Barangkali tak ada yang memiliki kehidupan penuh dinamika selain para murid. Si Simon, misalnya. Setelah semalaman melaut tanpa satupun tangkapan, seorang Guru muda tanpa latar belakang nelayan menyuruhnya untuk mencoba sekali lagi. Meski—berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan—ide untuk menangkap ikan di siang hari terdengar absurd, ia tetap saja menurutiNya. Mungkin, Simon juga tak enak hati dengan orang banyak yang sedari pagi mendengar pengajaran Sang Guru apabila menolak permintaan itu. Maka, melautlah ia kembali, namun tidak “full team”. Ia berangkat tanpa mengantisipasi mukjizat.
Siang itu, Simon melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa mudah jalanya menangkap ikan. Seolah-olah ikan-ikan itu datang sendiri menghampiri jala. Ikan yang begitu banyak, hingga jalanya hampir koyak.
Menyadari kenyataan, bahwa ia telah salah menilai Sang Guru, Simon pun tersungkur di depanNya. Bukan sekadar mengakui kebodohan atau ketidakpercayaannya, Simon membuat pengakuan paripurna, yakni bahwa ia adalah . Ia tahu, berdasarkan pengalaman, bahwa apa yang baru saja dialaminya bukanlah peristiwa biasa, dan bahwa itu bukan pula kebetulan semata-mata. Oleh karenanya, Sang Guru yang bersama mereka di dalam perahu juga pastilah bukan manusia biasa. Bukan sekadar pengajar, nabi, atau utusan Tuhan, melainkan Pribadi yang Ilahi, perwujudan Allah itu sendiri. Itu sebabnya, Simon tersungkur dan mengakui keberadaannya sebagai manusia berdosa, serta ketidaklayakannya untuk berada di dekat Sang Rabi, yang kemudian menerima pengakuan dosanya dan memilihnya sebagai penjala manusia.
Mata mereka menyaksikan Guru mereka itu membuat banyak sekali mukjizat… tanpa berdoa, apalagi merapal mantra.
Tetapi, sesuatu terjadi. Kehidupan “new normal” mereka terpaksa terhenti. Atau tepatnya, berubah seratus delapan puluh derajat. Tiga setengah tahun berlalu, dan mendadak mereka harus kehilangan Sang Guru. Yesus, yang itu, difitnah secara keji dan secara tak adil diadili, kemudian disalibkan bak penjahat kelas kakap di Kalvari. Guru muda yang biasanya sangat vokal dan kritis terhadap para pemuka agama itu tiba-tiba . Dia, yang beberapa hari sebelumnya menjungkirbalikkan meja-meja penukar uang di halaman Bait Allah itu, sama sekali tak melawan ketika tinju, cambuk, duri, dan paku ketidakadilan menghujani tubuh-Nya. Sungguh sebuah situasi yang tidak biasa. Para murid yang dulunya menikmati exposure karena selalu berada di sekeliling Sang Guru, kemudian merasa harus melarikan diri dan menyelamatkan muka mereka masing-masing. Termasuk Simon Petrus, yang meski tidak lari, menyangkal hubungannya dengan Sang Terdakwa hingga tiga kali.
Setelah hampir separuh windu menjalani kehidupan yang baru nan “seru”, para murid harus menerima kenyataan, bahwa “new normal” berikutnya sudah menghadang di depan. Dan kali ini, kehidupan “new normal” yang harus mereka sambut tampak kelam dan berkabut. Sepanjang akhir minggu itu, pikiran dan hati mereka tak menentu. Ke mana lagi mereka harus pergi, dan apa yang bisa mereka lakukan tanpa Sang Guru?
Namun, kegelisahan itu tak bertahan lama dan dengan segera berganti menjadi sukacita. Yesus bangkit setelah tiga hari! Harapan yang sempat terkubur pun muncul kembali. Kembalinya Sang Guru yang tak mempan oleh sengat maut tentu akan membuat musuh-musuh-Nya kalang kabut. “Jamaah” mereka pasti makin besar, karena akan semakin banyak orang yang ikut. Mereka sudah membayangkan kembalinya kejayaan Israel seperti masa Daud, dengan Yesus sebagai Raja yang akan memerintah sepanjang masa. Tetapi, Yesus ternyata tak “go public”, alias berkeliling lagi, melainkan berulang kali hanya menjumpai murid-murid-Nya. Tak ada kejelasan mengenai apa rencana Sang Guru selanjutnya.
Apapun kehidupan “new normal” yang akan dihadapi, mengikut Yesus merupakan langkah awal yang harus dijalani.
Apapun kehidupan “new normal” yang akan dihadapi, mengikut Yesus merupakan langkah awal yang harus dijalani.
tidak ada yang baru, mengejutkan, atau menggentarkan dari “new normal” bagi mereka yang telah menjalani kehidupan “New Normal” di dalam Tuhan.
Itulah sebabnya, Paulus, mantan penganiaya jemaat yang kemudian terhisap dalam kehidupan “New Normal” dan menderita berbagai macam penderitaan dapat menuliskan, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:12-13).