Apa kita kita sedang berperang?” Demikian celetuk teman saat saya menyebut pendidikan perdamaian. Teman saya ini tidak sepenuhnya salah. Dulu, saya pun punya anggapan bahwa pendidikan perdamaian itu hanya dibutuhkan jika ada konflik senjata atau kekerasan fisik.
Setelah saya pelajari, ternyata pendidikan perdamaian memiliki konteks yang lebih luas. Pendidikan perdamaian adalah bagian dari peace building. Yang dimaksud dengan peace building adalah upaya untuk membangun perdamaian yang lestari dengan mencari akar persoalan konflik. Untuk itu, mereka menggunakan analisis struktural yang mengkritik developmentalisme. Hampir semua negara mengadopsi paham pembangunan ini. Secara konsep, tujuan dari pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua warganegara. Mereka bermimpi, bahwa setiap orang dapat memiliki baju, rumah, makanan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Warga negara juga memiliki pelayanan sosial, seperti kesehatan, sosial, dan keamanan. Demokrasi dilaksanakan, lalu kebudayaan bertumbuh, dan lingkungan hidup dilestarikan serta dilindungi.
Akan tetapi dalam praktiknya, developmentalisme ini telah menciptakan berbagai masalah ketidakadilan. Di Indonesia, pemerintah Orde Baru menjalankan politik pembangunan ini dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Pemerintah memberi ruang yang bebas kepada para pemodal untuk menanamkan modal di Indonesia dengan berbagai tawaran yang menggiurkan: Upah buruh yang murah, hukum lingkungan yang longgar, keringanan pajak, dan yang utama adalah dukungan stabilitas nasional.
Untuk menciptakan stabilitas nasional, pemerintah menerapkan sistem sentralisasi. Pengambilan keputusan dibuat oleh penguasa yang dipatuhi oleh bawahan. Semua partai politik, media massa, dan birokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan rezim Orba ini. Partisipasi rakyat dinihilkan. Namun agar tercipta kesan bahwa ada demokrasi, maka suara-suara rakyat ini ditampung oleh lembaga legislatif yang sebenarnya tunduk pada penguasa.
Lembaga pendidikan juga tak luput dari eksploitasi oleh negara ini. Sebagai bagian dari birokrasi, departemen pendidikan menjadi alat yang ampuh untuk menjinakkan pikiran yang kritis dan menanamkan ideologi negara pada nara didik.
Dengan kekuasaan yang memusat dan ketiadaan kontrol, maka pemerintah berpeluang melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Salah satunya adalah kesempatan melakukan korupsi. Lembaga yudikatif yang mestinya mengemban fungsi penyidikan atas praktik korupsi menjadi mandul karena lembaga ini tidak mandiri. Demi alasan “stabilitas nasional”, maka kasus korupsi haram untuk dibongkar karena dapat mengganggu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga sengaja dibiarkan terjadi karena pemerintah pusat sendiri melakukan korupsi. Maka, praktik ini “menetes” ke bawah sebagai sebuah kelaziman.
Konflik
Maraknya korupsi tidak hanya menguras pundi-pundi negara, tetapi juga berpotensi menciptakan munculnya konflik. Contohnya, dalam penggusuran tanah. Rakyat dipaksa meninggalkan tanah miliknya karena akan digunakan untuk pembangunan proyek pemerintah atau pabrik. Ganti rugi yang diterima pemilik tanah sangat rendah. Sisa pembayaran tanah dikantongi oleh calo-calo tanah yang bekerja sama dengan pemerintah. Namun demi “pembangunan”, mereka harus pindah. Rakyat yang tidak bisa menerima kondisi ini akan melawan balik.
Contoh lainnya, penduduk di sekitar aliran sungai di perkotaan mengalami gangguan kesehatan karena mengkonsumsi air yang tercemar buangan pabrik. Pemerintah enggan menindak pabrik yang tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah dengan dalih jika pabrik itu ditutup maka timbul pengangguran. Pada kasus-kasus tertentu, kasus pencemaran lingkungan berakhir secara “damai,” sebagai penghalusan ungkapan dari penyuapan. Di sini tersimpan potensi konflik. Masih ada lagi potensi konflik akibat praktik korupsi.
Akhir-akhir ini, kita cenderung menyelesaikan konflik dengan menggunakan kekerasan atau yang populer disebut aksi anarkis. Sebagai contoh, sekelompok massa di Lampung membakar pabrik karena tanah mereka diserobot untuk perkebunan. Di Bima, massa membakar rumah dinas bupati untuk menuntut pencabutan izin tambang.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Kita didorong untuk menunjukkan solidaritas, bukan kasihan. Jika Anda memberikan sedekah pada pengamen anak jalanan itu adalah karena kasihan. Begitu uang yang Anda berikan itu habis, maka mereka akan kembali ke jalanan. Hidup mereka tidak berubah. Namun dengan menunjukkan solidaritas, maka Anda mendukung upaya mereka untuk memperbaiki hidup mereka. Di sini Anda dapat menggunakan pendidikan perdamaian. Di dalam pendidikan perdamaian ini, partisipan diajak untuk menganalisis akar dari ketidakadilan yang mereka alami. Setelah itu merumuskan tindakan yang berbasis pada nilai-nilai berikut ini:
- Nir-kekerasan
- Menghormati HAM dan kebebasan orang lain
- Toleransi dan solidaritas
- Komunikasi yang transparan dan terbika
- Partisipasi penuh dan kesetaraan bagi perempuan
Pendidikan antikorupsi di sekolah
Pendidikan dan pembudayaan antikorupsi akan masuk ke kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi mulai tahun 2012. Pemerintah akan memulai proyek percontohan pendidikan antikorupsi di pendidikan tinggi. Materi antikorupsi ini tidak akan menjadi mata kuliah tersendiri, namun diselipkan di dalam mata kuliah di perguruan tinggi atau mata pelajaran di sekolah.
Di satu sisi, kabar ini menggembirakan. Tapi di sisi lain, terselip pikiran skeptis mengingat Kementerian Pendidikan masih menjadi sarang bagi “tikus-tikus” koruptor. Meski rezim Orde Baru sudah tumbang, reformasi di bidang pendidikan masih belum memuaskan. Perilaku para pendidik masih mewarisi mentalitas birokrat zaman Orba. Padahal, pendidikan antikorupsi itu bukan sekadar hafalan pelajaran, melainkan sebuah nilai yang dihayati dalam kehidupan. Hal ini diakui sendiri oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. Dia mengatakan bahwa budaya antikorupsi dan kejujuran tidak cukup hanya diajarkan lewat bangku sekolah, melainkan harus dipraktikkan. “Membangun dan menegakkan budaya kejujuran itu harus diuji, tidak cukup hanya diajarkan, namun harus dipraktikkan dan dibudayakan sejak dini,” kata pak menteri.
Di dalam pendidikan antikorupsi dibutuhkan keteladanan. Bagaimana mungkin mengajarkan antikorupsi pada murid-murid jika guru sendiri masih membolos mengajar atau “mendiskon” jam pelajaran? Bagaimana mungkin menanamkan kejujuran jika pihak sekolah sendiri tidak jujur dalam mengelola BOS (Bantuan Operasional Sekolah)?
Karena itu, saya meletakkan harapan pada lembaga-lembaga yang berada di luar struktural pemerintah untuk mengkampanyekan budaya antikorupsi. LSM dan gereja dapat berperan melakukan penyadaran pada masyarakat akar rumput dan jemaat tentang penyebab dan akibat dari korupsi dengan metode partisipatif. Mereka dapat mengadopsi metode-metode yang disediakan di dalam “Peace Building.” Di dalam Peace Building ini, partisipan diajak melakukan analisis kritis tentang sebab-akibat dari korupsi berdasarkan kondisi nyata dalam kehidupan mereka. Jika mereka tahu bahwa perilaku korupsi itu banyak merugikan, maka timbul kesadaran untuk hidup yang jujur dan transparan.
Untuk inilah kita dipanggil sebagai “peace maker”, sebagaimana dikatakan oleh Yesus, “Blessed are the peacemakers: for they shall be called the children of God.”
————-
*Dituliskan oleh Purnawan Kristanto penulis buku, aktivis LSM, dan relawan tanggap bencana. Pernah ikut pelatihan Peace Building oleh Mindanao Peacebuilding Institute, Filipina
**Diterbikan dalam majalah Dia II, Edisi 2012