Pentingkah PendidikanAntikorupsi dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan? Jelas penting. Kalau begitu, sebaiknya Pendidikan Antikorupsi ini dimulai dari jenjang pendidikan mana? Di pendidikan dasar, khususnya di SMA (Sekolah Menengah Atas), ataukah di pendidikan tinggi, dalam arti di universitas, sekolah tinggi maupun akademi? Menurut hemat saya, karena kurikulum pendidikan di SMA sudah sedemikian padatnya, mungkin lebih baik dimulai dari jenjang pendidikan tinggi saja.
Nah, di perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman saya sebagai dosen selama ini, kurikulumnya agak fleksibel, jadi Pendidikan Antikorupsi masih bisa disisipkan di sana-sini sebagai mata kuliah pilihan, atau boleh juga ditambahkan sebagai mata kuliah wajib. Yang penting, bobotnya jangan terlalu berat. Maksimal dua SKS saja.
Sebelum membahas mata kuliah Pendidikan Antikorupsi ini lebih mendalam, tentu kita perlu membicarakan terlebih dulu apa dan bagaimana itu korupsi. Dengan demikian, niscaya kita bersepakat nanti bahwa korupsi itu memang harus diperangi.
Korupsi dan dampaknya
Dewasa ini, korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Mengapa? Jelas, karena dampak negatif yang ditimbulkannya juga luar biasa. Korupsi itu merugikan dan merusak, baik negara maupun rakyat, dan tak hanya secara materil tapi juga non-materil. Karena korupsilah, maka Indonesia sulit maju dan lambat membangun. Sebab, kekayaan negeri ini telah banyak dicuri oleh para “perampok berdasi” itu selama ini.
Karena korupsi pulalah, Indonesia kerap dipermalukan di forum-forum regional maupun internasional. Bayangkan, menurut survei terbaru World Justice Project yang dirilis 13 Juni 2011, praktik korupsi di Indonesia menempati posisi ke-47 dari 66 negara yang disurvei di seluruh dunia. Sementara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, peringkat ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan ke-2 dari paling buncit sebelum Kamboja. Sementara menurut hasil survei Persepsi Korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik.
Tidakkah hasil-hasil survei tersebut membuat kita malu? Terkait Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang katanya dulu akan berdiri di garda depan dan bekerja siang-malam dalam rangka memimpin upaya pemberantasan korupsi, ternyata akhir Februari lalu malah disoroti secara negatif oleh sebuah majalah ekonomi terkemuka di dunia, The Economist.
Dalam tajuknya, majalah itu menyebut Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok orang Indonesia yang sukses mengelola negara dan partainya. Selain itu, The Economist secara terang-terangan menyebut SBY kini tampak seperti lame duck alias bebek lumpuh. “Barely half-way through his second term, Mr Yudhoyono already looks like a lame duck,” tulis majalah itu (dikutip dari www.inilah.com, 29/2/2012). Apa alasannya? Karena ia begitu lamban bertindak dan kerap takut mengambil keputusan terkait kasus-kasus korupsi.
Baik di jajaran kabinet maupun di partainya, sejumlah orang yang terlibat korupsi dibiarkannya saja (tidak dipecat atau setidaknya dinonaktifkan), dengan alasan menunggu putusan pengadilan. Tapi herannya, di sisi lain, SBY malah pernah memberikan grasi kepada seorang terpidana koruptor dengan alasan sakit parah. Itulah Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang tahun 2010 dibebaskan dari tahanan karena menerima “pengampunan” dari SBY sebagai kepala negara. Setelah bebas, Syaukani langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur, untuk beristirahat di sebuah rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit. Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Sudah mencuri uang negara, kok malah diampuni, dan ternyata masih kaya-raya pula.
Korupsi, secara sederhana, adalah tindakan perseorangan maupun kelompok untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang melanggar hukum. Apakah ia hanya terkait dengan orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga negara? Tidak. Di lembaga-lembaga non-negara pun korupsi bisa terjadi. Apakah ia hanya terkait dengan tindakan mencuri atau mengambil uang? Tidak, karena memberi uang pun (bahkan sesuatu yang bukan-uang), jika bertujuan mempengaruhi pihak lain dengan maksud agar pihak lain itu lalu melayani kepentingannya, juga termasuk korupsi. Itulah yang disebut suap—atau yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut “setoran/menyetor”, “sogokan/menyogok”, dan yang sejenisnya.
Begitulah, cukup banyak jenis tindakan yang terkategori sebagai korupsi. Kalau mau memahaminya lebih dalam, silakan kunjungi situs korupedia.org. Kita patut bersyukur ada aktivis-aktivis antikorupsi yang selama ini telah berjerih-lelah dalam rangka berpartisipasi memerangi korupsi di negara ini. Salah satu karya mereka adalah sejenis ensiklopedia korupsi Indonesia itu. Kita bisa berkontribusi di dalamnya, misalnya dengan cara memberikan data-data korupsi atau foto-foto koruptor, dan lain sebagainya. Ayo, mari kita manfaatkan wahana yang tersedia ini. Jangan pasif, kalau betul-betul kita ingin menjadi berkat bagi Indonesia.
Jangan hormati koruptor
Kembali pada korupsi, yang adalah sebentuk kejahatan luar biasa, maka upaya memeranginya pun harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Tentu ada banyak alternatif strategi yang bisa kita pikirkan. Namun yang pasti, jangan sekali-kali memberi hormat kepada koruptor. Tak peduli mereka banyak uang dan kerap menyumbang bagi kegiatan-kegiatan sosial bahkan keagamaan. Kita tak boleh iba kepada mereka. Sebab, penghormatan dan iba membuat korupsi cenderung menjadi banal: sebuah proses (banalisasi) yang membuat tindakan kejahatan itu akhirnya dianggap “jamak”, sehingga tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang harus diperangi.
Kalau perlu bahkan para koruptor itu dipermalukan, agar efeknya membuat orang-orang lain menjadi takut untuk melakukan korupsi. Misalnya saja, menjatuhkan hukuman dalam bentuk berbagai jenis kerja sosial yang harus mereka lakukan di ruang-ruang publik seraya memakai busana khusus yang didesain untuk para koruptor. Atau, boleh juga seperti idenya Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menempatkan mereka di “kebun koruptor” yang dapat disaksikan publik kapan saja.
Pendeknya, ingatlah apa yang pernah dikatakan Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat ’trickle down effect” (Tempo, 16/9/2007).
Pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi
Upaya lainnya, ya itu tadi: melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi. Di sini, persekutuan mahasiswa maupun alumni Kristen boleh juga melakukan upaya yang paralel, dalam arti memasukkan beberapa topik terkait korupsi di dalam kurikulum pembinaan kerohaniannya. Untuk itu kita bisa merancangnya dari sekarang.
Pendidikan Antikorupsi tentu saja memerlukan waktu lama untuk dapat menghasilkan perubahan-perubahan positif. Namun, kita boleh optimis bahwa para mahasiswa maupun alumni kelak dapat menjadi motor gerakan anti-korupsi di mana-mana. Apalagi di sisi lain, pemerintah cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mencanangkan untuk melaksanakan Pendidikan Antikorupsi mulai tahun ajaran baru 2012-2013. Oleh pemerintah, Pendidikan Antikorupsi ini akan diajarkan sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan itu tak hanya diberlakukan bagi siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah. Hanya saja pelajarannya diintegrasikan dengan pendidikan karakter.
Di sinilah bedanya dengan usulan saya di atas, bahwa Pendidikan Antikorupsi ini sebaiknya mandiri sebagai mata kuliah (atau mata pelajaran, kalau di sekolah). Tapi tak menjadi masalah jika ada sedikit perbedaan. Yang penting tujuannya adalah: memberi pemahaman kepada generasi muda peserta didik tentang apa dan bagaimana korupsi, mengapa korupsi harus diperangi, dan bagaimana cara-cara memeranginya.
Hal lain yang juga penting adalah metode pendidikannya. Pendidikan Antikorupsi ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi kombinasi antara teori (perspektif sosiologis, hukum, dan lainnya), kunjungan lapangan, diskusi, simulasi, pemutaran film, dan lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan Pendidikan Antikorupsi tidak menjadi sebentuk pelajaran yang menjemukan. Khususnya melalui diskusi, peserta didik haruslah didorong untuk mengelaborasi perihal tindakan-tindakan (kebiasaan-kebiasaan) apa saja yang sebenarnya identik dengan korupsi, seperti sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, menggunakan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi, dan yang sejenisnya.
* Dituliskan oleh Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
**Dietrbitkan dalam majalah Dia edisi II, tahun 2012