Robert D. Orr, David L. Schiedermayer, dan David B. Biebel:
Euthanasia

Jennie berusia 48 tahun, saat menemukan benjolan di payudaranya. Hasil patologi menunjukkan, kanker itu sangat ganas dan telah menyebar ke kelenjar getah bening. Beberapa bulan kemudian, Jeannie mengalami sakit punggung yang luar biasa. Kankernya telah menyebar ke tulang belakang, lever dan paru-paru. Berat badannya turun drastis. Ia sangat depresi, dan membutuhkan suntikan morfin dalam dosis yang semakin besar. Sam –suaminya- suatu hari berkata, “Dokter, meski saya merasa bersalah, tetapi dapatkah Anda memberikan suntikan morfin dengan dosis lebih banyak lagi bagi Jeannie? Ia telah lama menderita. Biarlah ia segera terbebas!”. Orang-orang di sekitar Jeannie ikut menderita. Dokter pun sudah angkat tangan. Dengan keadaan berat, semua telah siap akan kepergian Jeannie.

Euthanasia

Pengalaman diatas merupakan salah satu contoh Euthanasia. Kata Euthanasia berasal dari kata Yunani, yakni Eu (well) berarti baik atau enak dan thanatos (death) berarti kematian. Secara umum euthanasia diartikan kematian yang mudah/enak (a good death atau an easy death). Euthanasia disebut juga mercy killing yaitu tindakan yang bertujuan mengakhiri hidup seseorang dengan alasan belas kasihan. Tindakan ini banyak dilakukan pada penderita kanker. Misalnya, suami memberikann obat penenang yang berlebihan kepada isterinya yang mengerang-erang akibat kanker tulang. Euthanasia yang dilakukan pada manusia hampir sama seperti dalam ilmu kedokteran hewan. Bila hewan peliharaan mengalami kesakitan yang parah, maka dokter akan menyuntik untuk mengakhiri penderitaannya. Hal ini juga yang muncul dalam benak Sam, ketika memohon kepada dokter untuk mengakhiri penderitaan Jeannie, istrinya. Ia bertindak untuk membebaskan penderitaan dan mempercepat kematian Jeannie.

Tindakan euthanasia ini dibagi dua, yaitu euthanasia aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan fatal yang disengaja dan dipertimbangkan secara matang yang menimbulkan kematian langsung. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan yang membiarkan pasien mengalami kematian alami dengan cara tidak memberikan pengobatan apapun atau mencabut peralatan medis yang sedang dikenakan kepadanya.

Gerakan Euthanasia

Gerakan euthanasia sudah berlangsung di negara barat, khususnya negara Amerika dan Belanda. Gerakan ini menekankan kerelaan pasien sendiri untuk memohon euthanasia. Para dokter di negeri Belanda melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien. Secara hukum euthanasia tidak dibenarkan, namun masyarakat mengizinkannya. Sehingga para dokter yang melakukan euthanasia jarang di tuntut. Rata-rata dokter di Belanda melakukan ‘pembunuhan’ sekitar lima sampai delapan ribu pasien per tahun.

Sedangkan di Amerika undang-undang kematian yang manusiawi dan terhormat (The Humane and Dignified Death Act)– diusulkan sebagai tambahan dari California Civil Code (Peraturan Perdata Negara Bagian California). Konsep ini disponsori para pengacara yang menggumuli tentang hak seseorang untuk mati, namun gagal mendapat persetujuan. Pelaksanaan euthanasia bahkan mencapai 80 sampai 130 ribu pasien per tahun. Penolakan adalah karena tercantumnya peraturan yang membolehkan pasien memohon suntikan maut kepada dokternya.

Selain itu undang-undang ini juga tidak membuat perbedaan secara etis antara pengobatan untuk mempertahankan kehidupan seseorang, atau mempercepat kematiannya, dan pelaksanaan euthanasia aktif. Setiap pemohon dapat mengajukan langsung prosedur, atau pun alat yang akan digunakannya. Permohonan ini   tertulis dan ditandatangani dengan dihadiri dua orang saksi. Karena pasien adalah orang-orang yang mengerti dan mendukung hal ini, maka dokter pun tidak dapat dipersalahkan.

Secara garis besar pedoman Royal Dutch Medical Association (di negara Belanda) dalam pelaksanaan euthanasia berisi:

  1. Pelaksanaan euthanasia haruslah berdasarkan kesukarelaan
  2. Pasien haruslah benar-benar mengalami penderitaan yang tidak dapat dipertahankan lagi dan sudah tanpa harapan
  3. Keinginan pasien untuk mati haruslah mantap dan telah dipertimbangkan dengan baik
  4. Kasusnya telah didiskusikan dengan orang-orang di sekitarnya dalam hal ini keluarga dan sahabat
  5. Euthanasia harus dilaksanakan secara medis yang dapat dipertanggungjawabkan
  6. Sertifikat kematian (visum) tidak boleh dipalsukan, tetapi harus menyatakan bahwa euthanasia telah dilaksanakan

Akhir-akhir ini topik euthanasia semakin hangat diberitakan media dan menimbulkan berbagai reaksi masyarakat yang menyebutkan beberapa resiko buruk, antara lain:

            Pertama, adanya penyalahgunaan atau kesewenangan. Sekalipun permohonan mengakhiri hidup merupakan hak yang telah dipertimbangkan dengan matang. Hal ini akan memudahkan penafsiran adanya ‘permohonan’ dari orang-orang yang sebenarnya tidak membutuhkan (orang yang kurang waras, gila atau sudah tak dapat melakukan apa-apa).

Kedua, adanya kesalahan. Sehubungan dengan adanya unsur ketidakpastian dalam pemberian obat akan menyebabkan beberapa orang akan mati secara tidak perlu.

Ketiga, adanya sisi yang berbahaya. Begitu masyarakat menerima unsur kesukarelaan dari pelaksanaan euthanasia, maka diperkirakan dalam waktu singkat terjadi ‘pembolehan’ bagi mereka yang tidak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri.

Keempat,  adanya ketidakpercayaan. Bila pasien mengetahui dokter dapat melaksanakan euthanasia terhadap dirinya, hal ini akan menimbulkan erosi kejiwaan (hilangnya kepercayaan) pasien terhadap dokter.

Kelima, adanya unsur keterpaksaan. Orang jompo, orang sekarat, dan orang bermasalah berat akan mempunyai keberanian atau dibenarkan untuk memilih euthanasia sebagai pilihan yang sah.

Beberapa argumentasi yang penuh resiko di atas berusaha menentang euthanasia namun belum mampu menyakinkan. Semuanya belum dapat menjawab, “Apakah euthanasia itu salah?”

Komentar Masyarakat

Para pendukung euthanasia percaya bahwa permohonan seseorang untuk dibunuh merupakan hak yang sangat pribadi, meskipun motivasinya diwarnai oleh penderitaan atau pengurangan beban di keluarga atau masyarakat. Mereka mengatakan bahwa mereka mempergunakan hak atau pilihan bebas atas nasib mereka.

Apabila pendapat masyarakat umum di Amerika sepakat menyatakan bahwa euthanasia dapat diterima, apakah berarti hal ini dibenarkan?

Mereka yang memandang euthanasia dapat diterima karena alasan penderitaan yang tidak dapat ditolerir, berkata bahwa terbebas dari penderitaan memang lebih baik daripada kemerdekaan atau kehidupan.

Sedangkan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat menyatakan bahwa hak-hak azazi manusia tidak dapat dipisahkan antara kehidupan, kemerdekaan dan usaha  memperoleh kebahagiaan. Urutan ini tidaklah kebetulan. Kehidupan manusia sangat fundamental dan dibutuhkan untuk memperoleh kemerdekaan dan kebahagiaan. Kemerdekaan (kebebasan seseorang untuk memilih) sangat bergantung pada kehidupan itu sendiri. Sekalipun hidup seseorang penuh penderitaan (tanpa kebahagiaan), ia tetap memiliki beberapa pilihan (pengobatan, mencukupi kebutuhan hidup, mempertahankan diri, hubungan sosial dan pertanyan-pertanyaan tentang kekekalan).

Etika dan tradisi pengobatan menekankan pemeliharaan kehidupan manusia dan menolak segala cara untuk mengakhirinya. Kaum hipokrat menyatakan dengan tegas, “Saya tidak akan memberikan racun pada seseorang, sekalipun diminta, juga tidak memberikan bantuan ke arah itu.”

Membatasi kehidupan seseorang –mercy killing- bertentangan dengan profesi kedokteran dan juga kebijaksanaan ikatan Dokter di Amerika –American Medical Associations (AMA).

Dari segi kekristenan Yahudi ditekankan bahwa melakukan pembunuhan terhadap orang lain adalah salah/dosa, sekalipun dengan motif menaruh belas kasihan. Dari segi kedokteran/medis pun menekankan hal yang sama. Para pemikir modern, tanpa memandang alasan tersebut, juga percaya bahwa euthanasia adalah hal yang salah, karena akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal itu tidak termasuk dalam tugas seorang dokter. “membunuh’ pasien bertentangan dengan etika kedokteran yang telah dijalankan beribu-ribu tahun.

Kesimpulannya, gerakan euthanasia semakin tidak dianggap sebagai suatu kemajuan besar dalam mengatasi rasa sakit dan merawat pasien yang menderita. Mengapa tidak diusahakan pelayanan yang tepat, kecuali ‘membunuh’ mereka?

Makna di Balik Penderitaan

Apakah ada arti atau tujuan dalam penderitaan? Adakah alternatif dari pada sakit atau menderita? Seorang ahli bedah Kristen Dr. Paul Brand percaya bahwa ada maksud Tuhan dibalik penderitaan fisik yang dialami manusia di dunia ini. Ia menemukan bahwa pasiennya, para penderita lepra menyepelekan keadaan mereka, karena mereka tidak merasa sakit. Ia berusaha mengembangkan cara-cara menanggulanginya, tetapi selalu gagal, karena pasien-pasiennya menghindar atau merasa bodoh terhadap sistem penanggulangan penyakitnya.

Ia menambahkan pula, kesakitan dan penderitaan adalah anugerah, suatu bagian kehidupan yang tak terpisahkan-sebagai suatu teguran atau cara Tuhan untuk melindungi ciptaanNya. Sekalipun kita tidak menginginkannya, namun hal ini diperlukan. Penderitaan ini lebih dari sekedar rasa sakit secara jasmani tetapi juga secara emosi (rasa sedih), secara sosial (kesepian), secara ekonomi dan secara rohani.

Kita tidak bermaksud memuji atau mengagung-agungkan penderitaan. Sebaliknya, menurut pandangan Alkitab penderitaaan Adam dan Hawa adalah bagian dari kutukan Allah. Allah ‘memaksa’ keberadaan manusia dalam dunia yang fana ini sebagai hasil pemberontakan mereka (Kej 3:16,17). Pengalaman penderitaan fisik ini merupakan tambahan dari penderitaan rohani yang sifatnya lebih mendasar, yaitu rusaknya persekutuan/hubungan dengan Allah, Sang Pencipta.

Orang-orang Kristen dapat percaya dan bersukacita bahwa dalam Kerajaan Surga, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wah 21:4). Tetapi kita masih tinggal di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa-terikat pada peraturan yang lama. Jika Allah menjanjikan hidup di bumi ini tanpa penderitaan sebagai hadiah bagi pengikut-pengikutNya, maka orang akan berbondong-bondong menjadi pengikutnya dengan alasan keliru. Ia menginginkan kita memilihNya dengan bebas, bukan dengan alasan memperoleh sesuatu dari padaNya, dan tidak mengalami penderitaan.

Tetapi, apa tujuan penderitaan khusus untuk orang tertentu pada saat tertentu? Apakah ada tujuannya atau Allah sedang main-main? Penderitaan kadangkala merupakan saat untuk mengoreksi/intropeksi diri. Allah memakai hal ini agar kita tahu dan menyadari bahwa kita sedang berjalan sendiri, keluar dari bimbinganNya. “Kamu telah membajak kefasikan, telah menuai kecurangan, telah memakan buah kebohongan. Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu” (Hos 10:13)

Di sisi lain, penderitaan adalah cara untuk menolong kita bertumbuh dan dewasa.  “Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaanNya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya” (1 Pet 5:10).

Allah juga mengizinkan penderitaan dengan tujuan agar manusia memuliakanNya. Ketika murid-murid bertanya kepada Yesus “Apakah orang buta itu yang berdosa ataukah orang tuanya, yang menyebabkan kebuataan?” Yesus menjawab “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh 9:3).

Adanya penderitaan untuk tujuan koreksi, pertumbuhan/kedewasaan atau kemuliaan Allah seakan terdengar enak dan pas. Tetapi kita tahu, bahwa ada tujuan lain yang sering tersembunyi. Anggaplah Jennie meninggal karena kanker pada saat puncak kehidupannya. Mengapa ini terjadi? Kita tidak selalu dapat melihat gambaran keseluruhannya. Kita harus ingat, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ul 29:29).

Pada masa lalu, penderitaan diterima sebagai bagian dari kehidupan, sekalipun tidak membawa sukacita, haruslah dijalani.

Pada masa sekarang, seringkali kita menganggap bahwa penderitaan itu harus segera berakhir dan dikurangi. Ketika melihat seseorang begitu menderita dan tanpa tujuan di baliknya, atau tanpa harapan untuk kesembuhannya, maka jawabannya adalah keputusasaan. Hal ini akan membuka “jalan” menuju usaha bunuh diri atau memohon euthanasia.

Respon Kita

Sikap apa yang seharusnya kita berikan pada seseorang yang memohon euthanasia dengan sangat. “Saya tidak sanggup lagi menderita! Bunuhlah saya, atau tolonglah membunuh saya!”.

Ada dua sikap yang dapat diterima. Pertama,  jawaban, “Saya tidak dapat membunuh Anda, tetapi saya dapat menolong Anda. Saya tidak mau membunuh Anda, karena itu saya mempunyai tanggung jawab moral yang besar untuk meringankan penderitaan Anda. Izinkan saya mengobati Anda (bila seorang dokter), izinkan saya memegang tangan Anda dan mendengar keluhan dan kebutuhan Anda (segi ekonomi maupun rohani). Saya bersedia menjadi teman Anda. Bila seandainya Anda “pergi”, Anda pun tidak sendirian.”

Para dokter sebaiknya belajar untuk lebih memahami bagaimana menangani penderitaan pasien dan mengobatinya dengan lebih efektif. Karena lebih dari 95% penderita kanker dapat tetap bertahan dan terbebas dari rasa sakit bila kepada mereka diberikan obat dengan dosis tepat dan pada jangka waktu yang tepat.

Kedua,  adalah mencoba menolong pasien memperoleh beberapa makna di balik penderitaannya, dengan memandang kepada Allah yang Maha Kuasa dan penuh kasih yang mengizinkan penderitaan itu dialaminya -mampu atau tidak mampu- untuk rencanaNya yang khusus dan indah. Sikap ini akan memancarkan kasih Allah melalui kita. Ia adalah teladan kita. Di atas semuanya itu, kita dapat menawarkan pengharapan, bahwa kesakitan/penderitaan bersifat sementara, tetapi kemuliaan adalah kekal selama-lamanya; bahwa di surga tak ada penderitaan dan air mata. Kita dapat mendampingi mereka yang tengah menderita, dengan berdoa bersama dan mengasihi mereka. Karena kehidupan adalah anugerah Allah, dan hanya Dialah yang berhak menentukan kapan dan bagaimana kehidupan seesoran berakhir.

Seorang atheis seperti Nietzsche saja dapat mengatakan, “Manusia yang mempunyai alasan untuk hidup dapat menghadapi hampir setiap persoalan hidup.” Bagaimana dengan kita-orang yang mengaku beriman-bila menghadapi penderitaan?

Tulisan ini disadur oleh Grace Sasongko, Staf Perkantas dari buku ‘Life and Death Decisions’, Nav Press, 1990 khusus bab 9 dengan judul: ‘Mercy Killing’.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *