Sepuluh tahun yang lalu, saya pernah terhenyakdengan perilaku korup Pegawai Negeri Sipil (PNS) kantor wilayah (kanwi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) yang meminta uang kepada saya dan kakak saya untuk legalisir ijazah SMA saya. Padahal, tugas PNS tersebut hanyalah mengantar ijazah saya untuk ditandatangani. Anehnya, seorang ibu yang berada dekat kami malah mendorong kami untuk membayar uang Rp 5000,00 untuk legalisir. Menurut Ibu tersebut itu adalah hal yang “wajar”. Kami yang awalnya menolak pun akhirnya memberi uang itu dengan kesal dan malu.
Kejadian di atas adalah sebuah contoh betapa bahayanya korupsi jika terus dibiarkan. Memberi uang “terima kasih”, memberi uang “damai”, membayar lebih untuk mempermudah birokrasi menjadi sebuah kewajaran. Padahal, tindakan itulah yang membuat korupsi berkembang biak dengan subur di negeri ini. Korupsi secara sadar atau tidak telah diajarkan turun temurun dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi menjalar dengan cepatnya seperti penyakit kanker.
Empat belas tahun telah berlalu sejak tumbangnya rezim korup Suharto, akan tetapi korupsi di Indonesia bukannya berkurang, malahan bertambah parah. Dalam kasus terbaru yang sedang diusut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), anggaran untuk pengadaan Al-Quran gratis pun turut dikorupsi. Para koruptor di negeri ini tidak lagi takut untuk mengorupsi anggaran kitab suci. Sungguh mengerikan!
Transparency International (TI) mencatat bahwa Indeks Persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2011 berada di angka 3,0 dari rentang nilai 0 – 10. Indonesia berada di peringkat 100 dari 182 negara yang diberikan nilai. Semakin tinggi angka IPK sebuah negara, semakin bersih sebuah negara itu dari korupsi. Jika dilihat dari data 2006 (IPK 2,4) sampai 2011, IPK Indonesia hanya meningkat sebesar 0,6. Sebuah indikasi kurang seriusnya negara ini memberantas korupsi.
Cegah korupsi sejak dini
Korupsi adalah dosa. Oleh karena itu cara bekerjanya pun seperti dosa. Korupsi besar tidak mungkin terjadi tanpa adanya korupsi kecil-kecilan. Dengan kata lain orang yang saat ini tertangkap karena kasus korupsi pastilah orang yang sejak kecil terbiasa hidup tidak benar. Oleh karena itu, untuk melawan korupsi selain melakukan pemberantasan dengan hukum kita juga perlu melakukan pencegahan sejak dini.
Menyadari pentingnya pencegahan korupsi sejak dini, KPK melakukan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi. Pada tingkat SD sampai SMA, pendidikan antikorupsi akan dimasukkan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan di perguruan tinggi, akan dibuat mata kuliah khusus antikorupsi (kompas, 20/06/2012).
Tindakan KPK untuk memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan adalah sebuah tindakan yang brilian. Tindakan pencegahan melalui pendidikan adalah cara pencegahan terbaik. Karena pendidikan mampu mengubah cara pandang dan pola pikir seseorang. Selain itu, semakin dini seseorang diajarkan pendidikan antikorupsi, semakin mudah dirinya dibentuk untuk tidak melakukan korupsi.
Amsal 22:6 berkata, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”. Orang muda yang dididik dengan benar akan memiliki hidup yang benar pula. Sebaliknya, jika dididik dengan tidak benar, pastinya mereka akan memiliki hidup yang tidak benar.
Pendidikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan bukan hanya membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu, melainkan juga membuat orang mampu melakukan apa yang diketahuinya. Ketika pendidikan antikorupsi diterapkan, maka anak didik harus mampu untuk tidak melakukan korupsi.
Sebagai seorang pendidik Kristen, kita punya peran besar untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didik. Memasukkan nilai-nilai kebenaran dalam setiap proses belajar mengajar, mengapresiasi setiap kejujuran anak didik dan menghukum segala kecurangan yang terjadi di dalam kelas. Ketika hal itu dilakukan, maka seorang pendidik Kristen sedang melakukan pendidikan antikorupsi di dalam kelasnya.
Rencananya pendidikan antikorupsi akan diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013 di jenjang pendidikan SD sampai SMA. Inspektur Jenderal Kemendikbud, Haryono Umar, menjelaskan bahwa materi untuk guru SD dan SMA telah selesai digodok. Materi untuk perguruan tinggi saat ini juga telah selesai dibahas oleh KPK dan Kemendikbud dan rencana akan segera diterapkan dalam kurikulum (kompas.com, 9 maret 2012).
Penerapan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum, menurut saya, sangat tepat untuk segera diterapkan dalam lembaga pendidikan. Namun, yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai pendidikan antikorupsi ini hanya sekedar menambah pengetahuan. Karena jika demikian, pendidikan antikorupsi hanya sekedar ajang mencari nilai sama seperti bidang ilmu yang lain. Pendidikan antikorupsi harus menjadi sarana pelatihan bagi para pelajar untuk bangga bisa hidup jujur dan berintegritas.
Selain itu, lembaga pendidikan juga harus mulai menerapkan budaya jujur dan berintegritas di lingkungannya. Di mulai dari menuntut budaya jujur dan berintegritas para pengajar dan karyawannya. Mulai dari tidak telat untuk masuk sampai kepada pertanggungjawaban keuangan sekolah atau perguruan tinggi yang transparan. Jangan sampai pendidikan antikorupsi menjadi sia-sia ketika para pelajar melihat hidup para pengajarnya bertolak belakang dengan teori yang diajarkan. Pendidikan yang paling berdampak adalah pendidikan dari keteladanan, bukan teori.
Lembaga pendidikan juga harus melakukan terobosan memberikan penilaian terhadap kejujuran dan integritas dalam rapor siswa atau KHS mahasiswa. Setiap siswa dan mahasiswa yang kedapatan curang dalam ujian harus mendapat hukuman pengurangan nilai. Sebaliknya, setiap siswa dan mahasiswa yang mengerjakan ujian dengan jujur akan mendapatkan penambahan nilai. Bahkan mereka yang dipilih menjadi siswa dan mahasiswa teladan haruslah mereka yang jujur dan berintegritas dalam studinya.
Peran kita
Lalu apakah peran kita sebagai masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan Kristen dalam mendukung pendidikan antikorupsi? Cara mendukungnya adalah dengan menerapkan pendidikan antikorupsi dalam lingkungan masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan kristen. Keluarga yang adalah kelompok terkecil dalam masyarakat, harus membiasakan budaya jujur dalam kehidupannya. Setiap kejujuran mengakui kesalahan harus dipuji dan diapresiasi. Orang tua pun jangan malu untuk mengakui kesalahannya di depan anak-anak. Hal ini bisa jadi awal untuk hidup jujur dan berintegritas.
Gereja juga bisa melakukan pendidikan antikorupsi dengan cara memberikan pembinaan kepada anggotanya mengenai korupsi. Jika perlu, undang KPK untuk memberikan pendidikan antikorupsi kepada setiap anggota. Selain itu penting juga bagi gereja waspada supaya tidak dijadikan tempat pencucian uang korupsi. Jangan sampai lembaga kekristenan terseret masuk dalam kasus korupsi karena menerima uang korupsi.
Persekutuan dan lembaga pelayanan Kristen juga bisa melakukan pendidikan antikorupsi di dalam pembinaannya. Perkantas saya pikir perlu juga memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulumnya. Kurikulum pelayanan siswa, mahasiswa, dan alumni harus dimasukkan pendidikan antikorupsi. Bukan hanya dalam konteks mengetahui apa itu korupsi, tetapi juga bagaimana caranya menghindari dan melawan korupsi. Persekutuan-persekutuan kampus juga harus memasukkan pendidikan antikorupsi dalam pembinaan-pembinaan yang dilakukan. Hal ini akan membuat mahasiswa menjadi peka terhadap korupsi.
Mari kita berharap pendidikan antikorupsi yang masuk dalam lembaga pendidikan di Indonesia akan mengurangi angka korupsi di negara ini. Mari kita juga melawan korupsi dengan menerapkan pendidikan antikorupsi dalam keluarga, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan Kristen kita. Karena korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia. Jangan sampai kejadian buruk terusirnya ibu Siami dan putranya, Alif, karena membongkar kasus contek massal pada pelaksanaan Ujian Nasional terulang kembali.
*Ditulis oleh,Palti Hutabarat Staf Mahasiswa Perkantas Riau
**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi II, tahun 2012