengaku bahwa ia telah menyembunyian orang-orang Yahudi itu. Mereka berbohong, demi melindungi jiwa-jiwa yang terancam dibunuh. Salahkah pemilik rumah itu? Bukankah mereka justru dapat dipandang sebagai pahlawan?
Seorang sekretaris menerima telepon dari seseorang yang ingin berbicara kepada bosnya. Namun bosnya, menolak berbicara kepada orang tersebut. Ia menyuruh sekretarisnya untuk mengatakan, dia tidak ada. Sekretaris ini menjadi bingung. Berkata jujur dengan mengatakan bahwa bosnya ada dikantor, tapi tidak mau bicara, atau taat pada perintah bos, meski harus menipu?

Buku ganda (double book) sering dianggap sebagai sesuatu yang normal untuk semua perusahaan. Namun bukankah hal tersebut termasuk kategori penipuan? Bila tidak menipu, perusahaan akan bangkrut. Bila menipu, berarti melanggar perintah Allah. Bagaimana seandainya kita menjadi pegawai pembukuan diperusahaan tersebut? Ada yang berpendapat itu tidak masalah, karena yang menghendaki demikian adalah perusahaannya. Kita hanya melaksanakan tugas yang diberikan. Benarkah pendapat demikian? Tetapi apakah mungkin ada perusahaan yang sedikitpun tidak pernah melakukan penyimpangan dan selalu jujur seratus persen?

Bukankah peristiwa dalam film The Hiding Place mirip dengan peristiwa Rahab yang menyembunyikan para pengintai? (Yoh 2:4-5, bandingkan 2 Sam 17:18-21). Bukankah kondisi lingkungan yang makin menjepit, membuat kita yang hidup pada zaman ini seringkali menjadi “tidak berdaya” dan melakukan “kompromi-kompromi”? Bukankah posisi sulit seperti yang dialami Naaman (2 Raj 5:15-19) ketika harus mendampingi raja masuk ke kuil Rimon, benar-benar kasus yang sering kali terjadi pada zaman kita?

Di pihak lain, bukankah para pengkotbah teoritis saat ini bagaikan katak dalam tempurung yang tidak tahu realita zaman ini dalam dunia bisnis, politik, sosial, budaya, iptek dan sebagainya, sehingga apa yang dikotbahkan di atas mimbar sulit diterapkan di dunia ini. Pemikiran-pemikiran seperti di atas merupakan salah satu penyebab lahirnya Etika Situasi.

 

Etika Situasi

Tokoh yang menonjol dalam memperkenalkan Etika Situasi adalah Joseph Fletcher, yang menulis buku Situation Ethic, The New Morality (1966)

Etika Situasi mencari dukungan Alkitab dan memakai patokan kasus-kasus khusus dalam dunia realita. Sepintas, Etika Situasi dapat dinilai sebagai Etika Kristen dan akan dengan cepat dapat diterima oleh generasi saat ini kerena sangat sesuai (up to date) dengan kebutuhan yang ada. Etika Situasi hadir bagaikan malaikat yang membawa angin segar di tengah-tengah dunia yang sedang menanti datangnya seorang “pahlawan”, yang dapat memberi jawaban jitu di tengah-tengah keadaan putus harapan.

Prinsip utama dari Etika Situasi adalah kasih. Etika Situasi menilai kasih mengalahkan segalanya, bahkan hukum pun menjadi tidak berarti lagi. Dengan demikian Etika Situasi membedakan dirinya dengan Legalisme. Legalisme dinilai sebagai gaya hidup yang sempit dan munafik, mewakili sekelompok orang yang mementingkan agama dan hukum-hukumnya, seperti orang Farisi dan Ahli Taurat.

Menurut Etika Situasi sikap yang hanya berlandaskan terhadap hukum-hukum, adalah sikap-sikap yang tidak benar. Etika Situasi menilai Etika Hukum sebagai legalisme yang mengajar orang hidup kaku seperti robot. Tidak ada fleksibilitas sama sekali. Misalnya masalah abortus. Legalisme menganggap abortus adalah pembunuhan. Kaum legalis mati-matian menolak abortus tanpa perkecualian apapun, termasuk kasus pertumbuhan janin diluar kandungan, yang mengakibatkan pendarahan hebat dan membahayakan nyawa sang ibu.

Etika Situasi juga menganggap dirinya masih lebih baik dari Antinomianisme. Antinomianisme dianggap sama sekali tidak bermoral, sedangkan Etika Situasi justru menganggap nilai moral mereka paling tinggi dan tepat dibanding semua bentuk etika yang lain.

 

Dasar pemikiran Etika Situasi

Etika Situasi menilai, Tuhan Yesus pun mengajarkan sikap yang fleksibel. Salah satu contoh yang seringkali dipakai adalah perlakuan Tuhan Yesus terhadap perempuan yang ketahuan berzinah (Yoh 8:2-11), Menurut hukum, perempuan ini harus dirajam dengan batu, namun ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak menghukum perempuan tersebut. Etika Situasi menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus telah mengabaikan hukum karena kasih, bahkan penganut sistem nilai ini berpendapat bahwa Yesus tidak menyalahkan perzinahan tersebut.

Contoh lain yang diambil antara lain, tindakan Tuhan Yesus yang berani menyembuhkan orang dan mengizinkan murid-muridNya untuk mencari gandum pada hari Sabat. Padahal Tuhan Yesus telah ditegur dan dianggap melanggar hukum Taurat oleh Farisi dan ahli Taurat (Mat 12:1-8, 10-14).

Pengikut Etika Situasi menafsirkan kata-kata Tuhan Yesus dalam Mat 12:8 (Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat) mengandung ajaran, bahwa tidak ada hukum (apapun hukumnya) yang mutlak harus ditaati. Penafsiran atas sikap Tuhan Yesus seperti inilah yang menjadi salah satu patokan ajaran Etika Situasi.

Di zaman Hitler, pernah terjadi satu kasus sepasang suami istri dipenjara secara terpisah. Karena kesalahan suaminya dianggap lebih ringan, si suami dibebaskan, sedang istrinya tetap di penjara. Ketika suami dan anaknya berkunjung ke penjara berulang kali muncullah niat besar si ibu untuk keluar dari penjara. Hatinya sangat sedih karena harus berpisah dengan keluarganya, dan berat hati melihat suami dan anak-anaknya hidup tanpa kehadiran seorang ibu (istri) di rumahnya. Untuk lari dari penjara jelas tidak mungkin. Namun ada dua syarat seorang boleh keluar dari penjara setempat, yaitu saat orang tersebut sakit keras atau saat akan melahirkan.

Menghadapi pilihan yang sulit ini, akhirnya ibu ini mengambil pilihan yang ke dua karena jelas lebih aman dibanding yang pertama. Bagaimana caranya? Ia mengajak penjaga penjara untuk melakukan persetubuhan dan ia pun hamil. Ketika akan melahirkan, ibu ini boleh pulang dan berada bersama-sama keluarganya. Bagaimana sambutan suaminya? Bukankah istrinya telah berzinah dan melanggar perintah Tuhan?

Etika Situasi justru menilai perempuan ini sebagai seorang pahlawan. Karena ia justru rela mengorbankan tubuhnya demi keluarga, dan melakukan hal tersebut berdasarkan kasih kepada keluarganya.

 

 

 

Kelemahan Etika Situasi

Apakah semua analisa Etika Situasi tersebut dapat dibenarkan? Jika dilihat sepintas Etika Situasi memang tepat untuk orang-orang zaman modern ini. Namun sebenarnya Etika Situasi merupakan salah satu bentuk produk manusia berdosa yang ingin menghindar dari tanggung jawab dan berusaha mencari alasan untuk membenarkan diri (excuse himself) dalam keberdosaannya.

Etika Situasi menganggap manusia zaman ini telah dewasa. Manusia tidak perlu diperlakukan sebagi anak-anak, seperti yang diterapkan oleh para legalis. Seorang teolog pernah mengatakan, Etika Situasi memang cocok bagi orang dewasa. Sayangnya, manusia tidak pernah kunjung dewasa.

Etika Situasi sebenarnya bukanlah Etika Kristen, melainkan etika yang “membonceng” pada kekristenan. Ini dapat dilihat saat Etika Situasi menggunakan (mengutip) ayat-ayat dalam Alkitab, mereka tidak melihat konteks dan makna sebenarnya. Jelas ini menunjukkan sikap tidak menghargai Alkitab itu sendiri.

 

Tokoh Alkitab Mengambil Keputusan Etis

Alkitab dengan tegas menyatakan, bahwa meskipun telah dikuduskan, kita tetap manusia terbatas dan tercemar oleh dosa (1 Yoh 1:8-10). Sedangkan Tuhan Yesus adalah Allah Pencipta yang menjadi manusia (Yoh 1:1, 14). Manusia tidak akan pernah menjadi Allah, tetapi telah dibenarkan dan masuk dalam proses pengudusan yang dilakukan oleh Roh Kudus (Rom 6:22; 2 Kor 3:18; 4:16). Tuntutan bahwa kita harus hidup seperti Tuhan Yesus hidup (1 Yoh 2:6), bukan berarti kita akan sederajat dan sama dengan Dia, melainkan kesempurnaan Tuhan Yesus merupakan patokan bagi proses perubahan hidup kita dari hari ke hari.

Tidak ada satu pun tokoh dalam Alkitab (kecuali Tuhan Yesus) yang tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Kalaupun ada, tidak berarti ia tidak punya dosa dan kelemahan (Rom 3:10-12; 23, 7:18; 8:22-26; 2 Kor 5:2-9). Naaman adalah salah satu contoh kasus, bagaimana sulitnya mengambil keputusan yang tepat dalam kondisi tertentu sehubungan dengan imannya. Ia seorang panglima Aram, menyaksikan imannya di hadapan Elisa, bahwa di dunia ini tidak ada Allah kecuali Allah Israel, dan ia tidak akan beribadah kepada allah lain, selain Allah Israel (2 Raj 5:15-19). Tetapi ada kesulitan besar yang Naaman hadapi. Sebagai panglima ia wajib mendampingi raja kemana pun, termasuk ke kuil Rimon untuk menyembah dewa. Ia memang telah menyatakan kesulitannya dihadapan Elisa, dan ia mohon Tuhan mengampuni. Apakah Naaman kompromi? Jelas tidak, karena itu Elisa sebagai nabi Allah tidak mengutuki Naaman. Sebaliknya ia mengatakan, “pergilah dengan selamat!” (2 Raj 5:19).

Naaman telah terlatih mengambil sikap dengan pemikiran yang matang (tidak emosional). Ia tidak mengambil keputusan untuk segera melepaskan jabatannya sebagai panglima raja ketika ia mulai percaya Tuhan. Ia juga tidak langsung mengutuki tempat raja menyembah dewanya, atau memusnahkan kuil tersebut. Naaman tetap mau menjadi saksi di tengah-tengah lingkungan kerajaan. Namun kesaksiannya tersebut tidak mungkin berpengaruh dalam sekejap, kecuali memang rencana Tuhan sendiri untuk mengadakan perubahan drastis.

Kasus Naaman berbeda dengan Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, berbeda dengan kasus Gideon, berbeda pula dengan tokoh-tokoh iman lain dalam Alkitab. Kasus Daniel dan tiga orang kawannya merupakan salah satu contok bentuk intervensi langsung pekerjaan Allah secara supra natural dalam sejarah manusia. Melalui mereka Allah menyatakan kepada penguasa kerajaan, bahwa Ia sanggup mematahkan segala kuasa yang ada di dunia.

Meskipun demikian kita pun harus tahu, bahwa Daniel, Sadrakh, Mesakh, Abednego, Naaman, dan Ezra dalam masa pembuangan adalah tawanan. Keahlian, kemampuan dan tenaga mereka dipakai untuk kepentingan pembangunan kerajaan penjajah waktu itu. Kesulitan sehari-hari memang tidak dinampakkan dengan jelas dalam kitab Daniel, kecuali “perkara besar” yang mereka. Yang jelas ada banyak kesulitan untuk menerapkan iman dalam praktek hidup dan lingkungan sehari-hari.

Demikian pula dengan segala problem etika yang kita hadapi sekarang ini. Tidak ada satu pun manusia yang dapat mengatakan bahwa ia telah mengambil keputusan etis dengan tepat dan sempurna, tanpa cacat. Alkitab mengajar kita supaya kita tidak larut dan menjadi sama dengan dunia ini. Kita memiliki status sebagai anak Allah, yang sedang diproses agar semakin kudus menuju penggenapan keselamatan yang sepenuhnya (Rom 6:22; 1 Kor 13:12; 2 Kor 5:1-5).

 

Dipanggil ke Dunia

Dapatkah kita hidup di dunia ini sempurna dalam arti sama sekali tidak berbuat dosa, kelemahan dan keterbatasan? Jelas tidak! Lalu apakah kita pesimis saja di dunia ini? Juga tidak! Iman Kristen bukanlah iman yang mandek, melainkan iman yang senantiasa mempunyai pengharapan menuju kesempurnaan (Rom 5:2-11). Bahwa kita tidak boleh larut di dunia ini, bukan dalam artian tidak bercacat dan harus sempurna dalam segala hal, melainkan tidak boleh mengikuti nilai-nilai dunia yang sudah tercemar oleh dosa. Pada prakteknya orang-orang Kristen harus mengalami suaru proses pembaharuan terus menerus yang semakin meningkat (progressive).

Pada kasus-kasus yang terjadi di dunia saat ini, apakah ada tempat tanpa dosa dan kekurangan serta keterbatasan? Di manakah kita dapat bekerja di tempat yang benar-benar suci? Sangat naif jika kita selalu mencari tempat suci untuk kenyamanan kerja. Perlu dipertanyakan, apakah hidup orang-orang Kristen hanya untuk mencari ketenangan bagi dirinya sendiri?

Memang kita bukan orang yang sengaja mencari pekerjaan yang jelas-jelas merusak dan bertentangan dengan kehendak Allah, misalnya bekerja di tempat pelacuran, mafia, penyelundupan dan pemalsuan serta berbagai jenis kejahatan lainnya. Namun kita harus melihat kenyataan, bahwa di mana pun di dunia ini tidak ada yang sempurna.

Justru keberadaan tersebut harus menjadi tantangan bagi umat Kristen zaman ini, agar dapat tetap menyatakan iman dan membawa pengaruh positif bagi lingkungan. Melihat dunia yang sedang rusak ini kita tidak diminta meninggalkannya, atau sebaliknya mengubahnya dalam sekejap. Tanggung jawab kita adalah terlibat dalam proses memperbaiki kehidupan di dunia sesuai visi dan panggilan Allah melalui profesi/pekerjaan kita.

Selain itu, umat Kristen di Indonesia perlu mengantisipasi masalah-masalah aktual seperti demokrasi, sistem manajemen dan administrasi kenegaraan, perpajakan, monopoli, persaingan tidak sehat, izin usaha, pungutan liar, jalur tol, korupsi, kesenjangan sosial dan sebagainya. Kita perlu bersatu mewujudkan sistem yang tepat dalam berbangsa, bermasyarakat dan bernegara dalam terang Firman Allah. Misalnya dan para ekonom Kristen di Indonesia perlu bergandeng tangan. Bukan supaya usahawan Kristen memperoleh keuntungan lebih besar bagi kepentingan kelompknya melainkan agar usaha bisnis di Indonesia benar-benar dapat dijalankan sesuai dengan kebenaran. Untuk mencapai hal ini memang dibutuhkan laboratorium penelitian, uji coba suatu sistem. Untuk melakukan hal itu memang mutlak harus ada pengorbanan, baik tenaga, waktu dan biaya, bila semuanya akan dikerjakan secara profesional.

Barangkali kita berpikir, mencari nafkah untuk diri sendiri saja sudah sangat sulit mengapa harus memikirkan hal muluk yang tidak ada pautnya dengan kepentingan pribadi?

Di sinilah letak permasalahannya. Bila umat Kristen merasa sudah puas asal dirinya tidak dirugikan, aman dan tentram, mereka sama sekali belum mengerti panggilannya. Sama halnya jika orang Kristen hanya mampu berkoar di gereja atau kelompok persekutuan tanpa terlibat langsung, untuk apa menyandang nama Kristen?

Perlu kita ingat bahwa salah satu latar belakang lahirnya Etika Situasi adalah karena ketidakmampuan umat Allah menjawab tantangan dunia. Etika Situasi ingin menjadi “pahlawan” di zamannya. Sayangnya, Etika Situasi bukanlah pahlawan sejati. Etika Situasi ingin memberi jawaban bagi dunia, namun jawaban tersebut merupakan usaha membenarkan dan memaafkan diri sendiri dalam perbuatan dosa manusia. Inilah salah satu kegagalan umat Kristen mengatasi problema pribadi dan kelompoknya. Orang Kristen zaman sekarang tidak suka belajar secara mandiri untuk melengkapi diri, bertumbuh, menghayati dan menerapkan firman Allah serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu umat Kristen yang tujuan hidupnya tidak jelas, sulit menjadi saksi dan berkat bagi dunia. Seharusnya kita mempunyai motto: “Di mana saya berada, di situ saya harus membawa pengaruh dan perubahan”. Tentunya dalam arti membawa pengaruh dan perubahan yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kehadiran orang Kristen si zaman ini memberikan jawaban yang dibutuhkan bagi dunia?

 

Penulis adalah Dosen Universitas Kristen Petra, Surabaya dan Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jawa Timur.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *