Pdt. Stefanus Roedjito Boediodarmo, S.th.:
Melayani dengan Tepat

Pdt. Stefanus Roedjito Boediodarmo, S.Th., perintis dan gembala sidang Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Depok. Ia merintis GKMI Depok tahun 1967, dari jemaat yang hanya satu keluarga hingga 150 Kepala Keluarga (KK). Bahkan, kini di Depok ada dua GKMI.

Pdt. S. Roedjito B. menikah dengan Yulinah Soenartoei (1957), Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen Apollo, Purwokerto. Mereka dikaruniai 6 orang anak (4 pria dan 2 wanita). Anak pertama mereka seorang wanita, dipanggil Tuhan ketika berusia 4 tahun.

Pdt. Roedjito, panggilan sehari-harinya, alumnus Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, 1959. Setelah lulus STT, ia menjalani ikatan dinas di Sinode Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ). Selama setahun, ia menjadi Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Badan Usaha Pendidikan Kristen Indonesia (BUPKI) dan membantu Pemahaman Alkitab (PA) jemaat GITJ Pati, Jawa Tengah.

Hamba Tuhan yang ketika kecil bercita-cita menjadi seperti Prof. dr. Albert Schweitzer (seorang dokter dan juga penginjil yang berhasil di Afrika) pada Agustus 1960 ditahbiskan menjadi gembala sidang GITJ dengan menangani 10 gereja dan 7 pos pelayanan. Pdt. Roedjito dan isteri (isteri membina ibu-ibu warga gereja) melayani jemaat yang jaraknya 32 km pergi pulang – selama dua tahun – dengan kendaraan sepeda. Baru di tahun 1963, mereka mendapatkan kendaraan dinas (sebuah motor), persembahan Rp. 17.000 dan uang bensin Rp. 2.000. Selain itu, tugasnya pun bertambah, yakni menjadi Dewan Kurator Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Tahun 1966, Pdt. Roedjito yang saat itu menjabat wakil Ketua GITJ pindah tugas menjadi pendeta Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), Jakarta. Pendeta Herman Tan membukakan visi GKMI dan mengajak Pdt. Roedjito melayani melalui GKMI. Sejak itu Pdt. Roedjito dan isteri melayani di dua tempat: ALRI dan GKMI.

Pendeta yang sangat sederhana ini, dapat dikatakan tidak pernah menjadi pendeta purna waktu di GKMI (melayani purna waktu di GKMI berarti suami isteri tidak bekerja di tempat lain – red). Dan GKMI wilayah II Depok dengan persembahan Rp. 110 ribu (Rp. 75 ribu dari jemaat dan Rp. 35 ribu dari GKMI Pusat) hingga sekarang. Setelah menyelesaikan masa bakti di ALRI, ia menjadi guru di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi Jakarta. Seangkatan isterinya (1988-1991) menjadi Kepala Sekolah SMP Negeri yang dipekerjakan pada SMP Kristen Siloam Depok.

Dari pengalaman mendidik inilah, suami isteri yang hamba Tuhan ini memiliki kecintaan membina anak-anak asuh. Mereka hingga kini memiliki 55 anak asuh, ada yang telah berkeluarga, bekerja, dan 24 orang lainnya adalah murid berbagai SMP dan SMA. Yulinah S. Roedjito menyaksikan, seusai wawancara dengan suaminya, bahwa beberapa orang pernah menegur mereka tentang keberadaan para anak asuh. Mereka khawatir anak-anak Pdt. Roedjito terlantar karena membiayai anak asuh. Namun, Allah sanggup menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya itu, keluarga Pdt. Roedjito telah memiliki rumah permanen yang pintunya selalu terbuka bila ada orang yang membutuhkan bantuan!

Selanjutnya, simak wawancara di bawah ini.

Dapatkah Bapak menjelaskan bagaimana kondisi jemaat mula-mula?

Bila kita baca Kisah Rasul 2, setelah peristiwa Pentakosta ada 3000 orang bertobat dan dibaptis. Hari demi hari jumlah mereka bertambah. Mereka melalukan perjamuan kasih, melalui makan bersama dan memecah-mecahkan roti, sehingga jemaat mula-mula itu disebut masyarakat komunis, bukan komunisme. Komunis artinya hidup sama rata dan sama rasa, dan memiliki ikatan yang sesuai dengan firman Tuhan seperti yang terdapat di Efesus 4: 4-6.

Lalu bagaimana dengan kehidupan jemaat sekarang?

Kondisinya berbeda. Kalau pun ada yang konteksnya mirip dengan jemaat mula-mula, mungkin hanya ada pada jemaat perdesaan. Kondisi jemaat di kota-kota besar agak berbeda karena banyak faktor kemajuan yang mempengaruhinya.

Jika demikian, dapatkah pola hidup jemaat mula-mula diterapkan pada zaman ini?

Harus! Seorang hamba Tuhan hendaknya berusaha mewujudkannya dalam kehidupan jemaat. Zaman sekarang, di kota besar khususnya, akibat modernisasi, orang-orang Kristen sulit melayani. Para karyawan swasta misalnya, mereka sangat sulit melakukan kegiatan rohani di luar hari Minggu. Faktor lain, jarak yang jauh antara rumah dan tempat pelayanan membutuhkan dana yang cukup besar untuk transportasi. Padahal tidak semua jemaat memiliki ekonomi yang mapan.

Selain itu, budaya santai sedang melanda kehidupan masyarakat sekarang. Misalnya, malam Minggu nonton hingga larut malam sehingga esok malas ke gereja. Sekarang kita lebih senang berada di depan pesawat televisi berjam-jam daripada terlibat kegiatan gereja.

Para hamba Tuhan harus berupaya agar konsep kehidupan jemaat mula-mula tetap ada dalam kehidupan jemaatnya sekarang. Jemaat perlu membuka hati agar pekerjaan Roh Kudus tetap ada pada gereja. Namun, bukan berarti jemaat harus terlibat dalam aktivitas gereja setiap hari. Itu tidak mungkin karena mereka terikat pekerjaan. Namun, kita perlu belajar dari jemaat Paul Yonggi Cho. Mereka berdoa setiap hari selama dua jam.

Melakukan hal ini memang sangat sulit dan berat, karena setiap anggota jemaat memiliki kesibukan. Di antara mereka banyak yang tidak libur pada hari Sabtu. Bahkan, ada yang bekerja pada hari Minggu.

Bagaimana mengatasi hambatan itu?

Sebagai pemimpin jemaat, kita berusaha mengatasi hal tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Isu-Isu Global, John Stott menuliskan bahwa dalam kepemimpinan kristiani, orang-orang Kristen perlu memiliki lima hal, yaitu visi yang jelas, rajin bekerja, tekun dalam pelayanan, dan disiplin. Menggerakkan jemaat memang cukup sulit. Meskipun demikian, kami coba lakukan. Saya dan hamba-hamba Tuhan yang lain sangat menekankan jemaat untuk berdoa pada hari Sabtu. Kalau bisa berdoa dan berpuasa. Tidak diharuskan berpuasa sehari penuh. Kami biasa memulai pukul 10.00 sampai 14.00 WIB. Memang tidak banyak anggota jemaat yang melakukan hal itu. Paling hanya 10 orang tiap Sabtunya.

Bagaimana pengaruh jam doa tersebut terhadap kehidupan jemaat?

Pengaruhnya sangat kami rasakan. Dalam kehidupan sehari-hari, ikatan atau rasa kekeluargaannya cukup kuat, setiap malam Minggu kami melakukan Penelaahan Alkitab (PA) di rumah jemaat secara bergantian. Selain itu, bila ada anggota jemaat ditimpa kemalangan, jemaat lain tidak segan mengulurkan tangan.

Apakah 150 Kepala Keluarga jemaat Bapak masih saling mengenal?

Ya, karena kami melakukan PA di rumah-rumah jemaat secara bergiliran. Untuk wilayah-wilayah tertentu, kami memiliki tempat persekutuan dan PA bersama. Selain membantu dan mengalami sesuatu, jemaat saling membantu dan mengunjungi. Bahkan bila sangat membutuhkan bantuan seperti membangun rumah, mereka menyediakan diri untuk saling membantu, misalnya dengan mengedarkan list.

Bagaimana komposisi tingkat pendidikan dan suku di jemaat Bapak?

GKMI Anugerah Depok ini terdiri dari berbagai suku, ada Batak, Cina, Jawa, dan lain-lain. Sedangkan kondisi tingkat pendidikannya, 5% adalah tamatan SD, 60% tamatan SLTA, dan sisanya tamatan SLTP.

Bagaimana Bapak mengurusi kesenjangan sosial yang ada di jemaat Bapak?

Kami melihat kebutuhan mereka. Jika jemaat membutuhkan pekerjaan, kami menyediakan bantuan. Jika mereka membutuhkan sandang, pangan, dan perumahan, kami sedang berusaha untuk membantu. Sedangkan bagi jemaat yang berkecukupan, kami mendorong mereka untuk menolong yang lemah.

Kami juga menekankan pentingnya keterbukaan di jemaat, sehingga gereja berfungsi sebagai tempat bersekutu dan saling tolong menolong. Untuk mengungkapkan kesulitannya, jemaat dapat membagikannya saat perayaan ibadah, kebaktian, atau pertemuan lainnya. Jemaat juga sering datang meminta bantuan dalam mencari lowongan pekerjaan.

Lalu, jika ada jemaat yang membutuhkan bantuan materi atau keuangan, apa yang akan Bapak lakukan?

Saya mendorong jemaat untuk tidak ragu-ragu dalam mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi. Setidaknya, jemaat dapat mendukung dalam doa. Biasanya setelah diinformasikan saat kebaktian, ada jemaat lain yang tergerak hatinya untuk membantu.

Dalam menolong jemaat, saya sangat peduli dengan kebutuhan jasmani mereka. Apa yang melatarbelakangi saya melakukan hal ini?

Ini mungkin karena saya berasal dari desa, sehingga rasa kekeluargaan saya masih kuat. Sedangkan istri saya sangat peduli terhadap sesama dan pendidikan anak-anak. Meskipun kami sudah pensiun, kami masih menangani beasiswa anak-anak. Saat ini, ada 25 anak yang kami bantu dalam biaya pendidikan mereka.

Apa kendala yang dihadapi dalam melayani jemaat?

Dulu ada yang menuduh kami melakukan korupsi terhadap uang kolekte. Kebetulan memang uang kolekte dipegang oleh istri saya. Tuduhan tersebut muncul saat kami membeli sebidang tanah. Namun, kami menjelaskan kepada orang yang bersangkutan tentang situasinya. Akhirnya, mereka menyadari kesalahannya. Hal ini bisa kami lakukan karena kami percaya pada kekuatan firman Tuhan yang mengatakan bahwa kita tidak boleh dikalahkan oleh kejahatan, melainkan kita harus mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:12).

Bagaimana seharusnya kita menerapkan doa Bapa Kami, “berikanlah kami makanan kami sehari-hari”?

Pengertian “sehari-hari” bagi orang Kristen harus mengingatkan kita bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, kita tidak boleh lupa untuk menyisihkan.

Bagaimana kita seharusnya menerapkan Doa Bapa Kami “…berikanlah kami makanan kami secukupnya…”?

Pengertian “cukup” bagi orang Kristen hendaklah mengingatkan bahwa itu semua berasal dari-Nya. Sehingga kita tidak akan lupa menyisihkan untuk perpuluhan dan memperhatikan sesama.

Pemahaman kata “cukup” bagi setiap orang memang berbeda-beda. Sebuah keluarga Korea misalnya. Karena melihat pekerjaan Tuhan dalam hidup mereka, mereka menyisihkan dana sarapan keluarga paginya untuk membantu lembaga gereja, yayasan, atau keluarga yang kekurangan. Dari dana sarapan mereka itu, kami mendapatkan bantuan sepuluh juta rupiah untuk pembangunan gedung gereja.

Meskipun pengertian “cukup” sangat relatif, namun kita harus mengingat bahwa kita harus hidup wajar. Jangan berlebihan!

Bagaimana pandangan Bapak mengenai harta?

Kekayaan adalah titipan Tuhan bagi manusia. Bila kita menyadari hal ini, kita akan menggunakan harta itu untuk kemuliaan Tuhan. Sebagai seorang Kristen, kita mengenal persepuluhan. Meskipun pada zaman Perjanjian Baru hal ini tidak ditekankan, namun paling sedikit sepersepuluh dari penghasilan kita serahkan untuk kemuliaan Tuhan.

Menurut Bapak, bolehkah orang Kristen memiliki harta?

Boleh saja. Ketika Kristus memberi makan 5000 orang, masih ada sisa sekitar 12 bakul roti. Sisa makanan itu tidak dibuang melainkan dibagi-bagikan. Itu kan persediaan makanan mereka.

Hal itu sama halnya dengan perlunya orang Kristen menabung. Seorang karyawan swasta misalnya. Ia tidak memiliki dana pensiun. Nah, bila tidak menabung, bagaimana dia menghadapi hari tuanya? Selain itu, kita seringkali mengalami hal tersebut jika tidak memiliki dana cadangan?

Meskipun demikian, kita perlu bijaksana. Kita jangan menabung hanya untuk memperkaya diri. Kita harus membuat standar hidup. Kita pun harus memperhatikan sesama yang kekurangan. Untuk hal tersebut Allah sudah menetapkan aturan, yaitu paling sedikit 10% dari penghasilan, kita berikan pada pelayanan.

Umat Kristen Indonesia cukup banyak yang perekonomiannya mapan. Sementara, kita lihat kondisi masyarakat Indonesia secara umum, masih banyak di antara mereka yang membutuhkan bantuan. Apakah kita layak hidup seperti itu?

Itu memang kurang baik. Kita jangan menjadi konglomerat hanya untuk diri sendiri. Harus kita akui bahwa sekarang ini yang kaya semakin kaya, dan sebaliknya yang hidupnya miskin semakin melarat. Kondisi seperti ini tidak dapat kita biarkan terus. Sebagai orang Kristen yang berkecukupan, kita harus melihat harta sebagai berkat dan anugerah Tuhan. Dalam menggunakan harta, kita harus tetap taat dan bertanggung jawab.

Untuk itu, bagaimana agar orang Kristen tidak terjerumus pada pola hidup mementingkan diri sendiri?

Kita harus terus menerus memperbaharui iman. Jika kehidupan rohani kita tidak dewasa, maka akan repot. Namun jika kita taat kepada Allah, dengan setia kita akan melakukan tugas-tugas diakonia, koinonia, dan marturia kepada semua orang.

Apakah jika banyak jemaat Kristen yang tidak memperdulikan kehidupan orang lain, itu berarti bahwa gereja dan iman kita belum dewasa?

Betul! Saya sering melihat pemimpin jemaat yang tidak mau menegur jemaatnya agar melakukan hal yang benar di masyarakat. Sering kali kita tahu teori, tetapi tidak mempraktekkannya!

Namun di sisi lain, tumbuh kecenderungan bahwa melayani cukup dengan memberi uang. Bagaimana menurut Bapak?

Saya tidak setuju dengan tindakan seperti ini. Hal terpenting dalam pelayanan adalah pembinaan rohani, sehingga mereka yang melayani akan menerima keselamatan di dalam Kristus. Namun kita pun perlu menyadari bahwa Tuhan Yesus dalam melakukan misi pelayanannya bukan hanya memberitakan firman. Ia juga memberi makan orang banyak, menyembuhkan orang sakit. Dalam hal ini, kita perlu mengenal jemaat-jemaat yang dilayaninya sehingga bila ada yang membutuhkan pertolongan, dapat dilakukan dengan tepat.

Menurut Bapak, apakah seorang hamba Tuhan layak menerima bayaran dari pelayanan yang dilakukan?

Seharusnya, mereka berhak menerimanya! Paulus mengatakan jangan sampai lembu yang membajak sawah tidak bisa makan. Mereka perlu makanan dan diperhatikan. Bila gereja sudah kuat, gembala sidang harus diperhatikan. Di GKMI, jemaat kami melalui majelis bertanggung jawab memikirkan kebutuhan hamba-hamba Tuhan. Prinsip yang kami terapkan adalah Presbiterian Congregational Sinodal. Ada kepemimpinan sinodal, tetapi jemaat yang berhak memutuskan.

Pendapatan Bapak dari tahun ke tahun cukup minim, namun memiliki banyak anak asuh (kurang lebih 55 anak, red). Mengapa Bapak melakukan hal tersebut?

Saya bersyukur memiliki istri yang terpanggil melayani, meskipun dia masih keturunan keraton. Ia banyak membantu pelayanan, khususnya mencari dana untuk beasiswa anak-anak asuh.

Kami memiliki empat orang putra dan seorang putri. Karena anak perempuan kami tidak memiliki teman bermain, maka kami mengambil anak-anak asuh. Itulah awalnya mengapa kami memiliki anak-anak asuh. Setelah itu, anak-anak asuh kami berdatangan. Dari yang tidak mampu membiayai sekolah minggu anak yang sangat nakal. Mereka kami usahakan biaya sekolahnya. Melihat kemajuan anak-anak tersebut, sampai ada anak yang orang tuanya dari Tapanuli mengirimkan kami ulos (kain tenun adat Batak) sebagai ucapan terima kasih.

Bila mereka datang sendiri, mungkin Bapak bisa utarakan apa yang mereka lihat dari keluarga Bapak?

Pertama, mungkin karena istri saya seorang guru. Selain hamba Tuhan, saya juga dulu menjadi guru di berbagai tempat. Kami bergaul dengan anak-anak yang baik sehingga yang sangat nakal. Bila mereka datang, kami terima dan tidak mempermasalahkan latar suku, agama, dan status sosial mereka. Kami juga tidak pernah memaksa mereka berpindah agama bila agamanya berbeda. Bila kemudian ada yang berubah, itu karena kemauan mereka.

Bapak tadi mengatakan bahwa penghasilan yang diperoleh sebagai hamba Tuhan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga Bapak mengajar di sana-sini. Apakah jemaat tidak menuntut supaya Bapak melakukan pelayanan secara maksimal?

Istri saya tahun 1983 pernah bertanya, bagaimana syarat bekerja full-time di GKMI. Ternyata bekerja full-time di GKMI, baik suami maupun istrinya tidak boleh bekerja di tempat lain. Waktu itu istri saya keberatan. Maka kami putuskan saya bekerja part-time sebagai pendeta GKMI. Walaupun demikian, pengembalaan jemaat tetap penuh waktu. Bedanya, hanya boleh bekerja di tempat lain.

Apakah dengan tugas rangkap tersebut tidak mengurangi pelayanan Bapak kepada jemaat?

Tidak. Bila ada warga yang tengah malam sakit, dan sebagainya, jemaat tidak segan-segan mengetuk pintu rumah saya. Secara teori saya bekerja paruh waktu, tetapi sebenarnya saya bekerja dan melayani penuh waktu.

Melihat kesibukan Bapak di luar gereja, apakah ada jemaat yang protes?

Tidak! Mereka tidak melihat saya absen dari pelayanan seperti PA, kunjungan, dan sebagainya. Saya absen pelayanan kalau sakit atau tidak bisa memaksakan diri melayani.

Apa arti membayar harga bagi Bapak?

Pertama, kita sudah ditebus oleh Kristus di kayu salib. Kehidupan itu tidak ternilai harganya bila dibandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini.

Kedua, pengalaman saya sejak kecil banyak tantangan, namun tetap diberkati-Nya. Karena itulah saya memilih menjadi pelayan-Nya. Sepertinya saya ingin membalas kasih Tuhan, yah … seperti Paulus yang dikatakan dalam Filipi, “karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”

Apakah pelayanan yang demikian besar itu merupakan harga yang harus Bapak bayar?

Ya, itu keyakinan saya. Bila kita bekerja untuk Tuhan, berkat Tuhan juga akan mengalir dengan sendirinya. Kalau kita melayani Tuhan, langkah-langkah kita akan diberkati-Nya.

Bagaimana Bapak menerapkan praktek-praktek kehidupan jemaat mula-mula dalam keluarga?

Dalam keluarga yang kami bina, kami berusaha menerapkan prinsip kekeluargaan. Melalui prinsip itu, anak-anak mengerti panggilan orangtuanya. Kami mengajar mereka seperti yang dinasihatkan Amsal, “satu contoh lebih berharga daripada seribu nasehat.” Kami terlebih dahulu memberi teladan perkataan dan perbuatan pada mereka. Selain itu, kami tunjukkan realitas hidup masyarakat, misalnya, bagaimana kesulitan hidup orang lain. Sehingga mereka mensyukuri hidup dan apa yang ada pada mereka.

Dari teladan dan hidup apa adanya, kami tidak pernah mendesak mereka bekerja atau ke gereja. Sejak kecil mereka sudah tahu dan melaksanakan tugasnya. Mereka pun sangat aktif dalam pelayanan. Ada yang main organ, gitar, guru sekolah minggu, dan lain-lain.

Berarti, peranan Bapak dalam kehidupan jemaat sangat besar?

Ya. Saya pernah mendapat peringatan dari sinode. Sudah tua begini masih jadi pendeta. Usia saya sudah 65 tahun. Seharusnya sudah emeritus. Namun jemaat masih tetap meminta saya untuk menjadi pendeta.

Bagaimana Bapak melihat bahwa Bapak lebih dibutuhkan di sini?

Sejak muda, tawaran-tawaran ada, baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun saya berat meninggalkan pelayanan yang sudah dirintis di Depok ini. Saya rindu jemaat bisa dewasa (Juni 1995, jemaat di mana Bapak Rudjito melayani, akan didewasakan).

Apakah Bapak bersedia jika ditawari pindah pelayanan?

Saya pernah ditawari melayani di negeri Belanda. Tetapi waktu itu anak-anak saya belum mandiri.

Dalam buku “I Between The Old” karangan George Muller, dikatakan bahwa di dalam Tuhan tidak ada istilah pikun. Itu karena dalam hidup kita memiliki Roh Kudus. Sampai usia 90 tahun, George Muller masih bisa memberikan ceramah.

Apa saran Bapak?

Bila mau hidup sebagai hamba Tuhan, kita harus punya panggilan yang jelas dan jangan mengutamakan imbalan. Bila jemaat sudah kuat, hamba Tuhan tersebut berhak dipenuhi kebutuhan oleh jemaat.

Mahasiswa harus memiliki visi yang jelas dalam hidupnya sehingga ilmunya dapat diabdikan untuk sesama dan demi kemuliaan-Nya. Bila ia menaati firman-Nya dalam kehidupan, pasti Tuhan memberkati serta menuntun jalan-jalannya. Karena Ia mengatakan, “Cari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *