Jose Bonatua Hasibuan, S.Pd, :
Pendidikan Antikorupsi: Tanggung Jawab Kita Bersama

Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (baca: koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari menyalah gunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas “teri,” ahli bangunan, hakim, dan lain-lain. Dampaknya tidak hanya mengganggu efektivitas program pemerintah, tetapi lebih dari itu, merusak moral suatu bangsa dengan menggerogoti nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, disiplin, sederhana, kerja keras dan sebagainya.

Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 54 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/013/1958. Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi pun terus bermetamorfosa, mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-2003), hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di negeri ini.

Data dari Transparency International Corruption Perception Index 2011 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-100 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 3 (skala dari 1 sampai 10). Bandingkan dengan Singapura, negara tetangga yang memiliki IPK 9,3. Semakin besar nilai IPK suatu negara, maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Angka ini tidak berubah signifikan selama 10 tahun terakhir, hampir tidak berbanding lurus dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka menekan angka korupsi.

Apa yang menyebabkan jalan buntu pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? Izinkan saya memberikan analisa dari sudut pandang sebagai pendidik. Pertama, kita gagal menciptakan lingkungan anti-korupsi bagi generasi muda. Keluarga sebenarnya memberi peran strategis dalam menciptakan nilai-nilai anti-korupsi kepada anak seperti rasa tanggung jawab. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban, amanah, berani menghadapi, tidak mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang tua yang melatih anaknya untuk memiliki nilai tanggung jawab. Setiap hari, orang tua yang memasukkan buku-buku ke dalam tas, anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun pagi sendiri dan merapikan tempat tidur, makan disuapin, belajar disiapkan guru privat, PR dikerjakan dan banyak lagi kebiasaan yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang jarang saya lihat dipraktekkan di keluarga-keluarga Indonesia.

Kedua, gagalnya pendidikan agama dan etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya merasakan sistem pendidikan saat ini belum berhasil menanamkan nilai-nilai anti-korupsi. Pendidikan agama seolah-olah terpisah dari kehidupan sekuler. Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat pengertian dan kemampuan anak didik dalam melaksanakan praktek-praktek agamawi, bukan pada apresiasi pada penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah secara rutin menyelenggarakan doa bersama menjelang UN, namun praktek-praktek kecurangan terorganisir dianggap hal yang wajar. Pendidikan moral tidak lagi dimasukkan ke dalam kurikulum, penekanan lebih ditekankan pada pendidikan kewarganegaraan, tanpa keteladanan dari pemangku kepentingan negara. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, akan sulit berharap lahirnya generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang mimpi tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi hanya sebatas retorika. Dalam hal inilah membangun suatu sistem pendidikan anti-korupsi menjadi relevan, melawan korupsi dengan menanamkan nilai-nilai anti-korupsi pada generasi muda sejak dini.

 

Membangun pendidikan antikorupsi

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menargetkan Pendidikan Anti-korupsi yang merupakan bagian dari Pendidikan Karakter akan diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013. Pendidikan Anti-korupsi substansinya bukan merupakan mata pelajaran baru yang akan menambah beban peserta didik, ia bisa masuk ke setiap mata pelajaran, ke setiap pokok bahasan apa saja dan dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Tujuan utama Pendidikan Anti-korupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif. Pendidikan Anti-korupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya.

Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti-korupsi sejak dini. Pendidikan anti-korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Tentu tak mudah mengimplementasikan rencana Pendidikan Anti-korupsi di sekolah. Perlu dipersiapkan guru-guru yang akan menyampaikan agar konten-konten pendidikan anti-korupsi yang dicanangkan dapat diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Hal ini tidak hanya mencakup metode penyampaiannya, tetapi juga bagaimana mengevaluasinya.

Ini berarti, pendidik dan bahkan tenaga kependidikan harus mampu menjadi teladan dalam menunjukkan nilai-nilai anti-korupsi agar Pendidikan Anti-korupsi yang ditanamkan kepada peserta didik dapat berbuah. Dalam hal ini, panggilan pendidik Kristen sebagai garam dan terang semakin jelas yakni menyatakan natur dosa sebagai dosa yang harus diperangi dan menjadi teladan bagi peserta didik dalam menerapkan nilai-nilai anti-korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Melibatkan semua pihak

Penerapan Pendidikan Anti-korupsi harus melibatkan semua pihak di lingkungan sekolah, perlu duduk bersama merancang implementasinya di dalam kurikulum untuk memetakan nilai-nilai anti-korupsi yang harus dicapai di setiap satuan pendidikan, siapa dan kapan disampaikan, termasuk mekanisme evaluasinya. Sekolah harus memiliki modul Pendidikan Anti-korupsi dan mencantumkannya dalam program tahunan sekolah. Tanggung jawab ini tidak hanya menjadi beban guru agama, setiap guru harus mengambil peran dalam menebarkan nilai-nilai anti-korupsi. Seorang guru Bahasa Indonesia misalnya, perlu memilih wacana yang mengandung pesan-pesan anti-korupsi di dalamnya dan kemudian memfasilitasi diskusi sehingga setiap peserta didik dilibatkan masuk ke dalam implementasi praktisnya. Jika buku paket yang digunakan tidak mengakomodir kepentingan tersebut, guru dituntut mendesain sendiri artikel bacaan yang akan dipakai dalam proses pembelajaran. Seorang guru sejarah harus mampu mendaratkan nilai keberanian pada peserta didik ketika materi perjuangan kemerdekaan Indonesia sedang dipelajari di kelas. Siswa didorong meneladani sikap berani yang ditunjukkan para pejuang kemerdekaan dengan cara sederhana seperti berani menolak ajakan seorang teman yang tidak baik meskipun berisiko untuk dijauhi. Seorang guru matematika harus memberikan penekanan pentingnya mengikuti kaidah dan aturan matematika dengan benar agar peserta didik bisa mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya.

Gagasan besar mencegah praktik korupsi dengan menerapkan pendidikan Anti-korupsi akan berhasil jika didukung oleh semua pihak di luar lingkungan sekolah. Apalah gunanya jika di sekolah nilai-nilai anti-korupsi telah diajarkan namun di rumah anak-anak tidak pernah diberikan tanggung jawab walau hanya membersihkan kamar tidur dan mencuci piringnya setelah makan.

Masyarakat berkontribusi dengan menegur anak-anak yang berkeliaran di luar sekolah pada jam pelajaran, memberikan sanksi sosial kepada para koruptor agar anak-anak merasakan bahwa korupsi merupakan hal yang sedang diperangi bersama. Lembaga pelayanan harus mulai memikirkan program-program aplikatif seperti sekolah alam.

Persekutuan Kristen harus menjadi model komunitas orang-orang yang peduli dan bergaya hidup sederhana, menanamkan budaya disiplin waktu ketika melakukan kegiatan. Kepada gereja Allah mengamanatkan supaya “apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6 : 6-7). Untuk korupsi yang sudah membudaya dan mendarah daging, dibutuhkan pendidikan berbasis anti-korupsi yang disampaikan berulang-ulang dan keroyokan. Setiap kita, baik sebagai guru, karyawan atau ibu rumah tangga Tuhan berikan tanggung jawab untuk mendidik generasi muda negeri ini bermental anti-korupsi, menjadi agen pendidikan anti-korupsi, agen perubahan bangsa.

 

*Dituliskan oleh, Jose Bonatua Hasibuan, S.Pd, PNS di Dinas Pendidikan Riau, Guru di SMKN Pertanian TerpaduRiau, Saat ini sedang studi S2 Matematika di SPs IPB
**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi II, tahun 2012

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *