Flafiana Trinujani Tagung:
Hidup Sederhana Sebagai Tujuan Hidup

Wilfred Hoffman mantan Dubes Jerman di Aljazair dan Maroko bercerita bahwa istrinya merasa “malu” setiap kali menghadiri acara pesta kalangan diplomat atau para pejabat di kedua negara itu. Pasalnya, istri Pak Hoffman tidak memiliki perhiasan dan baju yang gemerlap, mahal dan mewah seperti yang biasa dikenakan para ibu-ibu pejabat negara-negara Arab.

Kisah kecil yang diceritakan Wilfred Hoffman di atas menggambarkan fenomena yang terasa ironis dan paradoks: seorang Dubes/diplomat dari negara kaya yang hidup sederhana, dan di sisi lain, para dubes/diplomat dari negara miskin yang hidup mewah dan glamor. Hidup mewah di kalangan pejabat, memang tidak hanya terwakili oleh negara-negara Arab saja, tetapi hampir bisa dilihat menjadi fenomena umum di seluruh negara-negara berkembang/miskin, tak terkecuali pejabat pemerintah di lndonesia.

Kenapa ini terjadi? Menurut saya, “Selama manusia itu tidak memahami untuk apa Tuhan menciptakan dia, maka kehidupan sederhana itu akan menjadi sesuatu yang sulit terealisasi dalam kehidupan orang itu. Jadi hidup sederhana itu sangat erat hubungannya dengan pemahaman dan penghayatan akan tujuan hidup.”

Hidup sederhana, berarti hidup yang diperuntukkan bagi keperluan sebagai seorang manusia dan berkaitan erat dengan panggilan serta tujuan hidup manusia itu. Definisi ini tidak akan berubah dari zaman ke zaman, yang berubah adalah elemen pendukungnya. Bukan berarti tidak boleh kaya. Gunakan dan kelola sesuatu untuk keperluan diri dan keluarga. Selebihnya, jangan lupa mengalokasikan untuk membantu sesama. Jika seseorang sudah melakukan ini, itulah yang dinamakan hidup sederhana.

Nah, ini kita harus hati-hati dengan pernyataan ini. Sebab, ada orang yang tidak mau pamer harta tetapi ia kikir. Agar terkesan tidak mampu maka dia tidak mau pamer. Dia pelit dan takut untuk membagikan berkat yang Allah anugerahkan padanya. Kasus seperti ini tidak bisa kita kategorikan menjauhkan diri dari pamer harta. Memang, ada juga orang mampu, tapi telihat amat sederhana. Baik gaya hidup, maupun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam pengalaman pribadi, uang bulanan yang saya terima dari Tuhan tidak banyak. Sehingga ini sangat menolong saya untuk benar-benar memperhitungkan setiap sen yang akan dikeluarkan. Tiap bulan pengeluaran terbesar saya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena memang saya tulang punggung keluarga. Untuk diri sendiri, saya sudah membiasakan diri meminimalis kebutuhan hidup. Sekalipun demikian, dalam satu bulan tetap mengalokasikan untuk pekerjaan Tuhan. Pekerlaan Tuhan hal yang penting buat saya. Seperti membantu orang-orang yang kurang mampu. Untuk mendukung pekerjaan pelayanan misi dan lain sebagainya. Tapi ingat, jangan sampai pemberian itu mengakibatkan kita mengalami kerugian besar. Misalnya, karena memberi kita tidak bisa memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum dll. Tapi, belajar dari kehidupan tokoh-tokoh Alkitab yang saya baca, dan juga itu coba diterapkan, ada saatnya pemberian kepada orang lain menuntut kita rela berkorban.

Siapa orang-orang yang perlu kita bantu? Nah, kita harus cerdik dan peka. Sebab tidak semua orang yang akan kita bantu itu datang dengan motivasi tulus dan benar. Bisa jadi di antara mereka ada yang menipu kita, misal, dengan penampilannya. Saya ini gampang kasihan dengan orang. Pernah satu kali, saya kasihan dengan satu orang. Dengan enteng saya berikan dia uang sebesar 100 ribu. Katanya sih untuk ongkos pulang kampung. Tidak tahunya, beberapa kali saya mendapati orang ini di tempat yang sama dan belum pergi-pergi juga. Saya tertipu, namun berpikir, ya sudahlah, saya sudah melakukan bagian itu dengan baik.

Pernah, saya menolong orang lain dan akibatnya saya jadi kekurangan. Tapi indahnya justru pada saat seperti itu Tuhan pakai orang lain menutupi kekurangan itu. Entah tiba-tiba biaya transport ada yang bayarin. Atau uang makan dibayarin. Menurut saya, itu cara Tuhan mengajari saya. Yang jelas, sampai hari ini belum pernah, saya dan keluarga kelaparan karena menolong orang lain.

Saya belajar dan mengalami semua ini, jauh sebelum mengenal Tuhan. Yang pertama, teladan dari ayah saya. Ayah orang yang sangat perduli. Beliau tidak bisa melihat orang lain hidup susah. Yang kedua, kondisi kehidupan keluarga, dibilang susah tidak, tapi dibilang berkelebihan juga tidak. Yang ketiga, yang paling banyak mengajari saya untuk bisa hidup empati dan perduli kepada lingkungan dan orang lain adalah sejak mengenal kasih Tuhan. Sejak bergaul akrab dengan Tuhan melalui Kitab Suci. Tuhan memberikan perintah kepada lsrael agar tidak menghabiskan hasil tuaian ladang dan kebun mereka, tetapi sebagian dari itu harus disisihkan untuk janda, anak yatim, orang asing. lnilah yang saya katakan kombinasi antara teladan hidup dari ayah dan Kitab Suci sangat menolong saya.

Karena itu, sekarang, melalui keteladanan, di Kelompok Kecil, saya selalu mengingatkan mereka, misalnya, tidak usahlah terlalu sering menikmati makanan yang mewah. Kita makan untuk keperluan. Apa yang menjadi keperluannya? Untuk memenuhi kesehatan. Jadi, makanlah makanan yang menjadikan kita sehat. Tempe dan tahu juga bergizi. Bahkan makanan mahal menurut saya cenderung lebih tidak sehat. Prinsipnya, hidup sederhana itu kita mengerti setiap hal yang kita lakukan itu untuk pencapaian tujuan. Jangan lupa segala hal yang kita lakukan untuk pemenuhan kebutuhan itu harus dibarengi dengan motif dan pemahaman yang jelas.

Kalau boleh saya katakan, hidup sederhana itu bukanlah keharusan. Lebih tepatnya dianjurkan. Kemudian hidup sederhana tidak ada kaitannya dengan keadaan ekonomi. Jadi, kalau saya menjawab mengapa orang Kristen dianjurkan hidup sederhana, kembali lagi ke defenisi hidup sederhana itu sendiri. Bahwa hidup sederhana adalah hidup untuk keperluan dan tujuan hidup.

Pertama karena orang percaya harusnya mengerti untuk apa Tuhan menciptakan dia hidup di dunia ini. Kedua, orang percaya harusnya mengerti dari Kitab Suci bahwa pemberian Tuhan atas hidup kita bukan hanya untuk kita tapi juga untuk orang lain. Itu sangat jelas sekali tertulis dalam PL. Ketiga, hidup sederhana itu menolong kita untuk efektif memanfaatkan seluruh berkatTuhan sesuai dengan apa yang Tuhan mau. Hidup sederhana juga menjauhkan kita dari marabahaya dan menolong kita untuk mengerti tujuan dari hidup ini. Apa yang kita makan, kita pakai, dan sebagainya. Hidup sederhana juga membuat kita lebih relaks dengan hidup ini. Tidak rumit dan apa adanya. Dengan hidup sederhana saya sangat yakin sekali bahwa akan semakin banyak orang di sekitar kita yang akan terbantu. Apalagi Tuhan menempatkan kita dikonteks lndonesia yang masyarakatnya masih bergaul dengan kemiskinan. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk orang percaya tidak bisa memberi. Jika lemaat Makedonia yang miskin saja bisa memberi, apalagi kita.

Bagaimana kita mencukupkan diri dengan apa yang kita butuhkan dan bukan dengan apa yang kita inginkan? Sebenarnya definisi keperluan juga bisa dinilai secara salah. Dulu mungkin orang tidak punya telepon seluler [HP] biasa saja karena pada saat itu belum termasuk kebutuhan. Tapi kalau sekarang itu sudah menjadi kebutuhan. Cuma yang bisa dikoreksi adalah model HP yang seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan si Pemakai. Jadi mencukupkan diri dengan apa yang menjadi kebutuhan bukan keinginan adalah yang pertama harus lelas definisi kebutuhan itu apa, kalau primer, itu jelas menjadi kebutuhan. Cuma untuk kebutuhan sekunder dan tertier mungkin ini yang bisa digumulkan. Alkitab juga mencatat cukupkan dirimu dengan gajimu. Artinya, gaji/penghasilan yang kita terima benar-benar digumulkan penggunaannya dengan sebaiknya. Setelah kebutuhan perpuluhan dan primer sudah terpenuhi, sisanya perlu digumulkan dan doakan penggunaannya dengan baik-baik. Mungkin, waktu pertama-tama memulai memang butuh waktu yang lama untuk memikirkan, tapi kalau itu sudah bergulir dari waktu ke waktu akan gampang kog memilah-milah apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang menjadi keinginan.

Memang ada beberapa alasan manusia itu tidak bisa mencukupi hidup sesuai dengan keperluan. Ya, itu tadi karena tidak mengerti tujuan hidupnya. Lalu, karena tidak tahan dengan godaan sekitar. Orang yang gampang jatuh akhirnya tidak mampu melakoni hidup sederhana ini. Karena terlalu gampang terpengaruh dengan omongan orang lain yang sebenarnya yang mereka pun tidak mengerti tentang tujuan hidupnya sendiri. Hal lain, karena gengsi. Tapi jangan juga sih demi hidup sederhana ini, kita lupa nilai estetika. Saya sering dikomplain oleh salah seorang staf, karena selalu menggunakan tas yang sudah butut. Tapi pada akhirnya, saya sadar, saya pun mengganti tas itu dan bagus itu bukan berarti mahal. Demikian jugadengan kerapihan. Rapih dan indah kan tidak selalu identik dengan mahal.

Bagi alumni yang belum memiliki pacar atau keluarga, kalau boleh saya sarankan, carilah teman hidup yang punya komitmen untuk hidup sederhana. Karena kalau tidak, nanti akan rentan konflik dalam hal penggunaan harta benda yang Tuhan anugerahkan. Terus, perlu punya waktu untuk diam, memikirkan apa yang menjadi kebutuhan bagi dia dan keluarganya. Misalnya, dalam memutuskan dan memikirkan kebutuhan anak-anak. Untuk urusan studi, itu sudah menladi kebutuhan. Jadi jangan ditawar-tawar lagi. Dan tetap satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah 10%  di Alkitab dicatat itu menjadi kebutuhan orang Lewi, Asing, Janda dan Yatim piatu. Jadi semiskin apapun keadaan ekonomi kita, kalau bisa tetaplah menolong orang-orang yang membutuhkan. Kalau kita miskin sekali, walau dengan jumlah yang sedikit/ semampu kita bisa, ini akan menolong setiap orang percaya, bahwa ketika memberi, sesungguhnya kita ditolong untuk menyadari bahwa apa yang kita miliki itu adalah pemberian Tuhan.

—– Dituliskan oleh Flafiana Trinujani Tagung, Staf Mahasiswa Perkantas Jakarta

— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *