“Pembangunan Nasional adalah pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan aspek pertahanan keamanan, dengan senantiasa merupakan perwujudan Wawasan Nusantara serta memperkukuh Ketahanan Nasional, yang diselenggarakan dengan membangun bidang-bidang pembangunan diselaraskan dengan sasaran jangka panjang yang ingin diwujudkan.” (GBHN 1993)
Pembangunan Nasional adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, itu berarti Pembangunan Nasional akan terwujud dengan dukungan segenap rakyat Indonesia. Untuk melaksanakan Pembangunan Nasional diperlukan rasa kebangsaan (nasionalisme). Karena keduanya amat erat hubungannya. Rakyat yang memiliki rasa kebangsaan tinggi merupakan modal utama pembangunan nasional.
Oleh karena Pembangunan Nasional dari, oleh, dan untuk rakyat, maka idealnya rasa kebangsaan muncul dari rakyat, bukan direkayasa dari ‘atas’. Sabam Sirait dalam Seminar Dies PMKRI ke-47 di Yogyakarta merasa prihatin bahwa rasa kebangsaan sekarang menjadi masalah. Dulu, tentang nasionalisme tidak menjadi masalah, sekarang justru pada era Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke-2 rasa kebangsaan dipermasalahkan.
Di depan Musyawarah Besar Nasional IX Angkatan 45 di Samarinda, Moerdiono melihat permasalahan rasa kebangsaan dari sisi ‘Posisi Negara Nasional dalam Tatanan Dunia Baru’. Menurut Moerdiono, ada dua hal yang saling berkaitan, yaitu:
Pertama, pecahnya Uni Soviet, negara adikuasa dalam Perang Dingin, penyatuan Jerman Barat dan Timur, yang membangkitkan Neo-Nazi dan kebencian terhadap orang asing di Jerman. Pertikaian di Yugoslavia, perang saudara di Afrika, yang seolah sulit diperdamaikan, padahal sebelumnya mereka ‘bersatu’.
Kedua, perkembangan yang terjadi di Eropa Barat memerlukan perhatian kita. Sejak tahun 1950-an, 12 negara secara tekun mencari formula kerja sama erat dalam bidang ekonomi dan sosial, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk benua itu.
Berdasarkan gejala tersebut di atas, posisi Negara Nasional seperti Indonesia dalam tatanan dunia baru sangat ‘rawan’ perpecahan, namun juga berpotensi sebagai pengikat ‘persatuan’. Dalam era globalisasi ini, semua kemungkinan yang menggejala tersebut bisa terjadi di semua negara. Hal yang menjadi perhatian Moerdiono ini kiranya perlu kita perhatikan esensinya. Menurut Moerdiono, pembentukan Negara Nasional adalah sebagai berikut:
“Pembentukan suatu Negara Nasional hampir selalu didahului oleh meluasnya paham kebangsaan di kalangan rakyat, yang selanjutnya akan menumbuhkan suatu identitas bangsa baru, yang dikukuhkan oleh berbagai lambang-lambang. Paham kebangsaan ini berpendirian bahwa mereka yang bertekad membangun suatu masa depan adalah suatu bangsa terlepas dari latar belakang pribadinya masing-masing.”
Selain itu, rasa kebangsaan ini tumbuh melalui kontak yang terus menerus antar sesama rakyat. Kontak yang terus menerus tersebut membangkitkan persamaan sejarah, persamaan nasib, dan masa depan. Jadi, dengan kata lain, esensi Negara Nasional dibangun atas dasar rasa kebangsaan, yang tumbuh dari seluruh rakyat. Hal ini merupakan cerminan demokrasi yang ideal.
Pernyataan ini sejalan dengan pemikiran Kwik Kian Gie, yang disampaikan pada pendidikan Angkatan III Lembaga Studi Ilmu Sosial Yayasan Padi dan Kapas, 1991, sebagai berikut:
“Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme. Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya. Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme, sebenarnya sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme, demokrasi, dan keadilan sosial ekonomi.”
Bukan maksud penulis untuk mengupas tentang demokrasi, namun hal ini berkaitan dengan rasa kebangsaan. Kalau pendapat Moerdiono dan Kwik Kian Gie benar, ini berarti masalah serius. Tidak mungkin kita sebagai warga negara hanya berpangku tangan menanggapi permasalahan kebangsaan tersebut.
Ada gejala rasa kebangsaan di antara generasi muda dewasa ini cenderung ‘memudar’. Tentu ini tidak berarti semua generasi muda memudar rasa kebangsaannya, mungkin hanya sebagian dari generasi muda. Dari sebagian tersebut, bila dipilah-pilah lagi akan bervariasi latar belakang permasalahannya.
Generasi yang lahir di era pembangunan tidak lagi mengalami perang dan perjuangan fisik (ini hanya tafsiran penulis). Seolah ‘dikondisikan’ dengan gaya hidup enak. Hal ini mengakibatkan generasi muda kurang memiliki rasa persamaan sejarah, senasib, dan masa depan, padahal faktor-faktor ini merupakan dasar dari nasionalisme. Yang terjadi justru kesenjangan sosial, ‘rasa bangga’ terhadap tokoh asing, dan melemahnya kepedulian terhadap bangsa. Padahal secara faktual, mereka lahir, dibesarkan, makan, minum di Indonesia, tapi anehnya ‘rasa memilikinya’ seperti kurang. Apalagi rasa bangga terhadap bangsanya sendiri. Kwart A. Rustow mendefinisikan nation stems from the Latin verb “nasci”, ‘to be born’, and originally meant a group of people born in the same place, whether that place was thought of as a few dozen or many thousands of square miles. Menurut D.A. Rustow, elemen nation dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama objective characteristic (geography, history, economic structure) dan subjective characteristic (consciousness, loyalty, will).
Secara subjektif, seharusnya hati nurani, loyalitas, dan kehendak ditujukan bagi negara dan bangsa. Sebagai umat Tuhan di Indonesia ini kita ditantang untuk memberi solusi dan peran yang konkret terhadap pergumulan bangsa. Sebagai umat Tuhan di Indonesia, kita perlu mendalami dan menjadikan wawasan kebangsaan sebagai milik kita. Dengan memiliki wawasan kebangsaan yang memadai, kita mampu hidup di tengah pluralitas masyarakat Indonesia (band. Radius Prawito, masyarakat majemuk dan Tatapan Masa Depan, 1992).
Dengan pemahaman yang mendalam akan membentengi generasi muda dari arus globalisasi yang cenderung ‘memudar’ rasa kebangsaan. Wawasan kebangsaan perlu terus ditransfer ke setiap generasi. Wawasan kebangsaan ini menumbuhkembangkan rasa bangsa yang dalam terhadap tanah air. Untuk itu, generasi muda perlu memahami dan memiliki sejarah bangsanya. Sejarah bangsa ini bukan sekadar formalitas dan hafalan, tapi melibatkan rasa yang terdalam dari generasi muda, untuk ikut ‘membuat’ sejarah di Indonesia. Artinya, generasi muda dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu, generasi muda perlu sadar dan melek terhadap realita bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan mereka.
Sesungguhnya bukan hanya generasi muda saja yang perlu menerima estafet kebangsaan, tapi generasi tua pun bertanggung jawab terhadap transfer dan dialog yang perlu dilakukan. Dialog antar dua generasi, disertai sikap semangat kesatuan, akan menguntungkan demi tercapainya Pembangunan Nasional.
Lalu apa relevansinya bagi pelayanan siswa, mahasiswa, dan alumni? Saya rasa sangat dekat. Sejak dini kepada siswa harus ditanamkan rasa kebangsaannya. Ini bisa dimulai dari Kelompok Tumbuh Bersama (KTB), karena proses penyadaran kebangsaan sedang berlangsung di antara mereka. Secara konkret, materi KTB harus memadai, sehingga siswa ikut memahami dan memiliki bangsa ini. Selain itu, peranan pemimpin KTB juga sangat berpengaruh terhadap siswa yang dibimbingnya. Seorang pemimpin KTB, idealnya, memiliki wawasan kebangsaan yang benar, sehingga dalam proses pembinaan, berlangsung transfer rasa kebangsaan.
Proses penyadaran rasa kebangsaan mahasiswa pun sama seperti siswa. Hanya sisi materi dan penekanannya lebih mendalam. Pembenahan bisa juga dimulai dari PMK, dengan memprioritaskan program kebangsaan melalui pelatihan, seminar, retret, atau kamp. Saya rasa, kamp kepemimpinan tingkat lanjut sangat tepat, karena mahasiswa diajak dialog secara kritis tentang wawasan kebangsaan dan masyarakat.
Kita harus menyadari bahwa program-program kita lebih dominan ‘sorgawi’ dan kurang ‘membumi’, maka perlu keseimbangan pembinaan, agar para siswa dan mahasiswa siap hidup berbangsa dan bermasyarakat.
Bukankah siswa dan mahasiswa yang dibina akan masuk dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah alumni juga merasa adanya kesenjangan antara ‘dunia mahasiswa’ dengan ‘dunia nyata’? Ini PR bagi kita semua, agar visi dan misi pelayanan Allah teralisir, yaitu kita menjadi garam dan terang bagi dunia. Jika visi dan misi Allah terwujud, berarti kita menjadi berkat dan kehadiran kita memberi solusi atas pergumulan bangsa. Kita adalah bagian dari bangsa ini, maka pergumulan bangsa harus menjadi pergumulan kita juga. Kita terpanggil menjadi garam dan terang bagi bangsa ini, itu berarti kita terus menerus mengingatkan mutu kehadiran kita dan wawasan kebangsaan kita. Dengan kehadiran kita yang berkebangsaan kuat, hal ini menepis sentimen-sentimen yang mengarah ke SARA, primordial, dan sektarian. Seperti Yesus berdoa untuk para murid-Nya:
“Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” (Yoh 17:11)
Kesehatian, kesatuan, dan perjuangan yang dilandasi kasih hendaklah menjadi kesaksian kehadiran kita.
Dituliskan oleh Guno Tri Tjahjoko, Staff Perkantas Yogyakarta.