Gunnar Hoglund:
Perlukah Kita Peduli terhadap Dunia

Bila gereja Kristen tidak berhenti dari percecokan teologis dan mulai menangani masalah-masalah sosial dunia, gereja akan ketinggalan zaman. Peringatan ini disampaikan seorang tokoh Kristen. Ia mengungkapkan tuduhan yang sering terdengar akhir-akhir ini bahwa orang Kristen yang memegang teologi konveksi (percaya kepada keIlahian dan kebangkitan Kristus, otoritas Alkitab, kebutuhan akan regenerasi,dan sebagainya) tidak memiliki program praktis dalam menghadapi penderitaan dunia. Dalam usaha menjaga kemurnian doktrin secara berlebihan. Sebetulnya mereka sedang memainkan peranan sebagai imam dan orang Lewi Modern yang mengabaikan penderitaan umat manusia.

Dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari seratus pendeta ditanyakan, “Berapa banyak diantara Anda yang selama 6 bulan terakhir ini berkhotbah tentang penghukuman terhadap dosa-dosa sosial seperti perang, diskriminasi ras, eksploitasi buruh dan manjemen, perdagangan minuman keras – khotbah yang secara langsung menentang kejahatan – kejahatan tersebut dan mengusulkan kerangka penyelesaiannya?” tak satupun tangan diangkat.

Ini mencerminkan keengganan yang sangat jelas dari umat Kristen untuk bersentuhan dengan kejahatan-kejahatan sosial. Cermin kegagalan dalam mengakui bahwa iman Kristen memiliki implikasi-implikasi sosial yang luas.

Kemungkinan munculnya Perang Dunia (PD) III di hadapan mata, dan dengan banyaknya praktek-praktek politi dan ekonomi yang sangat rusak, dapatkah penerapan prinsip-prinsip kristiani yang kuat membantu meringankan masalah-masalah ini?

Lebih penting lagi, apakah program-program semacam itu akan membuat kabar baik makin tersebar luas? Banyak yang yakin hal itu dapat terjadi.

Tapi mereka menambahkan dua peringatan yang mengajak untuk bertindak. Yang pertama  adalah bahwa perlawanan terhadap kejahatan-kejahatan sosial terutama harus di tujukan untuk mengubah individualnya, perubahan yang dibentuk lewat karya penebusan Yesus Kristus. Sebagai mana yang dikatakan oleh Horace Bushnell: “Jiwa dari ajaran reform adalah pembaharuan jiwa “ (The soul of reform is the reform of the soul). Hal yang kedua adalah kita harus waspada agar tidak ‘jatuh’ seperti yang dialami oleh pemimpin-pemimpin agama yang telah mengubah Injil menjadi undang-undang etika sosial tanpa perubahan manusianya dan memberikan tekanan yang tidak realistis dan dangkal pada kebaikan dalam diri manusia dan kemajuan dunia yang tak dapat dihindari.

Reaksi terhadap ajakan ini beragam. Beberapa orangmenganggapnya sebagai kritik yang lebih bersifat melemahkan daripada membangun. Yang lain mengingkari kebenaran bahwa Injil memiliki hubungan langsung dengan kejahatan-kejahatan sosial. Lainnya lagi menyatakan bahwa tak ada yang perlu dibereskan karena kejahatan-kejahatan sosial yang ada sekarang ini ada dibawah penanganan yang cukup baik.

Mahasiswa-mahasiswa Kristen, yang sedianya akan ditempatkan ditengah dunia yang sedang mencari pemecahan bagi penderita dan peperangan ini, mempertanyakan seberapa seriusnya kritik tersebut harus ditanggapi. Benarkah orang-orang Kristen konservatif telah melalaikan tanggung jawabnya terhadap isu-isu yang ada di masyarakat? Atau, masihkah kita memiliki tanggungjawab itu?

Sejarah memberi sebagian jawabannya. Gereja pada mulanya telah merangsang kesadaran orang akan keadilan-keadilan sosial. Dan hal itu berhasil.

“inilah yang membuat dunia jungkir balik,” adalah ketika Paulus dan silas digambarkan berada di Tesalonika. Saat itu Injil Tuhan Yesus benar-benar agama yang revilusioner, menantang adat istiadat yang telah mendarah daging. Agustinus tanpa ragu mencela budaya yang menyesatkan di masanya, begitu juga Luther dan Calvin.

Kebangkitan kaum Wesley muncul saat kehidupan moral spriritual dan sosial di Inggris telah memasuki kondisi yang terburuk. Dan beberapa ahli sejarah sosial telah mencap Wesley sebagai orang fanatik yang bermasuk membelokkan pikiran orang dari kondisi yang buruk buruk kepada mimpi-mimpi surgawi yang disebutnya “berkat yang akan datang”. Tapi yang sekarang dikenal justru bahwa Wesley dan pesan yang dibawanya itu merupakan faktor yang paling utama dalam mengangkat penyakit ketidakacuhan dan tahyul mengubah budaya peradaban Eropa dan meletakkan dasar bagi hak-hak individu dan demokrasi di kemudian hari.

Bersama dengan kebangkitan Wesley ini, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan penjara, pembersihan-pembersihan dirumah sakit, dan keadilan di pemerintahan. Terhadap perdagangan budak yang terkenal kejam itu ia dengan keras berseru “Aku bersumpah demi Allah, bahawa perbudakan harus dihentikan! Kekeristenan, lanjutnya,” pada intinya adalah agama sosial, dan mengubahnya menjadi agama yang menyendiri sama saja dengan menghancurkannya.

Di Amerika Serikat, orang-orang Kristenlah yang membangun sekolah-sekolah selain gereja, menyadari bahwa satu-sastu demokrasi terdidik. Banyak universitas yang ada sekarang berakar dalam semangat rohani yang sejati. Sebagi contoh: Kaum Kongregational membangun Yale, Bowdoin, Dartmouth, Williams, Amherst, Oberlin, Grinell, Wellesley, Smith, Mount Holyoke, dan masih banyak lagi – semuanya berjumlah 56 universitas!

Dengan sedikit pengecualian, orang-orang Kristen telah memimpin perlawanan agar orang dapat memiliki kebebasan menyembah Tuhan, berbicara dengan bebas, menuliskan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, maju ke kelas sosial yang lebih tinggi dan untuk diperlakukan sederajat. Kekristenanlah yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan diatas nilai-nilai kebendaan, manusia diatas mesin; kekristenan telah menentang apapun yang akan merampok kehidupan manusia dari kemuliannya.

Demikianlah warisan mulia yang telah dituturkan kepada kita.

Pada tahun 1900-1925 di Amerika telah muncul suatu filsafat yang disebut “dunia baru” yang kehadirannya sebagian besar (kalau tak dapat dikatakan seluruhnya) lewat usaha manusia. Dalam gereja Protestan hal inilah yang kemudian melahirkan ‘injil sosial’ (social gospel). Artikel dan buku-buku secara cepat mempopulerkan ide tersebut, tapi kecenderungan humanisme dan kekosongan teologisnya mengakibatkan banyak orang Kristen menolak gagasan tersebut.

Dalam usaha menghalangi pertumbuhan penginjilan sosial ini muncullah ekstrim lain yang berusaha menghilangkan seluruh doktrin mengenai hubungan orang kristen terhadap tanggungjawab sosial, pemerintah dan tanggungjawab dunia. Pendeknya, eksistensi pemikiran Kristen terhadap dunia dan hidupnya, ditolak.

Akibat buruk sekali. Orang Kristen konservatif ini dikenal tidak acuh terhadap masalah-masalah sosial. Mereka memberikan kesan bahwa meskipun Injil menyediakan kesembuhan bagi dosa individu, Injil tidak memberikan kesembuhan terhadap dosa sosial. Mereka menunjukkan sikap netral, tidak peduli, maupun perang terbuka terhadap gerakan-gerakan sosial yang progresif.

Kecuali untuk beberapa peristiwa yang patut dicatat, “bantuan” yang diberikan oleh kaum Kristen konservatif justru memerangi peningkatan sosial dan penanggulangan penderitaan dunia. Seringkali mereka menyerang atau mengabaikan gerakan yang memajukan masyarakat. Beberapa contoh tersedia disini.

Ketika pengikut Suasana B. Anthony menantang pemerintah agar disediakan hak pilih bagi wanita, banyak orang Kristen yang kemudian mengutip ayat-ayat Alkitab untuk membuktikan ketidak-alkitabiahannya. Ketika kaum buruh menuntut kerja hanya 8 jam perhari, gagasan itu di cap sebagai ‘kemalasan yang berlebihan’. Bahkan sekarang ini, mereka yang setuju dengan hal asasi buruh sering menemui “alis yang terangkat”.

Dalam misi luar negri, orang-orang Kristen ini secara sengit menentang adanya misi pendidikan, kedokteran dan pertanian. Mereka merasa bahwa melaksanakan Amanat Agung terbatas hanya lewat khotbah dan mengajar saja. Kekristenan yang menerapkan hal-hal praktis dikecam sebagai kelewat “sosial”. Untunglah, tahun-tahun selanjutnya memberikan koreksi bagi hal tersebut sehingga sekarang cabang-cabang misi ini memiliki penekanan yang lebih tepat dalam keseluruhan gambaran misi luar negri.

Perguruan tinggi Kristen pernah bangga karna memiliki orang-orang yang paling terpelajar dimasa itu. Tetapi sekarang, perguruan tinggi Kristen sulit sekali memperoleh dosen yang bermutu. Kelihatannya, kaum konservatif kehilangan minat pada bidang pendidikan dan juga pelayanan sosial.

Lima belas tahun yang lalu penerbit suatu surat kabar metropolitan menetapkan UU yang menolak iklah minuman keras; yang kemudian memberikan pujian dari khalayak Kristen di kota itu yang dikenal karena jumlah gereja yang besar. Baru-baru ini ia menyatakan keinginannya untuk kembali menayangkan iklan minuman keras. Alasannya: “Sudah lama saya tidak mendengar orang setuju dengan kebijaksanaan saya itu, saya pikir tak seorangpun yang peduli lagi.”

Larangan memuat iklan minuman keras dimedia cetak yang dilakukan Kanada dipandang dengan iri orang Kristen Amerika. Tapi berapa banyak yang tahu bahwa Senator Capper dari Kensas sudah mengusulkan hal yang sama di Kongres? Meskipun ia memohon dukungan gereja, kebanyakan orang Kristen belum pernah mendengarnya.

Sudah jelas bahwa keadilan sosial tidak hanya diperoleh lewat undang-undang. Tapi menghapus publisitas perdagangan minuman keras dengan sangat menyolok, tentunya akan mempengaruhi ancaman bahaya itu sendiri.

Dalam kejadian di AS dan menangaani dalam menjaga perdamaian, kaum konservatif lebih banyak bertindak sebagai penonton yang pesimis. Mereka lebih suka membuktikan dirinya tidak mampu berbuat apa-apa daripada berdoa supaya Allah membimbing.

Jadi apa tanggung jawab orang Kristen? Tanggungjawabnya adalah menghasilkan buah kehidupan baru dalam segala aspek kehidupan masyarakat melihat kesengsaraaan dan penderitaan di zaman ini, orang Kristen yang bijak haruslah melihat kesempatan melayani. Injil harus mencurahkan cahayanya dalam segala aspek kehidupan manusia beserta aktivitasnya. Sebagaimana yang dikatakan Mac arthur, “Masalah dasarnya Cuma teologis”. Kalau Allah begitu memperhatikan jiwa manusia, tidak mungkin Ia tidak memperhatikan juga kondisi sosial, tempat jiwa itu berada.

Perhatian Allah yang begitu dalam bagi keselamatan manusia, pasti membuat-Nya menaruh perhatian pula pada perkembangan-perkembangan lembaga-lembaga politik, prilaku masyarakat, praktek-praktek ekonomi yang sangat mempengaruhi perkembangan rohani pria dan wanita. Secara pasti ‘kota yang baru’ tidak terjadi di bumi ini, seperti yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru dan diperingatkan ilmu pengetahuan modern. Namun, bukan berarti kita membiarkan ‘kota yang akan musnah ini’ makin rusak. Menyadari bahwa bumi takkan pernah menjadi sorga bukan berarti membiarkannya menjadi neraka.

Sudah saatnya kita ingat ayat yang mengatakan:”… dari buahnya engkau akan mengenalnya”. Sudah waktunya kita mengambil posisi, memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan sosial maupun perorangan – seperti yang telah dilakukan orang-orang Kristen abad lalu. Jangan mengabaikan tanggung jawab ini begitu saja.

Kesadaran sosial seperti itu akan membutuhkan kepekaan yang makin meningkat terhadap masalah-masalah sosial. Melalui khotbah atau PA kita dapat melihat pendekatan yang dilakukan Tuhan Yesus maupun Paulus terhadap masalah-masalah ini. Cekalan pedas dinyatakan Yesaya berkenaan dengan kejahatan di zamannya merupakan satu contoh yang mengagumkan.

Negarawan dan pemimpin Kristen sangat dibutuhkan untuk mengadakan program-program efektif berdasarkan iman Kristen. Pelaksanaan program tersebut harus disertai dengan doa dan kerjasama aktif setiap orang Kristen dimanapun mereka berada. Peranan penerbit-penerbit Kristen sama pentingnya dengan tanggung jawab yang tinggi, yang utama bagi lembaga pendidikan Kristen.

Contoh yang diterapkan IVCF (Perkantas Amerika – red) cabang Universitas Michigan sangat penting. Mereka memperoleh penghargaan sebagai “Organisasi mahasiswa dengan kesadaran sosial paling tajam” berkat kepemimpinan mereka dalam kampanye “Makanan bagi Eropa” dan usaha-usaha kesejahteraan bagi Eropa” dan usaha-usaha kesejahteraan kampus.

Majalah Time pernah memuat pernyataan penulis Stanley High: “Menurut saya, tugas utama gereja adalah menebus saya. Bukan cuman secara sosial, yaitu meyakinkan saya bahwa Hukum Kasih haruslah menjadi bagian dari pengakuan Iman saya… Tapi yang saya maksudkan adalah penebusan secara pribadi – proses perubahan secara rohani sehingga saya menjadi pribadi yang baru.”

Pendapat tersebut benar. Tanggung jawab utama kita adalah “memberitakan Injil kepada setiap orang.” Tapi berita itu sendiri haruslah disertai dengan kesadaran sosial yang baru dan berjiwa militan, kalau kita ingin melakukan pekerjaan ini secara efektif. Tindakan tersebut, seperti di zaman Luther dan Wesley yang menghapus kegelapan penganiyaan dan ketidakadilan sosial, memberi gairah baru bagi pekabaran Injil.

 

*Dituliskan oleh Gunnar Hoglund, mantan Staff Inter-Versity. Tulisan asli berjudul “Is This World Our Concern?”, dimuat di majalah HIS, Juni 1982. Diterjemahkan oleh Vivi Sidabutar.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *