Dra. Inggriani Samuel:
Peran Wanita, Penolong atau Perongrong?

Dra. Inggriani Samuel adalah seorang ibu rumah tangga yang banyak memberikan konseling pernikahan kepada keluarga muda. Ia dan suaminya, Drs. Christ Samuel, melayani pemuda/i yang hendak dan sudah menikah. “Ini menjadi beban kami karena konseling bagi keluarga yang baru menikah sangat jarang,” tutur Christ Samuel. Walaupun tidak berlatar pendidikan psikologi, mereka berdua sudah memberikan konseling pernikahan.

Inggriani, yang berlatar belakang non-Kristen, dilahirkan di Tegal, 23 Juli 1950. Ia mengikut Kristus sejak 1969 dan dibina di Para Navigator. Di Para Navigator pula ia bertemu dengan suaminya. Inggriani dan Christ Samuel menikah pada tahun 1978. Mereka dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Anak ketiga dari delapan bersaudara ini adalah mantan guru. Setelah memutuskan menjadi ibu rumah tangga, ia banyak melayani wanita muda yang baru menikah. Mereka mengkonseling pasangan muda berdasarkan firman Allah dan pengalaman hidupnya. Apa pendapatnya tentang perkembangan wanita zaman ini? Apa pula pandangannya terhadap emansipasi dan feminisme? Mungkinkah gerakan feminisme dianut wanita Indonesia? Bagaimana wanita Kristen dapat menjadi penolong sepadan bagi suami? Mengapa wanita memilih melakukan tiga jabatan (pendamping suami, ibu rumah tangga, dan bekerja)?

Simak wawancara ini!

Bagaimana kedudukan wanita saat ini?

Maju pesat bila dibandingkan zaman Kartini, khususnya dalam persamaan derajat. Wanita dan pria sekarang ini sama derajatnya dan bebas memilih apa pun. Apakah perkembangan seperti itu yang disebut dengan emansipasi? Kita samakan dulu definisinya. Jika pengertian emansipasi adalah persamaan hak sesuai dengan porsi masing-masing, jawabnya ya.

Maksudnya porsi masing-masing….

Wanita dan pria dicipta sesuai kodratnya. Masing-masing mempunyai fungsi. Fungsi pria dan wanita itu tidak mungkin disamakan, kedudukannya yang sama. Masyarakat Indonesia, misalnya. Setiap individu mempunyai derajat dan hak sama. Setiap orang bebas mengemukakan pendapat dan memilih. Yang membedakan hanya kedudukan masing-masing. Artinya, ada yang jadi presiden, menteri, pengusaha, petani, nelayan dan sebagainya. Walaupun statusnya beda, tapi derajat sama.

Emansipasi sudah berkembang baik. Mengapa timbul gerakan feminisme?

Feminisme lahir dari ketidakpuasan terhadap kodrat wanita. Orang yang bergabung dalam gerakan feminisme itu memberontak terhadap dunia pria. Pemberontakan itu dapat dipahami melalui contoh wajan. Wajan memberontak fungsinya terhadap piring. Ia tidak puas menjadi wajan. Ia ingin seperti piring yang digunakan sebagai tempat makanan. Pemberontakan itu, mungkin, timbul dari rasa jenuh dan tidak menerima diri. Sehingga ia ingin menjadi yang lain. Itulah yang dilakukan gerakan feminisme.

Ketika lepas dari dunianya, tempo sementara, mungkin menikmati keadaan barunya. Namun jangan lupa. Di tempat baru tersebut dia tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Lebih dari itu, dia tidak merasa bahagia. Ia lepas dari kodratnya. Ia tidak menerima dirinya sebagaimana ia diciptakan.

Apakah emansipasi dan gerakan feminisme sama?

Sangat berbeda. Emansipasi muncul karena wanita belum diperlakukan sebagaimana mestinya. Emansipasi, sekarang ini, berkembang di negara-negara dunia ketiga. Sedangkan feminisme lahir dari pemberontakan terhadap dunia pria. Gerakan ini berkembang di negara yang emansipasi bukan lagi masalah, seperti Eropa dan Amerika.

Persamaan hak dan derajat bila dilihat dari ke-Kristen-an berbeda. Bila wanita Kristen, melalui emansipasi, mempunyai hak sama, dalam menggunakan hak tersebut ia tidak bisa melepaskan diri dari teladan Kristus, yaitu melayani. Kristus rela melepaskan ke-Allah-an-Nya kemudian menjadi manusia yang hina dina.

Apakah emansipasi di setiap negara sama?

Beda. Amerika dan Eropa yang paling baik emansipasinya. Sedangkan dunia Timur, tidak selalu, emansipasi itu berjalan baik. India, misalnya, negara yang emansipasi wanitanya sangat jauh berbeda. Wanita India, untuk saat ini, masih memperjuangkan supaya uang mahar pernikahan tidak tinggi.

Wanita Indonesia jauh lebih menikmati emansipasi. Ini dapat kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Di negara Amerika dan Eropa emansipasi bukan lagi masalah, namun timbul feminisme. Apa penyebabnya?

Dahulu wanita dibelenggu. Setelah emansipasi tercapai, sesuai sifat manusia yang egois, wanita ingin lebih dari yang ada. Wanita mulai menghitung. Ia mulai membandingkan fungsi, pekerjaan dan hasilnya. Ia melihat kerja kerasnya lebih dinikmati pria, sementara ia tersembunyi.

Awal pernikahan kami, ego saya pun suka seperti itu, suka menghitung. Mas Christ (suami Inggriani) sepulang kerja contohnya. Dia dapat langsung istirahat. Sedangkan saya harus menyiapkan makan malam, urus anak, menyapu dan sebagainya. Nah… begitu menghitung, di situlah keegoisan menguasai. Akibatnya dapat fatal.

Apakah wanita Indonesia akan seperti wanita Barat yang tidak puas dengan dunianya?

Ya. Kita tidak perlu menunggu lagi. Sekarang pun sudah ada. Banyak wanita Indonesia menganggap profesi ibu rumah tangga rendah. Sedangkan wanita karier (bekerja) lebih dihargai. Banyak wanita muda yang sarjana menganggap pekerjaan dapur (belanja, memasak, menyiapkan makanan, menyapu dan sebagainya) bukan lagi pekerjaannya. Pekerjaannya adalah mencari uang. Mereka, bila tidak bekerja, mempertanyakan, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi bila tidak untuk mencari uang.”

Wanita Kristen Indonesia yang cukup banyak mengecap pendidikan tinggi supaya tidak lari dari kodratnya, apa yang harus dilakukan?

Saya akan menjawab dengan konsep mengapa Allah menciptakan wanita. Pertama, Allah mencipta Hawa untuk penolong sepadan bagi Adam (Kej. 2:18). Wanita dan pria seperti sepatu. Sepasang sederajat, tapi berbeda fungsinya. Kanan tidak bisa dipakai di sebelah kiri, sebaliknya pun demikian. Kiri tidak bisa digunakan di sebelah kanan. Beda, tapi saling melengkapi.

Kedua, wanita diambil dari tulang rusuk laki-laki (Kej. 2:21). Artinya, wanita bagian dari laki-laki dan ia harus melindunginya. Di situlah timbal baliknya. Laki-laki melindungi wanita, sebaliknya wanita menjadi penolong pria mereka sepadan adanya. Wanita sebagai penolong sepadan pria secara keseluruhan. Arti penolong sepadan ini harus benar-benar dimengerti kedua belah pihak. Karena itu, alangkah baiknya bila wanita sebelum menikah melihat harga yang harus dibayarnya.

Ketiga, isteri harus menyenangkan suami (1Kor. 7:32-34). Isteri memang tidak sama dengan pembantu, tapi pekerjaannya sama yaitu penolong sepadan. Bila memiliki pembantu yang berfungsi menolong pekerjaan rumah, maka karakter yang kita inginkan pasti orang yang jujur, setia, dan pandai. Mengapa? Karakter seperti itu yang akan menyenangkan tuannya.

Dalam mencari penolong sepadan, seorang pria pasti menginginkan kualitas karakter di atas. Artinya, isteri yang mengasihi suami dan anak-anak, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangga, dan baik hati. Ia siap melakukan apa dan kapan saja bila dibutuhkan.

Keempat, wanita penolong pria di segala bidang. Keluarga membutuhkan nilai sepuluh, contohnya. Pada bidang tertentu suaminya bernilai tiga, maka isterilah yang memenuhi hingga bernilai sepuluh. Begitu pula bila suami bernilai delapan pada bidang lain, maka dua nilai hendaknya digenapi isteri. Semakin seorang isteri dapat memperlengkapi suami, maka suami semakin senang.

Perlu diketahui bahwa suami tidak pernah bernilai sepuluh. Isteri pun demikian. Mengapa? Di situlah fungsi penolong sepadan berlaku. Allah tidak pernah membuat seorang laki-laki dan wanita sempurna. Mereka harus saling melengkapi. Secara duniawi dan manusiawi, memang kita menginginkan pasangan sempurna. Tapi itu tidak pernah akan ditemui.

Sekarang banyak wanita pandai. Itu tidak bisa kita tutupi. Perkembangan tersebut sangat baik. Walaupun sangat mendukung dari segi perekonomian, wanita yang telah menjadi isteri hanya memberi usul dan gagasan, tapi yang memutuskan harus suami. Kita jangan sombong dan sok pintar pada suami. Kita harus selalu menghormati suami. Untuk dapat melakukannya, wanita harus tetap menyadari bahwa dirinya dicipta melengkapi pria.

Memang ada suami tidak mau ditolong. Gengsi. Mereka ingin dilihat istri dapat berbuat segalanya. Isterinya bukan lagi penolong, tapi pendengar. Akibatnya terjadi benturan dan mengeluh tidak saling mengasihi lagi.

Tapi itu sulit, Bu. Sebab orang pintar biasanya kurang membutuhkan orang lain…

Betul. Tapi firman Allah mengatakan bisa kalau mau. Karena Dia bukan hanya penolong dari perekonomian, juga sisi lainnya.

Kita lihat dari firman Allah. Istri bijaksana adalah istri yang tahu saat menolong suami. Ketika perekonomian keluarga perlu dibantu, misalnya, di situlah istri bertindak. Bila keadaan berubah, istri pun harus rela berhenti. Karena mungkin hal lain yang harus dibenahi. Misalnya, waktu itu bukan lagi masalah uang, tapi pendidikan anak. Istri sebaliknya mampu melihat prioritas.

Kata cukup juga perlu diperhatikan seorang istri. Ukuran cukup sangat relatif standarnya. Tapi istri harus menetapkan standarnya. Sehingga ketika hendak beralih dari penolong ekonomi ke pendidik anak, ia tidak segan.

Wanita lebih menyukai penolong ekonomi daripada mendidik anak. Mengapa? Hasil kerja setiap bulan tampak. Sedangkan mendidik anak sangat sulit dan hasilnya pun tidak dilihat seketika. Oleh karena itu, penghargaan terhadap wanita yang berprofesi ibu rumah tangga seharusnya lebih besar daripada profesi lainnya.

Wanita harus melihat dirinya secara menyeluruh. Ia dapat berstatus istri, ibu, kakak, adik, anak, kakak/adik ipar, menantu, dan pribadi. Setiap status memiliki porsinya. Kesigapan menentukan dan menetapkan kedudukannya tepat pada waktunya sangat perlu. Sehingga saat ia berlaku sebagai kakak, ia terjun sebagai kakak. Sementara status lain dapat ditinggalkan. Status itulah yang menjadikannya sebagai teman, ibu, hamba Tuhan, dan pekerja.

Ketika kuliah di IKIP Bandung, Mas Christ mengatakan sambil berkelakar, “Generasi sekarang ini generasi babu.” Waktu itu saya shock dan memikirkan kebenarannya. Jawaban dan kesimpulan dari perkataan itu adalah benar. Kedua anak kami contohnya. Selama 3,5 tahun saya mengasuh dan mendidik anak pertama. Tapi anak kedua lahir, saya kuliah kemudian menjadi guru. Melihat perkembangan anak kedua, kami banyak kehilangan dari segi pendidikan. Peristiwa ini membuat saya belajar memprioritaskan yang penting.

Ketika kita, baik suami maupun istri, melihat prioritas istri bukan lagi membantu dari segi keuangan, maukah istri meninggalkan pekerjaan? Bila tidak, ia akan melakukan penyikutan. Mungkin ia takut masa depan. Ini manusiawi. Tapi kita harus mempercayai Allah sumber segala berkat. Amsal menulis bahwa berkat Tuhan yang menjadikan manusia kaya, sedangkan susah payah tidak menambahi. Tuhan mampu memberi pekerjaan ketika dibutuhkan.

Misalnya, seorang ibu yang usia anak-anaknya tidak membutuhkan pendidikan inti lagi, maka Allah menyediakan kebutuhannya. Karena seorang istri yang tahu posisinya tidak akan khawatir kerja atau tidak.

Keterbukaan suami, apakah penting?

Ya. Jika suami tidak berterus terang mengungkapkan pertolongan yang dibutuhkan, bagaimana si istri bisa memberi pertolongan yang tepat? Suami baru pulang kerja tampak kecapaian, misalnya. Istri ingin memberi pertolongan yang tepat, maka sebaiknya suami menceritakan kondisi atau kebutuhannya. Sehingga si penolong memberi “obat” yang tepat. Istri menjadi penolong yang baik, bukan perongrong.

Ini pengalaman unik kami. Mas Christ sepulang kerja menginginkan suasana tenang, tanpa musik. Sedangkan saya menyukai suasana tenang diiringi musik. Untuk menyenangkan saya, ia membiarkan musik mengalun, walaupun ia gelisah. Pada suatu hari saya tahu bahwa ia tidak menyukai itu. Akhirnya, saya memutuskan bila ia pulang, keadaan harus tenang tanpa musik dan rumah rapi. Itulah kebutuhannya. Jangan sebaliknya, menjadi penolong, tapi pertolongan yang kita berikan salah.

Akibat salah pertolongan, keluarga jadi berantakan. Suami justru tidak betah di rumah. Mengapa? Mungkin hanya karena hal kecil. Misalnya, suami menginginkan yang membuat dan menyediakan kopi itu istri, bukan pembantu. Ia tidak ingin dilayani pembantu. Ini hal kecil, tapi bisa menentukan. Untuk mengerti suami atau istri, keterbukaan dan saling melengkapi dalam hubungan harus terus ditingkatkan. Karena semakin mengenal dan mengerti suami atau istri, kita akan semakin menjadi satu.

Sekarang ini banyak wanita melakukan pelacuran seks. Bagaimana pandangan Ibu terhadap wanita yang mempunyai ‘pria idaman lain’ (PIL), selain suaminya? Apakah pendidikan sangat mempengaruhi kehidupan secara moral?

Pertama, jika kita merasa tinggi, kita menginginkan yang tinggi pula. Kita tidak puas dengan yang ada. Beberapa tahun lalu, umpamanya kita putus pacaran. Setelah sekian lama yang kita ingat kebaikannya, bukan keburukannya. Kebaikan dan kepandaian serta yang kita senangi darinya kita inginkan ada pada diri suami. Itu juga saya alami. Suatu ketika saya menginginkan kebaikan dan mantan pacar itu ada pada Mas Christ. Mas Christ lalu menjawab, “Ing.. coba kamu bayangkan jika saya menuntut sifatmu seperti sifat kakak atau mama. Apa kamu suka?’’ Saya bersyukur disadarkan.

Mungkin begitu juga dengan wanita yang memiliki ‘pria idaman lain’ (PIL). Mereka hanya melihat kelebihan dari pria itu. Mereka terbiasa dengan penampilan baik, sedangkan suami dikenal luar dalam dengan segala kebaikan dan keburukannya.

Kedua, suami istri itu sudah seperti telanjang. Semua sudah terbuka, tidak ada misteri lagi. Sedangkan orang lain masih misteri, baru bagusnya yang tampak, belum tahu kelemahan. Ini menantang, mungkin.

Apakah emansipasi itu sama dengan kodrat wanita dalam kekristenan?

Firman Allah tidak pernah membatasi wanita sebagai ibu rumah tangga saja. Firman Allah meletakkan dasar bahwa wanita itu sebagai penolong sepadan pria.

Ada wanita yang merangkap tiga fungsi yaitu bekerja, pendamping suami, dan ibu rumah tangga. Bagaimana pandangan Ibu terhadap hal tersebut?

Amsal 31 menekankan bagaimana seorang housewife melakukan pekerjaan. Ia harus menyediakan makanan seperti kapal saudagar (ay. 14), menyediakan menu makanan keluarga (ay. 15), mengatur pekerjaan rumah tangga, ia harus rajin (ay. 27), ketika malam tidak padam pelitanya, ia terbiasa memintal (ay. 19, 24, 13), dan lain-lain.

Bandingkan wanita sekarang. Berapa banyak wanita yang belanja, memasak, dan menyediakan makanan bagi keluarga? Berapa banyak wanita yang dapat menyeimbangkan pekerjaan dengan rumah tangga? Karena itu, istri yang hendak bekerja harus merenung dan bergumul tujuan ia bekerja. Jika memenuhi kepuasan diri, tanyakan dulu pada suami dan Tuhan.

Seorang anak harus dididik disiplinnya sampai kelas empat Sekolah Dasar (SD). Lewat dari itu, pra-remaja, ia gagal. Artinya ibu gagal dalam mendidik disiplinnya. Ia akan menuainya kelak. Sama seperti menanam padi. Bila petani menanam padinya lurus, maka membersihkan rumput yang tumbuh dan memanennya pun mudah. Itu juga akan diterima seorang ibu bila mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar. Karena itu, seorang ibu harus berani melawan egonya.

Wanita seyogyanya berprinsip apa yang Tuhan kehendaki atasnya. I Korintus menjelaskan kedudukan Allah, suami, istri, dan anak. Jika mendahulukan kepentingan diri dari anak dan suami, maka wanita dikatakan sebagai istri yang tidak bijak. Bagi wanita, bila memang sangat mendesak untuk bekerja tidak apa-apa. Tapi ada saatnya harus berbalik. Atau, bisa tetap bekerja dengan pekerjaan yang tidak menyita waktu. Sehingga ia tetap bisa mengawasi anak.

Bila tidak mendesak, sebaiknya kita – wanita rela mengorbankan diri demi suami dan anak. Amsal menasihati, “lebih baik sedikit harta daripada banyak harta disertai dengan kecemasan.” Ketika di kantor memikirkan anak, sebaliknya saat di rumah memikirkan pekerjaan, misalnya.

Bila anak sudah menjelang dewasa, sekolah SMA misalnya, istri dapat merangkap. Apalagi bila waktu yang ada banyak lowong. Ia dapat bekerja dengan persetujuan anak dan suami. Ia sudah bisa menjadi pekerja sekaligus ibu rumah tangga. Anak tidak perlu dikontrol seperti anak-anak. Bila suami dan anak-anak setuju, maka prioritas boleh diubah.

Bekerja itu sangat lelah. Walaupun lelah, istri yang bekerja tidak boleh meninggalkan fungsi utamanya, menjadi ibu dan pendamping suami. Sepulang kerja ia harus tetap melakukan fungsinya. Ia tidak boleh menjadi polisi bagi anak-anak. Sebaliknya, ia pun tidak boleh memanjakan anak dengan barang-barang. Nasihat Amsal berbunyi, “Didiklah anakmu selagi muda sehingga pada masa tuanya ia tidak menyimpang.”

Bila semua kebutuhan sudah tercukupi, tapi istri ingin bekerja sedangkan suami tidak setuju. Apa yang harus dilakukan istri?

Prinsip saya, ia harus tunduk pada suami. Ia tidak boleh bekerja. Fungsi dan peran ibu rumah tangga di Indonesia itu kaya. Maksudnya kebutuhan rumah tangga itu tidak pernah berhenti, dari mendidik anak, berfungsi sebagai kakak/adik, ipar, menantu dan sebagainya. Itu pula yang saya perankan. Sehingga ketika berhenti dan profesi guru, walaupun banyak orang tidak setuju, saya tetap menikmati sebagai ibu rumah tangga.

Mengapa istri dulu lebih berhasil daripada zaman sekarang? Karena zaman dulu walaupun tidak banyak bicara, istri berada di rumah. Ia setiap saat dilihat anak. Sekarang, kebutuhan seorang anak adalah melihat ibu berada di rumah. Ini saya dapatkan dari anak. Walaupun sering berselisih dalam beberapa hal, tapi bila hendak PA, ia bertanya, Mama mau PA, ya? Itu menandakan bila ibunya berada di rumah, seorang anak akan merasa aman dan dilindungi.

Mendidik anak secara benar sangat sulit dan melelahkan. Fisik dan emosi terlibat. Selain perlu ketabahan dan keuletan. Apalagi manusia sesat seperti domba (Yes. 53:6). Masing-masing ingin mengambil jalannya. Kita, walaupun sudah menjadi istri dan ibu, menginginkan jalan sendiri. Kita sering ingin ‘Ian’ dan jalan-Nya. Oleh karena itu tidak mudah membawa manusia, terlebih anak-anak yang sedang bertumbuh, menuju kebenaran. Ini pula yang membuat wanita enggan menjadi ibu rumah tangga. Ia lebih memilih ‘jalan’ menyerahkan anak ke sekolah atau pembantu. Ia menganggap lebih baik orang lain yang mendidik anaknya.

Bila wanita memilih mendidik anak sambil bekerja, ia harus sadar tanggung jawabnya bertambah. Konsekuensinya, ia harus menanggung kelelahan dua kali lipat. Bila mau jujur, istri lebih ‘enak’ tidak bekerja. Bila ada waktu lowong, ia dapat memanfaatkan dengan kegiatan lain yang menambah income tambahan.

Apa yang dilakukan wanita bila kecapaian dengan tiga jabatan tersebut?

Itu risiko. Bila itu keinginannya dan suami mendukung, ia harus menanggungnya. Bila ia kelelahan, menjeritlah pada Tuhan. Amsal 31 pun wanita rumah tangga itu melelahkan. Tapi ayat 25 (kekuatan dan kemuliaan) dan Amsal 31 itu harus menjadi ‘pakaiannya’. Itu dapat ‘dipakaiannya’ bila berlandaskan ayat 30, yaitu takut akan Tuhan.

Mengapa wanita zaman dulu lebih tabah? Ibu saya contohnya. Ia janda yang harus membesarkan delapan anak. Ia tabah dan mampu mendidik anak dengan baik. Bayangkan wanita zaman ini. Mendidik dua anak saja sudah menjerit-jerit. Dimana bedanya? Sikap hati. Wanita dulu merasa diri tidak mampu dan ia ‘bergantung’ pada suami. Sebaliknya, wanita sekarang merasa mampu sehingga tidak perlu bergantung pada suami.

Apakah berarti wanita lebih tabah dari laki-laki?

Ya, secara fisik. Tapi laki-laki lebih berat tanggung jawabnya. Ia harus menjadi kepala rumah tangga, mengayomi dan membawa istri dan anak-anaknya kepada kebenaran. Ia memikirkan, memutuskan dan menanggung jawab setiap tindakan keluarganya.

Memang secara fisik wanita lebih kuat. Dalam kehidupan sehari-hari pun wanita fungsinya sebagai pelaksana. Bila memiliki gagasan, ia berikan itu pada suami. Ia tidak berhak memutuskan.

Bila wanita mengambil alih memikirkan, memutuskan dan menanggung jawab keluarga, maka tidak heran bila wanita akan sangat kecapaian. Ia akan frustrasi. Ia melawan kodratnya. Ia menginginkan rasa aman dan dilindungi, tapi tidak mau diatur. Akibatnya komponen keluarga akan sering bentrok satu dengan lainnya.

Bila pendidikan istri lebih tinggi, apakah tetap harus seperti itu?

Pendidikan tidak menjadi ukuran. Hati harus terus diperbarui. Itu penentunya. Jika itu yang dikehendaki Tuhan dan ia rela membayar harga, maka ia harus tunduk. Ia harus dan dapat mengisi nilai yang belum dimiliki suaminya. Dalam menyerahkan nilai tersebut, ia tidak boleh sombong, meremehkan dan sok pintar (Fil 2:1-9). Ini memang melelahkan.

Bagaimana pengalaman Ibu membina rumah tangga?

Pertama, belajar sabar dan menyerahkan. Dalam peristiwa sehari-hari Tuhan membentuk kami untuk belajar menempatkan diri sesuai kodrat. Pengambilan keputusan, contohnya, dulu sering terjadi. Saya ingin cepat, sebaliknya Mas Christ memikirkan dengan matang sehingga agak lama. Namun saya tidak sabar. Akibatnya ada saja yang tidak menyenangkan. Dari pengalaman tersebut saya belajar sabar dan menyerahkan pengambilan keputusan padanya. Belajar tunduk memang sulit, tapi setelah dijalani, kita sukacita dan damai.

Kedua, belajar mencukupkan diri. Untuk berhasil menemukan arti cukup, saya menuliskan arti kaya dan cukup menurut firman Tuhan. Hasilnya, disebut kaya bila orang mencukupkan diri dalam keadaan apa saja. Itu pula yang saya terapkan pada keluarga. Anak-anak dapat makan dengan apa saja. Ia bisa makan hanya dengan tempe, sayur dan kecap, tapi mereka juga bisa makan mewah.

Ketika dulu Ibu memangku tiga jabatan (pendamping suami, ibu rumah tangga dan guru), kendala apa yang Ibu alami? Bila ada pekerjaan pada waktu bersamaan, mana yang Ibu dahulukan? Ketika ibu melakukan keputusan apakah ada dilema?

Pengambilan keputusan. Saya dahulukan adalah pekerjaan. Karena kita pegawai, bukan bos. Memutuskan mendahulukan pekerjaan karena bila pekerjaan yang diabaikan tidak mungkin. Sedangkan anak dan suami tidak protes. Mereka menerima, tapi terpaksa. Walaupun protes konsekuensinya, saat itu, tidak seberat pekerjaan.

Apakah ada efeknya?

Mereka tidak dekat dengan saya. Mereka tahu dinomorduakan. Dinomorduakan kan tidak enak.

Apakah ada bedanya dalam mengasuh anak full time bekerja dan full time ibu rumah tangga?

Ada. Sebagai ibu rumah tangga full time, saya mantap mendidik anak. Ketika bekerja ada perasaan bersalah karena sering meninggalkan mereka. Padahal saya guru yang bekerja hingga pukul 14.00, itu tetap ada bedanya. Ibu rumah tangga pun bukan pekerjaan ringan. Sebagai ibu rumah tangga ia juga harus kreatif.

Bila wanita yang menikah dan mempunyai anak menginginkan din bekerja, pekerjaan seperti apa yang harus dipilih supaya lebih mengutamakan suami dan anak-anak?

Bila ingin bekerja tanyakan terlebih dulu pada suami. Bila suaminya menginginkan istri karier, berkarierlah. Bila suami mengatakan tidak perlu, turutilah. Karena tugas kita adalah menjadi penolong sepadannya.

Menurut ibu, wanita seperti apa yang diinginkan para lelaki untuk menjadi pendampingnya? Mampukah para wanita memenuhi?

Itu tergantung selera. Umumnya para suami menginginkan rumah tangga yang baik. Tidak ada suami yang menginginkan anak-anaknya berantakan. Kita harus belajar menaati firman Allah. Kalau membangun rumah upayakan baik. rumah. Mengapa? Saya bandingkan jadi anak. Saya berpikir lebih enak jadi anak terus. Saya ketakutan, dan pada ibu saya beritahukan lebih baik tidak menikah. Setelah ibu menasehati, saya berani menikah. Setelah menjalaninya, ternyata mampu. Mengapa? Didalam Tuhan tidak ada yang mustahil.

Ada wanita tidak bekerja, tapi sibuk pelayanan. Akibatnya anak dan suami terlantar. Bagaimana menurut Ibu?

Itu salah. Prioritasnya harus dilihat kembali! Taatilah panggilan itu.

Saran

Bagi gadis taatilah Tuhan. Jika menikah gumulkan dan pilih orang yang berkenan pada Tuhan. Taat dan beranilah bayar harga. Bila menjadi istri ingatlah Amsal 14:1 yang berbunyi, ‘Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkan dengan tangannya sendiri.’ (06)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *