Thomas Nelson P.:
Live and Let Die?

Dia, sebut saja Tomy, lahir karena kekeliruan teknis. Orang tuanya sudah menggunakan kontraseptif, tetapi toh dia tetap “lahir”. Meskipun pembuahannya tidak diinginkan, setelah lahir dia menjadi anak yang diinginkan oleh kedua orang tuanya. Pernah, Tomy diserang oleh rasa putus asa. Apa yang dilakukannya selalu gagal, dan kawan-kawan seolah-olah menghindari dirinya. Dia lalu mengeluh pada ibunya, “Alangkah baiknya kalau saya tidak pernah dilahirkan.” Pernah, ibunya saat marah karena dia nakal, menggerutu, “Memang sebaiknya kamu tidak dilahirkan dulu.” Semua orang memang tidak tahu sejarah kelahirannya, dan ada baiknya begitu.

Kita tidak dapat menentukan waktu atau kepastian lahirnya kita. Apakah akan berlangsung dengan aman? Kita tidak dapat memilih orang tua, begitu pula tempat lahir dan lingkungannya, di negara mana, serta bagaimana masa pasca lahir sampai mati. Sadar atau tidak sadar, waktu lahir kadang-kadang dipercepat oleh dokter yang sibuk. Kita lahir dengan menangis, sedih meninggalkan rahim yang aman dan surgawi, bebas dari hak dan kewajiban. Waktu itu kita tidak perlu makan sendiri, apalagi bekerja. Kita menjerit ketika lahir, menguji-coba paru-paru kita, alat suara kita, juga sebagai tanda takut akan ketidakpastian dunia yang kita masuki, dan sebagai propaganda pertama bahwa kita sudah ada di dunia. Kita dilahirkan di antara air kecil dan air besar, seolah-olah untuk mengingatkan kita kembali akan asal-usul kita setelah kita bergelimang uang, kekuasaan, dan keindahan.

Kematian juga tidak kita ketahui kapan datangnya. Kadang-kadang setelah maut mendekat, manusia merasa ajalnya akan tiba. Kadang-kadang mati kita pilih sendiri dan kita inginkan, misalnya karena putus harapan, penyakit terminal, sebagai protes, atau untuk mati syahid dalam melaksanakan “tugas yang lebih tinggi” atau ekstrem. Mati dapat dipercepat oleh lingkungan dan dihambat oleh kedokteran atau sebaliknya diperlambat oleh lingkungan dan dipercepat oleh kedokteran. Tidak biasa manusia memekik saat akan mati, kecuali dalam pembunuhan atau kecelakaan. Biasanya manusia justru mengerang dan merintih, seakan-akan enggan meninggalkan dunia, atau lenyap begitu saja seperti lilin yang perlahan-lahan padam.

Antara lahir dan mati, di sinilah manusia bermain. Baik perseorangan maupun masyarakat berusaha agar masa ini panjang dan nyaman. Manusia berburu di masa ini; di zaman purbakala ia berburu hewan, sekarang ia berburu uang, dan uang ini yang dipertukarkannya dengan kebutuhan hidup yang bermacam-macam dan sebagian besar, sebenarnya, tidak perlu. Usaha berburu uang berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi obsesi dan kompulsi bagi manusia, sehingga tujuan hidupnya menjadi mengumpulkan harta untuk hidup nyaman, meraih status sosial yang terkemuka dan kekuasaan, yang sebenarnya, cara itu sekarang menjadi tujuan utama. Jadilah manusia zoon oekonomikon [hewan ekonomi]. Sekarang ada kecenderungan sekolah diharuskan mendidik murid untuk “siap mencari uang” atau “siap dipakai orang lain untuk mencari uang”. Manusia dianggap sebagai sumber daya ekonomi dan modal industri. Manusia dilahirkan dan dididik untuk menjadi baut mesin pencari uang. Inilah yang dianggap pendidikan yang relevan. Manusia hanya berguna kalau ia menjadi bagian dari mesin ekonomi, kalau tidak, jumlahnya harus dibatasi.

Rekreasi pun dipakai untuk mencari uang. Orang berekreasi dengan berjudi dan bertaruh, dan yang lain mencari uang dari orang yang mencari rekreasi itu. Segala-galanya berputar di sekitar uang. “Maka berkuasalah Dewa Bumi – Uang,” kata Goethe. Dan Shakespeare menambah, “jika uang berjalan di muka, segala pintu akan terbuka.” Hidup manusia menjadi gersang. Secara jasmani ia raksasa, dengan pakaian berlapis-lapis, tetapi secara rohani ia kerdil dan secara mental ia bugil. Sampai batas tertentu, serba-ekonomi dapat memperkaya kita, tetapi di atas itu, ia malah memiskinkan kita.

Tomy, setelah menghadapi depresinya, menjadi sangat bersemangat untuk hidup efisien dan produktif. Dia semakin sadar bahwa hidupnya terletak di pundaknya sendiri. Setelah kita lahir, hidup rupanya adalah keharusan. Dia sadar bahwa banyak hal tentang kelahiran dan kematian tidak dapat kita tentukan. Maka, dengan pragmatis dia mulai memahat hidupnya sendiri. Hidup ini tidak lain daripada mencari uang; tanpa uang, segala-galanya omong kosong melompong pong…pong… tapi bukan Pong Harjatmo. Namun, berburu uang, seperti juga berburu binatang liar di hutan, ada risikonya juga. Dia berhasil mencapai status sosial, kemewahan, penyakit peradaban, penyakit manajer, atau penyakit duduk.

Saat kematian Tomy, upacara pemakamannya dan makamnya cukup mewah, tetapi pada batu nisan yang mungil hanya tertera tulisan pendek: “Tomy bin Tomo – Lahir tanggal sekian – Pontang-panting Mencari Uang – Mangkat tanggal sekian”.

Kasihan. Tomy, menjadi orang Kristen berarti menjadi seseorang yang hidup dan dinamis; seorang manusia yang hidup dengan gairah yang bukan kepalang dan sukacita yang melimpah-limpah untuk melayani Dia dan sesama manusia. 


—– Dituliskan oleh Thomas Nelson P.

—— Diterbitkan pada  edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010, Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *