Philip Ayus:
Para Murid dan Kehidupan “New Normal”

Barangkali tak ada yang memiliki kehidupan penuh dinamika selain para murid. Si Simon, misalnya. Setelah semalaman melaut tanpa satupun tangkapan, seorang Guru muda tanpa latar belakang nelayan menyuruhnya untuk mencoba sekali lagi. Meski—berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan—ide untuk menangkap ikan di siang hari terdengar absurd, ia tetap saja menurutiNya. Mungkin, Simon juga tak enak hati dengan orang banyak yang sedari pagi mendengar pengajaran Sang Guru apabila menolak permintaan itu. Maka, melautlah ia kembali, namun tidak “full team”. Ia berangkat tanpa mengantisipasi mukjizat.

Siang itu, Simon melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa mudah jalanya menangkap ikan. Seolah-olah ikan-ikan itu datang sendiri menghampiri jala. Ikan yang begitu banyak, hingga jalanya hampir koyak.

Menyadari kenyataan, bahwa ia telah salah menilai Sang Guru, Simon pun tersungkur di depanNya. Bukan sekadar mengakui kebodohan atau ketidakpercayaannya, Simon membuat pengakuan paripurna, yakni bahwa ia adalah . Ia tahu, berdasarkan pengalaman, bahwa apa yang baru saja dialaminya bukanlah peristiwa biasa, dan bahwa itu bukan pula kebetulan semata-mata. Oleh karenanya, Sang Guru yang bersama mereka di dalam perahu juga pastilah bukan manusia biasa. Bukan sekadar pengajar, nabi, atau utusan Tuhan, melainkan Pribadi yang Ilahi, perwujudan Allah itu sendiri. Itu sebabnya, Simon tersungkur dan mengakui keberadaannya sebagai manusia berdosa, serta ketidaklayakannya untuk berada di dekat Sang Rabi, yang kemudian menerima pengakuan dosanya dan memilihnya sebagai penjala manusia.

Mata mereka menyaksikan Guru mereka itu membuat banyak sekali mukjizat… tanpa berdoa, apalagi merapal mantra.

Sejak saat itu, Simon dan koleganya, Yohanes dan Yakobus, mulai menjalani kehidupan “new normal”: menjadi murid-murid Yesus. Bersama Yesus, hidup mereka tak lagi sama. Telinga mereka mendengar sendiri pengajaran-pengajaran Ilahi, langsung dari sumbernya. Mata mereka menyaksikan Guru mereka itu membuat banyak sekali mukjizat, yang–berbeda dari mukjizat nabi atau utusan Tuhan lainnya–dilakukan begitu saja, tanpa berdoa, apalagi merapal mantra. Dia hanya berkata, “Sembuh,” dan kesembuhan terjadi. Dia cukup berkata, “Bangkitlah,” maka seorang anak muda yang telah meninggal pun hidup kembali. Dia menghardik angin badai, dan dalam sekejap danau menjadi tenang. Dia juga tak perlu berdialog dan melakukan tawar-menawar dengan setan yang merasuki beberapa “pasien”-Nya, melainkan langsung mengusirnya. Bahkan dalam sebuah kesempatan, justru sekumpulan besar roh jahat lah yang memohon kepadaNya supaya dapat merasuki babi-babi—agar tak diperintahkan masuk ke jurang maut. Sungguh sebuah kehidupan “new normal” yang melampaui akal!

Tetapi, sesuatu terjadi. Kehidupan “new normal” mereka terpaksa terhenti. Atau tepatnya, berubah seratus delapan puluh derajat. Tiga setengah tahun berlalu, dan mendadak mereka harus kehilangan Sang Guru. Yesus, yang itu, difitnah secara keji dan secara tak adil diadili, kemudian disalibkan bak penjahat kelas kakap di Kalvari. Guru muda yang biasanya sangat vokal dan kritis terhadap para pemuka agama itu tiba-tiba . Dia, yang beberapa hari sebelumnya menjungkirbalikkan meja-meja penukar uang di halaman Bait Allah itu, sama sekali tak melawan ketika tinju, cambuk, duri, dan paku ketidakadilan menghujani tubuh-Nya. Sungguh sebuah situasi yang tidak biasa. Para murid yang dulunya menikmati exposure karena selalu berada di sekeliling Sang Guru, kemudian merasa harus melarikan diri dan menyelamatkan muka mereka masing-masing. Termasuk Simon Petrus, yang meski tidak lari, menyangkal hubungannya dengan Sang Terdakwa hingga tiga kali.

Setelah hampir separuh windu menjalani kehidupan yang baru nan “seru”, para murid harus menerima kenyataan, bahwa “new normal” berikutnya sudah menghadang di depan. Dan kali ini, kehidupan “new normal” yang harus mereka sambut tampak kelam dan berkabut. Sepanjang akhir minggu itu, pikiran dan hati mereka tak menentu. Ke mana lagi mereka harus pergi, dan apa yang bisa mereka lakukan tanpa Sang Guru?

Namun, kegelisahan itu tak bertahan lama dan dengan segera berganti menjadi sukacita. Yesus bangkit setelah tiga hari! Harapan yang sempat terkubur pun muncul kembali. Kembalinya Sang Guru yang tak mempan oleh sengat maut tentu akan membuat musuh-musuh-Nya kalang kabut. “Jamaah” mereka pasti makin besar, karena akan semakin banyak orang yang ikut. Mereka sudah membayangkan kembalinya kejayaan Israel seperti masa Daud, dengan Yesus sebagai Raja yang akan memerintah sepanjang masa. Tetapi, Yesus ternyata tak “go public”, alias berkeliling lagi, melainkan berulang kali hanya menjumpai murid-murid-Nya. Tak ada kejelasan mengenai apa rencana Sang Guru selanjutnya.

Apapun kehidupan “new normal” yang akan dihadapi, mengikut Yesus merupakan langkah awal yang harus dijalani.

Dalam kondisi demikian, Si Penjala Manusia pun tergoda untuk kembali menjadi penjala ikan. Akan tetapi, sebuah déjà vu terjadi. Semalaman, Petrus dan murid yang lain tak berhasil menjaring satupun ikan. Keesokan harinya setelah hari mulai siang dan perahu mendekati daratan, ada Orang Asing yang menyuruh mereka menebarkan jala di kanan perahu, dan jala mereka pun penuh dengan ikan-ikan besar. Setelah mendapati bahwa Orang Asing itu adalah Yesus, Petrus pun bergegas menghampiriNya. Mereka pun makan siang bersama. Dan kepada Petrus, Sang Guru—setelah memberikan mandat untuk menggembalakan domba-domba-Nya dan menubuatkan “new normal” yang akan dijalani oleh salah satu murid terdekat itu, sekali lagi mengundang Petrus, “Ikutlah Aku.”

Apapun kehidupan “new normal” yang akan dihadapi, mengikut Yesus merupakan langkah awal yang harus dijalani.

tidak ada yang baru, mengejutkan, atau menggentarkan dari “new normal” bagi mereka yang telah menjalani kehidupan “New Normal” di dalam Tuhan.

Tak lama setelah itu, tepatnya hari ke-empatpuluh setelah kebangkitan-Nya, Sang Guru terangkat naik ke surga, meninggalkan murid-murid-Nya dengan Amanat Agung untuk mengabarkan berita keselamatan ke seluruh dunia, dan janji penyertaan serta kuasa untuk menjadi saksi-saksi-Nya setelah Roh Kudus turun atas mereka. Roh Kudus lah yang akan memimpin dan memampukan para murid dalam menghadapi setiap bentuk tata kehidupan baru yang menanti di depan. Sesungguhnya, menjalani kehidupan dalam pimpinan dan penyertaan Roh Kudus adalah “New Normal” para murid, yang memberikan mereka kesanggupan untuk menanggung segala perkara. Faktanya, berbekal kehidupan “New Normal” yang dimulai pada hari Pentakosta, para murid sanggup bertahan dalam berbagai pencobaan dan aniaya. Singkatnya, tidak ada yang baru, mengejutkan, atau menggentarkan dari “new normal” bagi mereka yang telah menjalani kehidupan “New Normal” di dalam Tuhan.

Itulah sebabnya, Paulus, mantan penganiaya jemaat yang kemudian terhisap dalam kehidupan “New Normal” dan menderita berbagai macam penderitaan dapat menuliskan, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:12-13).

Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: ‘Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa’ (Lukas 5:8)
Kisah Para Rasul 10:38
Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. (Yesaya 53:7)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *