[otw_shortcode_dropcap label=”J” font=”Aclonica” background_color_class=”otw-blue-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]akob Oetama membuka prakatanya dalam “Bukuku kakiku” dengan cerita. “Salah seorang editor penerbit buku Gramedia pada suatu hari bertutur: buku terjemahan Harry Potter jilid pertama dicetak 15.000 eksemplar. Cetak ulang kedua dalam waktu satu bulan 15.000 eksemplar, dan hingga saat ini sudah mencapai cetak ulang keempat belas. Disertai syukur dan besar hati, ia menceritakan biasanya novel populer terbitannya hanya dicetak 5.000 eksemplar, sedangkan yang non populer 3000 eksemplar. Saya ikut bangga dan menyampaikan selamat. Tiba-tiba ia menambahkan keterangannya. Di Thailand, cetakan pertama Harry Potter 100.000 eksemplar padahal, seperti di Indonesia, di sana buku biasa dicetak 5.000 setiap judul. Di Taiwan, setelah cetak ulang berkali-kali – cetak pertama 22.000 eksemplar—Harry Potter dicetak 300.000 eksemplar. Padahal di sana buku biasa dicetak 5.000 eksemplar. Ia bandingkan kemudian dengan Australia. Di sana buku Harry Potter jilid 1, 2, dan 3 menduduki rangking buku terlaris bacaan anak, sementara buku jilid keempatnya dicetak 200.000 eksemplar.”
Ketika memikirkan uraian di atas, saya merasa miris. Jika penduduk Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk di negara seperti Thailand, Australia, atau Taiwan, Indonesia bisa menang telak. Namun masyarakat negara-negara tersebut masih lebih banyak yang membeli buku J.K. Rowling tersebut. Padahal buku Harry Potter merupakan buku yang terkenal di Indonesia bahkan dunia. Sayangnya sungguh sedikit masyarakat kita yang mau membeli buku ini. Apa kabar dengan buku lainnya?
Entah apa permasalahan masyarakat Indonesia sampai begitu enggan membaca. Padahal, jumlah melek huruf di Indonesia sekarang sudah cukup tinggi. Di atas kertas lebih dari 90 persen penduduk Indonesia melek huruf. Jika diperkirakan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 200 juta, sebesar 20 juta saja yang diperkirakan tidak dapat menikmati kumpulan huruf sebagai bacaan.
Namun masyarakat yang telah melek huruf tersebut diperkirakan cuma sedikit yang memanfaatkan karunianya untuk membaca. Hal ini dikuatkan oleh pemerintah dan beberapa penerbit buku yang terus mengalakan budaya baca.
Mahasiswa Kristen ternyata juga banyak yang terjangkit penyakit tidak suka baca ini. Kesimpulan ini saya peroleh setelah mencermati perpustakaan yang ada di persekutuan saya dan mendengar sharing dari beberapa penulis Kristen.
Pekerjaan membaca mungkin bukan suatu pekerjaan yang menyenangkan buat tiap orang. Ada pula orang yang menganggap bahwa membaca merupakan hobi dari orang tertentu saja. Anggapan ini membuat pekerjaan baca hanya dilakukan jika ada suatu kepentingan, tugas dari dosen misalnya. Namun, rasanya tidak terlalu berlebihan, jika saya mengatakan membaca merupakan kewajiban dari orang Kristen. Simaklah yang berikut ini!
Pada umur dua belas tahun, keluarga Yesus pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Namun Yesus remaja tinggal di Yerusalem tanpa sepengetahuan orang tuanya. Setelah orang tuanya sibuk mencarinya, mereka menemukan Yesus sedang bersoal jawab dengan para doktor teologi pada zaman itu.
“Setelah tiga hari mencari, mereka mendapati Dia di dalam Rumah Tuhan. Ia sedang duduk mendengarkan para guru agama dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Semua orang yang mendengar Dia heran karena jawaban-jawaban-Nya yang cerdas.” (Luk 2:46-47)
Saya membayangkan percakapan mereka dipenuhi oleh cerita sejarah Israel, syair-syair Mazmur, dan siapa Tuhan yang mereka bahas dari kitab-kitab Perjanjian Lama. Yah, Yesus adalah Tuhan, Ia Mahatahu. Namun ia adalah seorang manusia pada saat itu, remaja berumur 12 tahun. Ia perlu makanan untuk bertumbuh. Ia perlu orang tua untuk menjaga dan merawatnya. Ia hanya seorang manusia biasa saat itu. Saya memberanikan diri untuk berasumsi bahwa Ia pun harus banyak belajar dan membaca untuk dapat mengimbangi doktor-doktor Teologi zaman itu. Tentunya pengetahuan ini memang dibarengi oleh Hikmat-Nya dan kasih karunia-Nya yang semakin penuh saat itu (Luk 2:40,52).
Setidaknya ada satu contoh lagi yang meneguhkan asumsi saya itu. Itu terjadi saat Yesus mengalami cobaan di Padang Gurun. Ketika itu Ia baru dibaptis. Roh Kudus menuntunnya ke padang gurun. Setelah berpuasa selama 40 hari dan 40 malam, laparlah Yesus. Iblis memang jeli, ia kemudian memakai kesempatan tersebut untuk mencobai Yesus. Dengan penuh percaya diri, Iblis datang dan berkata, “Engkau Anak Allah, bukan? Nah, suruhlah batu-batu ini menjadi roti.” Namun Yesus dengan segera mematahkan pendapat si Iblis dengan sabda dari Ulangan 8:3 berbunyi, “Manusia tidak dapat hidup dari roti saja, tetapi juga dari setiap perkataan yang diucapkan oleh Allah.”
Iblis tidak menyerah. Ia segera cari akal dan dapatlah ia. Dengan yakin ia kembali mencobai Yesus sekali lagi. Kali ini Iblis membawa Anak Allah ke kota suci dan ditempatkan dibumbungan bait Allah. Lalu berkatalah Iblis kepada-Nya, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” Yesus kembali memantapkan kemenanganNya. Dengan Ulanga 6:16 Ia menjawab, “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!”
Iblis gagal namun belum menyerah. Kali ini ia mencoba merayu Yesus dengan trik lain. Si licik ini membawa Yesus ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya. Ia kemudia berseru kepadanya, “Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Namun Yesus tak terkecoh. Dengan Ulangan 6:13 Ia memantapkan kemenanganNya dengan berkata. “Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Tentunya masih banyak lagi rujukan semasa Yesus hidup yang menunjukkan betapa Ia menguasai bacaan pada saat itu. Ini merupakan suatu teladan yang Ia beri pada kita mengenai pemanfaatan bacaan. Al Kitab memang tidak mencatat bahwa Yesus suka membaca. Saya pun tidak akan memaksakan diri dengan menyatakan bahwa Yesus seperti saya, senang membaca. Namun, melalui ucapan yang keluar dari mulut-Nya, Ia menunjukkan bahwa Ia menguasai bacaan yang ada pada saat itu.