Batara Pane:
Kasih, Antara Kemasan dan Isi

Citra dan Kepribadian

Citra manusia tidak lepas dari kemasan-kemasan yang ada pada dirinya. Ada kemasan dalam (rohaniah) , juga kemasan luar (fisik) yang nampak melalui tingkah laku, cara berjalan, pakaian dan perhiasan yang dipakai, mobil yang dimiliki dan lain-lain. Semuanya ini identik dengan harga diri manusia. Harga diri ini begitu penting, sehingga manusia tidak rela nilai ini dipermainkan orang lain.

Manusia selalu ingin dilihat “baik” oleh orang lain, ingin terus dianggap “hebat”. karena itu manusia berjuang sedapat mungkin agar citra tersebut dapat terus dijaga bahkan ditingkatkan. Untuk hal itu, acapkali ia harus menutupi kebobrokan didalam, dengan kemasan munafik. Yang penting ia dapat terus terlihat berharga dihadapan oran lain. Memang ada juga orang-orang yang justru merasa berharga dengan melakukan tindakan-tindakan tercela dan tidak patut, seperti main perempuan, berkelahi dan tindakan kekerasan lainnya. Tetapi secara umum manusia ingin dilihat berharga dalam pengertian “baik”.

Ada hal yang tidak dapat ditutupin manusia, karena begitu mendasar, dan terbentuk melalui proses waktu, yaitu kepribadian.

Kepribadian terbentuk melalui berbagai pengaruh yang bersaing saling mempengaruhi. Ada pengaruh dari orang tua, sehingga bila orang tua mempunyai hobi bohong, anak pun akan mengikuti teladannya. Sebaliknya, bila orang tua menikmati saat teduh, maka kita pun -sebagai anak-anak- akan ingin saat teduh. Teman-teman juga tidak kalah hebat dalam mempengaruhi hidup kita. Bila teman-teman biasa nyontek dan tidak jujur, mungkin kita ikut terpengaruh. Tetapi kalau dekat dengan teman-teman yang disiplin dan tekun belajar kita pun akan kena cipratan teladannya.

Hal yang lain yang tidak dapat diabaikan dalam pembentukan pribadi seseorang ialah pendidikan formal. Melalui pendidikan formal orang dapat lebih bijaksana, tetapi juga dapat lebih ekstrim karena indoktrinasi paham-paham tertentu.

Begitu pula dengan media cetak dan elektronik. Pada zaman yang begitu canggih seperti saat ini, media-media tersebut dapat menjadi anak-anak panah yang menembus hidup orang Kristen, bahkan juga membuat kita menjadi tawanan pengaruhnya. Sehingga tanpa disadari kita sudah memberikan banyak waktu menonton televisi, hanya untuk dirusak oleh kepuasan yang ditimbulkan kekerasan dan kemewahan yang disajikan.

Satu lagi yang perlu disadari adalah bahwa kita makhluk rohani. Roh kita dapat dipengaruhi berbagai spirit. Ada pengaruh positif yang membawa kepada pengenalan yang benar akan Tuhan. Tetapi, juga ada pengaruh negatif yang membawa kepada kesesatan. Pengaruh ini kita peroleh melalui pendidikan rohani, baik  yang diberikan orang tua atau para pembina rohani. Bila mereka memberikan pengaruh benar, maka benarlah kita, tetapi bila mereka memberikan pengaruh negatif, maka celakalah kita !!

Pembentukan kepribadian diperoleh tidak hanya melalui pengajaran rohani, juga teladan. Sebab, mungkin saja yang diajarkan hal-hal benar dan patut, namun kita tidak memperoleh keteladanan. Bila pengajaran pengetahuan dan keteladanan hidup diberikan orang tua dan atau kakak-kakak pembina rohani tidak klop, mungkin saja kita kecewa dan hancur.

 

Jadi secara keseluruhan hidup kita dibayang-bayangi dua kekuatan besar: baik dan jahat. Yang dominanlah yang akan menang.Pengaruh-pengaruh ini memberi berbagai warna dalam kepribadian seseorang. Ada warna hitam kelam, kelabu dan putih. Warna-warna dasar ini tidak dapat ditutupi yang empunya. Pasti akan tampak dan mencuat dengan sendirinya. Tidak satu pribadi pun yang dapat menutupinya dengan topeng tertentu. Apalagi kalau kita ingat bahwa manusia tidak mungkin sejahtera dalam kejahatannya, karena manusia dicipta sebagai makhluk bermoral.

 

Farisi-Farisi masa kini

            Matius ayat 12:35 mengatakan bahwa orang baik mengeluarkan hal-hal baik dari perbendaharaan yang baik dan orang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan yang jahat.

Kalau melihat orang Farisi kita akan bertemu satu sosok kehidupan yang dari luar sepertinya baik, namun sebenarnya tidak. Mereka seakan berpegang begitu ketat pada taurat Musa dan memperjuangkan kebenaran. Padahal bila diamati lebih dalam sesungguhnya ketaatan mereka adalah ketaan lahiriah bukan batiniah. Ketaatan mempertahankan hukum, bukan karena kasih. Mereka menipu banyak orang dengan ketaatannya, dan memanipulasi dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga orang lain menyukai mereka. Walaupun begitu sikap munafik ini tidak akan bertahan lama karena suatu saat akan ketahuan juga belangnya. Bagaimana mungkin orang yang berpegang pada kebenaran, pada waktu yang sama bersengkongkol untuk membunuh? (Mat 12:14). Itu mustahil! Tuhan Yesus pun sangat mencela sikap munafik kaum Farisi ini, sehingga Ia mengkritik dan membongkar kebejatan mereka.

Itulah orang Farisi! Bagaimana dengan kita, orang Kristen?

Sama halnya dengan kaum Farisi, kita juga memiliki kemasan-kemasan Kristen. Mungkin itu berbentuk kaos oblong dengan semboyan Alkitab, stiker Kristen yang ditempel di kaca mobil atau kalung salib. Kemasan-kemasan tersebut membuat kita dikenal sebagai orang Kristen yang baik. Adalagi kemasan  yang lebih dalam -lebih rohani dari kemasan-kemasan tersebut. Misalnya, tahu luar kepala sebagian isi Alkitab, aktif melayani dan mempunyai berbagai sertifat teologia. Kemasan-kemasan ini membuat kita tampak sangat rohaniah. Harus diingat, semuanya itu hanya nilai-nilai luar. Tidak mempengaruhi batin si empunya sertifikat. Selama batin belum bersih, kekacauan akan selalu timbul. Apa yang didalam memang tidak mungkin ditutupin berbagai hiasan keemasan diluar. Kita sudah melihat bukti-bukti jelas, misalnya dalam kehidupan kegerejaan. Banyak serigala berbulu keemasan, dengan kilauan jubah toganya serta deretan gelar keagamaan. Kemasan yang justru merusak anak-anak Tuhan yang tulus hati mengharapkan sentuhan cahaya keemasan sang Guru. Bukan hanya mereka yang khusus terjun dalam bidang rohani, orang awam pun, demikian pun halnya. Amat banyak orang Kristen mengaku cukup rohani, namun tidak terlepas dari kemunafikan. Kita seringkali tidak jujur. Kita bertindak seolah-olah memiliki sesuatu, padahal nol besar! Kita mungkin mempunyai kebenaran, tetapi hanya diotak, tidak mempengaruhi hidup kita. Tidak ada artinya. Masalah ini, sangat urgen dan vital, harus segera dibereskan. Kalau tidak, tak akan ada pertumbuhan, kebangunan, kebenaran dan kesejahteraan.

 

 

 

 

Nilai dan Buah Roh

Sesungguhnya nilai kita bukan dari dunia. Bukan hanya sesuatu yang sekedar dilihat mata, ada yang jauh lebih dalam dan berharga. Nilai-nilai tersebut kita peroleh karena Allah yang maha kaya ada didalam diri orang Kristen. Nilai kita bukan saja karena dalam diri kita ada Roh Allah, juga karena manusia dicipta sesuai dengan peta dan teladanNya. Manusia memiliki sifat rohani, moral, rasional, kekal, penguasaan, kreatif, relasi, persekutuan, pengharapan dan konsep kesempurnaan. Hal-hal ini memungkinkan Allah memberi dan membentuk nilaiNya yang begitu tinggi dan mulia di dalam diri manusia. Inilah nilai kita! Suatu nilai yang tidak dapat dibandingkan dengan nilai di dunia ini. Pengetahuan kebenaran ini seharusnya membuat kita mantap menghadapi hidup.

Masalahnya, kita seringkali amat bodoh! konsep nilai kita begitu dipengaruhi nilai dunia. Misalnya, konsep dunia tentang kekayaan, kekuasaan, dan kemuliaan, kita jadikan pegangan hidup. Akhirnya kita berjuang mendapatkan harta sebanyak-banyaknya, kekuasaan sebesar-besarnya, kedudukan setinggi-tingginya yang tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai Allah.

Jalan keluar  yang kita tempuh, barangkali adalah ingin memadukan keduanya. Nilai dunia begitu rill, tetapi kita juga tidak mau meninggalkan nilai Allah. Kita ambil dua-duanya-setengah-setengah! Kita terjebak!

Diatas sudah disinggung, nilai sejati kita adalah ketaan kepada Allah. Dalam kehidupan yang penuh dengan ketaatan dan penyerahan maka Roh Allah lah yang berkuasa atas hidup kita. Orang yang demikian meskipun berbicara tentang Kristus secara singkat, segera dikenali bahwa dia benar-benar dipenuhi Roh Kudus. Seseorang yang dipenuhi Roh Kudus tidak perlu meminta rekomendasi apapun dan dari siapapun. Ia tidak seperti orang yang tidak mengenal Tuhan, yang meminta surat rekomendasi buatan manusia yang sifatnya dangkal, bergantung pada gelar pendidikan agama, sertifikat baptisan, dokumen penahbisan atau sertifikat keanggotaan gereja. Ia hanya bergantung pada rekomendasi Allah.

Orang tersebut tidak akan mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi mengandalkan Allah. Ia dapat terus memancarkan cahaya kemuliaan Kristus yang tidak pernah pudar. Sebaliknya jika kita hidup dengan kekuatan sendiri akan disertai dengan peraturan rohani yang ditentukan sendiri, kita akan menghadapi kelemahan dan ketidakmampuan yang luar biasa.  Kita akan sangat tertekan jika orang disekitar melihat kelemahan-kelemahan kita karena kejayaaan yang kita coba pertahankan dengan sekuat tenaga, ternyata makin redup cahayanya. Kita berusaha melindungi redupnya cahaya kejayaan dengan selubung cadar atau topeng rohani. tetapi topeng-topeng ini justru akan membuat kita semakin jauh dari Tuhan. Topeng-topeng itu harus disingkirkan, bila kita yang telah lemah, ingin kembali memperoleh kekuatan dan memancarkan kemuliaan Allah.

Dalam kehidupan kristiani sehari-hari adalah satu pergumulan tersendiri untuk senantiasa memancarkan kemuliaan Allah. Karena rongrongan iblis, keinginan daging dan keinginan dunia senantiasa menggoda. Persekutuan dengan Tuhan harus diperketat sehingga kita terus memperoleh hikmat dari Tuhan, memancarkan kemulian Allah kepada setiap orang. Kita akan memiliki hikmat mengkomunikasikan kebenaran kepada lingkungan sekitar. Kita akan ditolong mengendalikan diri, sabar menunggu Tuhan memakai pada waktuNya. Dengan demikian kita akan memancarkan cahaya kemuliaan Allah secar efisien dan efektif. Memang benar, kalau kita benar-benar mau dikuasai Allah, maka dari diri kita akan keluar buah-buah baik. Buah-buah yang memuliakan Tuhan dan membangun sesama. Disitulah letak keindahan diri kita.

Kasih dan komunikasi

Nilai penting yang sifatnya langsung berhubungan dengan orang lain ialah kasih. Kasih adalah tanda orang Kristen. Tanpa kasih, ia bukan orang Kristen, meskipun memiliki KTP Kristen. Saling mengasihi adalah perintah Tuhan Yesus sendiri sebelum meninggalkan murid-muridNya: “…Aku memberikan perintah baru kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:34-35).

Sebenarnya, yang mendorong kita sehingga mau takluk kepada Tuhan dan memancarkan cahaya kemuliaanNya adalah kasih kepada Tuhan dan sesama. Dalam kasih kepada sesama, kita tidak boleh membeda-bedakan antara kasih kepada umat Kristen dengan non Kristen sebab semuanya sama dihadapanNya.

Hal praktis yang perlu diperhatikan dalam mengasihi adalah bahwa jika kita berbuat salah dan jika kita gagal mengasihi sesama Kristen, kita harus pergi kepadanya dan berkata, “maaf.” memang ini tampaknya sederhana. Melakukannya tidaklah mudah. Sudah berapa kalikah kita pergi kepada rekan seiman dan mengatakan kepada mereka, “maafkan saya, saya menyesali apa yang telah saya lakukan, apa yang telah saya lakukan, apa yang telah saya katakan atau apa  yang telah saya tulis?”

Selain penyesalan-minta maaf, hal yang kedua dalam mengasihi adalah adanya pengampunan. Mengampuni mungkin lebih berat daripada mengatakan, “maafkan saya!” tetapi kita harus melakukan hal ini sebagai tindakan nyata mengasihi orang lain.

Kasih juga, dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan teguran dan nasihat. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam  mengkomunikasikan isi hati kita kepada orang lain, khususnya dalam hal menegur. Tidak selalu apa yang kita anggap benar, atau baik, harus diutarakan saat itu juga. Ada beberapa faktor perlu diperhatikan:

Pertama, teguran itu pada umumnya menyakitkan. Mengapa demikian? Karena memang menyangkut kemasan keemasan atau harga diri/nilai seseorang. Melalui teguran, seolah-olah nilai atau harganya diturunkan dan kelemahannya diungkit.

Kedua, kesiapan hati kita. apakah motivasi kita murni? Adakah emosi-emosi ingin menjatuhkan dia atau ingin menang?

Ketiga, kesiapan orang yang ingin ditegur. Apakah ia dalam kondisi lelah atau stres? Kalau ya, tunggu waktu yang tepat.

Keempat, jangan didepan umum tetapi secara pribadi.

Pada kenyataan nilai atau ciri kristiani ini sulit terlihat pada diri orang Kristen. yang terlihat justru nilai-nilai buruk, yaitu perpecahan, perkelahian dan lain-lain. Mengapa demikian? Mudah dijawab! Bukankah sudah kita singgung diatas bahwa kita dapat menjadi Farisi-farisi masa kini? Luarnya bagus – berjubah dan bersalib, tetapi dalamnya bobrok. Sehingga walaupun jika kita “berpakaian putih” tetap saja yang keluar adalah perkataan dan perilaku “hitam”, karena dasarnya nilai kita “hitam”!

 

Kasih dan Kesatuan

Apa yang harus diperbuat kalau kita terpaksa harus berbeda dari saudara-saudara akibat mengemukakan kekudusan Allah dalam ajaran dan dalam hidup?

Pertama dan yang terpenting adalah jangan membangun diri sendiri dengan meruntuhkan orang lain. Biarlah perbedaan yang ada membuat kita penuh penyesalan dan linangan air mata. Menyesal mengapa ada perbedaan, bukan sebaliknya, berusaha menang dan meruntuhkan orang lain.

Kedua, memperlihatkan kasih sejati pada dunia. Dalam 1 Kor 5:1-5 Paulus memarahi Gereja Korintus karena membiarkan orang yang hidup dalam perzinahan bertahan dalam Gereja tanpa hukuman. Makin besar suatu kesalahan, makin penting memperlihatkan kekudusan Allah, untuk berbicara dengan jelas mengenai kesalahannya. Bersamaan dengan itu, makin sengitnya perbedaan, makin pentinglah kita mencari Roh Kudus agar mencakapkan kita memperlihatkan kasih terhadap mereka yang berbeda pendapat. Setelah Paulus menegor orang tersebut, Paulus menulis lagi kepada mereka dalam 2 Kor 2:6-8. Melalui surat ini Paulus menegor orang-orang Korintus karena mereka tidak menunjukkan kasih kepada orang yang ditegurnya. Orang tersebut dibiarkan tersisih.

Ketiga,  kasih itu mahal. Orang Kristen harus menunjukkan kasih yang praktis ditengah-tengah perbedaan. Kata kasih itu tidak boleh berwujud panji-panji. Dengan kata lain, kita harus melakukan yang baik dan bermanfaat sebagai ungkapan kasih.

Sering orang mengira, bahwa agama Kristen itu lunak, hanya semacam kasih yang “luwes”, yang mengasihi kejahatan sama dengan mengasihi kejahatan. Anggapan ini tidak alkitabiah kekudusan Allah harus diperlihatkan bersamaan dengan kasih. Karena itu kita harus berhati-hati, jangan menyebut benar apa yang salah. Kita bertanggung jawab mengatakan bahwa yang salah salah. Tapi kasih yang dapat disaksikan itu harus ada tanpa memperhitungkan harganya. Apakah artinya ini? Gereja tidak boleh membiarkan adanya kesalahan. Orang Kristen seharusnya lebih suka menderita kerugian secara praktis untuk meperlihatkan kesatuan masyarakat Kristen sejati. Ini jauh lebih baik daripada pergi ke pengadilan untuk mengadukan Kristen sejati lainnya. perbuatan ini akan merusak kesatuan yang mudah diamati oleh dunia yang menonton. Inilah kasih yang mahal, tapi inilah justru kasih yang diterapkan, yang dapat dilihat.

Keempat, mendekati persoalan lebih kearah keinginan untuk memecahkan persoalan tersebut daripada keinginan menang.

 

Mulai dengan Nilai Sejati Allah

             Kita bersyukur hidup kita dipenuhi kemasan Allah. Kemasan yang nilainya sangat tinggi sekali sehingga kita bahkan tidak dapat membandingkannya dengan dunia ini. Karena itu teruslah dalam nilai sejati Allah.

Dalam hidup di dunia nilai dari Allah tersebut akan sering mengalami goncangan. Dengan hidup jujur kita akan mampu mengatasinya. Namun dengan rendah hati harus diakui, bahwa selama masih ada dunia ini, kita memiliki banyak kelemahan. Banyak hal dalam diri yang harus terus kita perbaiki. Biarlah teguran dari rekan boleh kita terima dengan lapang dada, tanpa harus merasa jatuh harga. Karena sesungguhnya harga kita adalah anugrah Allah. Suatu kemasan keemasan dari Allah pencipta alam semesta raya yang kaya raya.

 

**Penulis adalah alumni fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) dan sekarang bekerja di Perkantas. 

Berikan tanggapan