Joas Adiprasetya:
Maju Laskar Kristus

Kekerasan Agama

Nyanyian Maju, Laskar Kristus atau Onword, Christian Soldiers (KJ 399) yang sudah berusia empat belas dekade itu, sejak digubah di tahun 1864 oleh Sabine Baring-Gould, agaknya sudah terlanjur menjadi kesayangan umat Kristen sedunia. Nafas nyanyian yang memakai kosakata perang dan kekerasan ini membuat beberapa gereja arus utama di Amerika Serikat menghapuskannya dari buku himnal mereka, sekalipun sebagian gereja, seperti the United Methodist Church, kemudian memasukkannya lagi setelah mendapat banjir protes dari anggota jemaat mereka. Nyanyian yang sama memperoleh tempat istimewa dalam konflik berdarah Ambon, bahkan memotivasi munculnya sebuah kelompok radikali Kristen yang bernama Laskar Kristus. Sahabat saya, Sukidi Mulyadi, seorang intelektual Muslim lndonesia, pernah meneliti posisi nyanyian ini dalam studi perbandingan yang dilakukannya antara LaskarJihad dan Laskar Kristus di Ambon. Di samping sikap kritisnya atas pemahaman dan praktik kekerasan yang dilakukan oleh LaskarJihad, Sukidi juga menulis, “Himne ini telah disalah gunakan oleh prajurit-pralurit Laskar Kristus dan orang-orang Kristen secara umum untuk mensahkan tindakan-tindakan kekerasan melawan Muslim di Ambon.”

 

Sampai kini, telah banyak studi-studi yang diterbitkan yang membuktikan bahwa agama-agama dunia sangat rentan dengan kekerasan agama. Secara khusus, monoteisme memiliki potensi lebih besar untuk melakukannya. Studi Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God (2003), misalnya, menyimpulkan bahwa sekalipun kekerasan tak harus dimotivasi oleh agama, namun agama membuat kekerasan makin mudah terjadi karena asupan teologis yang mendukung kekerasan tersebut. Agama akan melegitimasi kekerasan lewat atas nama peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan. Yang menarik, tentu saja, ketika seorang pelaku kekerasan mati saat melakukan tugasnya, ia dengan mudah pula memperoleh atribut martir seorang yang mati demi iman. Tak soal apakah kelompok agamanya menjadi korban kekerasan atau justru menjadi pelaku kekerasan. Devaluasi dan deviasi makna martir ini tentu saja harus ditolak. Oleh karena itu, sebuah pemahaman yang jernih tentang makna kemartiran (mortyrdom) perlu dimiliki.

Martir dan Kemartiran

Gereja Kristen sepanjang abad memiliki banyak kisah tentang mereka yang menjadi martir karena membela iman mereka. Bapa gereja Tertulianus bahkan menegaskan, “darah para martir adalah benih gereja.” Gereja bertumbuh pesat dalam penindasan justru karena kesaksian para martir. Kata “martir” itu sendiri berasal dari kata Yunanimartus yang berarti saksi. Seiak awal, para murid Yesus disebut sebagai saksi langsung kehidupan dan kebangkitan Kristus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, kata martir memperoleh pemakna baru sebagai seorang yang menderita dan mati karena menyaksikan imannya. Kisah martir yang paling terkenal tentu adalah Stefanus (Kis. 7:54-60). Sebagian besar dari kedua belas murid Yesus sendiri (termasuk pengganti Yudas lskarot) dikenal sebagai martir yang mati karena membela iman mereka. Hanya satu dari seluruh murid Yesus yang mati karena usia tua, yaitu Yohanes, itu pun setelah ia bertahan hidup dari penganiayaan dengan cara dimasukkan ke dalam minyak yang mendidih.

Akan tetapi, ada beberapa catatan yang perlu kita cermati. Pertama, kebanyakan martir menjalani kematiannya di masa gereia masih berada pada masa penindasan. Belakangan, setelah Kaisar Konstantinus menjadikan agama Kristen sebagai agama negara pada tahun 313 melalui Edik Milan, kekristenan tak lagi berada di bawah penindasan dan itu berarti tak lagi ditemui banyak kisah martir. Hal selaniutnya, kedua, gerela perdana pra-Konstantinus adalah sebuah gereja yang relatif berwatak pacifis (pacifism; dari kata Lafin,pacem: damai). Dengan kata lain, kemartiran yang dialami oleh banyak orang Kristen tidak berlangsung dalam konteks perang atau kekerasan agama. Situasi berubah setelah kekristenan meniadi agama negara. Christionity segera berubah menjadi Christendom. Bukan hanya kemartiran menurun secara drastis, namun juga gereia segera terjerat ke dalam konflik-konflik politis yang diwarnai kekerasan. Komunitas iman yang tadinya menjadi kurban kekerasan segera berubah meniadi komunitas yang rentan dengan pemakaian kekerasan demi pelestarian statusnya sebagai agama negara. Pesang-perang Salib yang berlangsung hampir sepanjang 200 tahun (1085-1291), misalnya, menjadi bukti paling jelas. Para ahli sejarah gereja hampir sepakat sepenuhnya bahwa seseorang yang tewas di dalam peperangan yang diwarnai kekerasan itu tak Patut untuk disebut sebagai seorang martir, terlepas dari apakah ia memasu ki perang tersebut karena motivasi religius yang kuat.

Hal di atas menuntun kita pada catatan ketiga yang sangat penting, yaitu bahwa kemartiran tak bisa diusahakan. Dan ini yang membuat mengapa orang Kristen tak pernah bisa menjadi seorang martir karena memerangi orang lain dan mati untuk usahanya itu. Gregorius dari Nazianzus’ seorang santo gereja Timur merumuskan prinsip ini dengan lebihkurang berkata: Adalah sebuah kesembronoan jika seseorang mencari kematian, namun adalah sebuah sikap pengecut jika menolaknya. Jadi, seseorang memang tak bisa dengan sengaia berusaha meniadi martir. Kemartiran merupakan sebuah keputusan yang harus diambil antara kematian atau iman pada Kristus, dengan pilihan iatuh padayang kedua sekalipun berongkoskan yang Pertama. Singkatnya, seorang martir adalah seorang yang dengan penuh ketaatan meniru Kristus dengan cinta kasih-Nya yang berujung pada penderitaan bahkan kematian.

Yang keempat, yang terakhir, sekalipun seseorang yang terlibat kekerasan dan mati tak dapat disebut sebagai seorang martir namun, pada saat bersamaan, seorang maftir iuga bukanlah seorang pasivis (possivism; dari kata Latin possi vus). la seorang pacifis, seorang pencinta damai, namun bukan seorang pasivis, seorang yang pasif. Sebaliknya, seorang yang menyaksikan imannya dengan cara tanpa-kekerasan tetap sekaligus menentang ketidakadilan dan kekejaman yang diterimanya. Namun dengan cara yang jauh dari kekerasan. Singkatnya, seorang martir senantiasa menunjukkan resistensi tanpa kekerasan (non-violent resistonce). Dan setepatnya, itulah yang dituniukkan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Seorang martir, dengan demikian, iustru seorang yang sangat menghargai kehidupan dan memperiuangan kehidupan yang ditindas, sekalipun untuk itu ia tidak takut menghadapi kematian.

Dengan keempat catatan ini, semoga para pembaca dapat memahami makna kemartiran dalam sejarah dan iman Kristen dengan lebih jernih, serta mampu bersikap kristus terhadap semua usaha untuk memaknai segala bentuk kekerasan atas nama agama atau atas nama Allah sebagai sebuah periuangan kemartiran. Tanpa sebuah perluangan menghadirkan perdamaian, kemartiran tak ubahnya sebagai sebuah kematian dari seorang pemeluk agama yang fanatik.

 

—— Dituliskan oleh Joas Adiprasetya, Pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugaskan secara khusus untuk menjadi dosen tetap di STT Jakarta untuk bidang sistematika dan etika.

— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009

 

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *