Kunjungan ke Pulau Cendrawasih:
We Need You

Kemajuan pembangunan daerah dan masyarakat Irian Jaya adalah salahsatu tolok ukur kemajuan Indonesia. Namun bukan berarti setiap daerah dan pulau Indonesia harus mengalami kemajuan yang sama. Tidak! Kemajuandi pulau Jawa tidak dapat dibandingkan dengan kemajuan di Pulau Surabaya Sumatera, Kalimantan bahkan Irian Jaya.Kemajuan pembangunan haruslah ke arah pertumbuhan perekonomian (baca: kesejahteraan),pendidikan dan peradaban masyarakat yang semakin membaik daripada 27 tahun lalu. Sunaryo (Tim Misi Perkantas),Monique (world Wildlife fund), Ibu Soerio(Penginjil) melakukan kunjungan ke Jaya Pura, Lembah Baliem, Biak, Serui dan Barawai (Yapen Timur) untuk melihat sejauh mana kemajuan pembangunan penghasil  minyak, tembaga pura dan burung cendrawasih ini. Sunaryo menuliskan pengalaman mereka. Perjalanan dari Jakartaka Irian Jaya dengan pesawat terbang ditempuh selama 7 jam, dengan transit  dan Ujung pandang. “Karni berangkat dari Jakarta Jumat, 13 Mei 1994. Kata orang hari Jumat dan angka 13 itu membawa sial. Namun bagi kami nothing to do with Friday the thirteen-lah …”

Abe Pura adalah daerah pertama yang kami kunjungi. Kami tinggal di keluarga Hein Mantundoy, pemuka masyarakat yang sangat mengasihi Tuhan. Hein lah yang menguraikan secara ‘gamblang’ kondisi dan situasi sosial masyarakat Irian. Menurutnya, kendala terbesar pelayanan di lrian Jaya adalah: pertama, harus siap hidup sesederhana masyarakat yang ada. Kedua masyarakat lrian Jaya memiliki 300 dialek, sedangkan bahasa Indonesia, bahasa pemersatu, ‘agaknya’ seperti bahasa asing. hal itu membuat komunikasi sangat sulit. yang bukan saja dialami pendatang, tapi antara satu kampung dengan kampung lain. Ini karena dialek bahasa yang berbeda sehingga satu dengan lainya saling tidak mengerti. Ketiga. sarana jamban, kamar mandi, transportasi, radio apalagi televisi sangat sulit. Keempat setiap orang yang berkunjung ke lrian harus siap menjadi ‘mangsa’ nyantuk Anopeles (malaria). Teriknya matahari di waktu siang dan udara yang cukup dingin di malam hari di Irian Jaya memerlukan daya tahan dan daya juang tersendiri bagi pendatang. Kesulitan tersebut. Menurut Heirn Mantundoy, membuat orang jarang siap melayani masyarakat Irian. Namun, penggambaran tersebut justru mempersiapkan kami ‘terjun’ ke beberapa daerah.

Lembah Baliem

Keesokan harinya kami ‘terbang’ menuju Wamena, base camp pelayanan yang akan kami lakukan. Lembah Baliem ini di huni masyarakat yang mempunyai kurang lebih 30 dialek bahasa Irian. Suku Dani, suku Irian yang terkenal karena dilestarikan pemerintah, adalah salah satu penghuni Lembah Baliem. Di sini kami tinggal dengan teman-teman yang melayani sebagai guru di Irian melalui Yayasan Pelayanan Desa Terpadu Kendala pelayanan di Lembah Baliem ini. seperti juga kendala di perkampungan Irian lainnya, adalah sulitnya berkomunikasi. Berpindah kampung, masih di Lembah Baliem saja harus mengganti penerjemah. Sementara itu orang yang dapat mengerti dan menerjemahkan bahasa lndonesia ke bahasa Irian dialek tertentu sangat jarang. Aparat setempat menuturkan bahwa suku-suku Irian acapkali ‘berperang’ karena ketidak mengertian dan ketidak mampuan berkomunikasi antara satu kampung dengan kampung lainnya. Karena itu, khusus di Lembah Baliem ini, seorang polisi dari luar lrian (suku lain) ditugaskan menjaga dan menengahi bila terjadi perkelahian antar suku.

Selama 5 hari kami berada di Lembah Baliem. Kami dan Willem Watipo (staf PESAT yang diutus melayani secara khusus asal sukunya, suku Dani) mengadakan kebaktian Pemuda dan kebaktian Minggu di Muliama. Kebaktian Minggu yang diadakan di lapangan terbuka dihadiri 300 orang dari deniminasi gereja yang berbeda, yang datang dari 7 perkampungan dengan jarak berbeda-beda. Ada beberapa keluarga yang datang sehari sebelum kebaktian diadakan. Biasanya mereka menginap di gereja. Mereka dari kedatangan dan rela meninggalkan kampungnya tampak sangat ‘haus’ firman Tuhan. Karena transportasi tidak ada, mereka harus berjalan kaki melewati bukit dan hutan, ke Muliama. Transportasi ini merupakan salah satu kendala tersendiri dalam melayani masyarakat Irian.

Lembah Baliem ini sudah cukup maju dibandingkan wilayah pedalaman Irian lainnya. Di desa ini sudah ada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang didirikan seorang misionari. Puskesmas tersebut cukup baik dan ditata rapih. Masyarakat yang berobat ke sana hanya dilayani seorang mantri dan perawat lokal yang sudah dilatih. Tidak seorang dokter pun berada di sana.

Ketika di sana, kami menghadiri Konfrensi Para Medis yang membahas tentang obat dari Tumbuhan Lokal dan Peranan Utusan Misi dalam pengembangan Masyarakat di desa Piramid-Lembah Baliem.

Selain itu, kami berkesempatan memimpin acara kebaktian siswa SMA. “Puji syukur dari kebaktian pemuda ini 20 orang secara khusus memberi respons.”

Pelayanan di Lembah Baliem tak terasa telah usai. Perjalanan pun harus diteruskan. Untuk memulihkan tenaga, selama dua hari kami kembali berada di Jaya Pura. Setelah tinggal dua hari dikediaman Kel. Mantundoy, kami pun berangkat ke Biak, Serui dan Barawai.

Serui ke Barawai

Di Biak kami hanya semalam. Waktu yang begitu singkat tersebut kami gunakan mencari penghubung, dan akhirnya mendapatkan seorang guru sekolah Minggu. Setelah itu, dengan menggunakan ‘Merpati Twinotter’, kami menuju Serui, ibu kota Yapen Timur. Dengan kendaraan roda empat, kota ini dapat kami kelilingi dalam tempo 10 menit (pembaca dapat membayangkan besarnya kota ini). Walaupun sangat kecil, kota Serui sudah memiliki hotel, supermarket mini, telepon, pasar dan lapangan terbang. malah bertaraf internasional. Irian Jaya perlu diketahui memiliki kurang lebih 30 lapangan terbang.

Dari Serui kami, dengan bantuan Kel. Hein Mantundoy, menemui Sineri, ketua majelis perwakilan Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil lndonesia (YPPll). Sineri menceritakan tantangan (hampir sama dengan daerah lain Irian) dan peluang pelayanan di Serui serta daerah sekitarnya. Menurutnya, masyarakat Serui ini sangat membutuhkan pendidik (karena pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi sangat minim dan hanya ada akademi Manajemen), para medis. ekonomian, ahli pertanian. perikanan, peternakan sampai kepengolahan hutan. “Peluang pelayanan di sini amat banyak. hampir semua bidang keahlian dari yang sederhana dan cukup canggih dibutuhkan.” ujar Sineri.

Keesokan harinya kami langsung menuju Barawai. Dengan menggunakan long boat. Barawai yang terkenal dengan pertumbuhan habitat Cendrawasih ini berada di pesisir. Masyarakat Barawai hanya I0 kcpala keluarga dan dua gereja. Gereja Kristen Injili dan Pentakosta. Kedua gereja tersebut sama-sama tidak memiliki gembala. Mereka hanya memiliki ketua klasis yang pendidikannya hanya sampai kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Mata pencarian penduduk hampir tidak ada. Mereka sangat bergantung pada alam, yang kekayaan alamnya memang sangat banyak – baik hasil darat maupun lautnya.

Kami tinggal selama 5 hari di Barawai. Kondisi masyarakat di sini berbeda dengan Lembah Baliem. Kalau di Lembah Baliem sangat terbuka terhadap lnjil, masyarakat Barawai justru sebaliknya. Mereka khususnya orangtua. Sangat tertutup terhadap firman Allah. Akan tetapi anak-anak dan pemuda setiap malamnya menyanyikan lagu-lagu rohani di tepi pantai. Melalui pembicaraan alot dengan ketua klasis, akhirnya, kami dapat melakukan sekali kebaktian umum. Dari pengamatan kami, masyarakat di sini sangat membutuhkan pembinaan rohaniah dan jasmaniah. Di daerah ini tidak ada sarana sekolah, Puskesmas dan penyuluhan untuk mengolah dan membudidayakan sumber alam.

Melalui lawatan ke Jaya Pura, Lembah Baliem, Biak, Serui dan Barawai, kami mendapat beberapa kesan yang sama. Pertama persaudaraan para misionari di Irian sangat kompak. Para misionari, baik dari luar maupun dalam negeri sangat besar ‘andilnya’ dalam pelayanan yang penuh pengorbanan dan berisiko. Namun, dengan dibatasinya para misionaris luar negeri membuat jemaat tidak bertumbuh dengan baik. Mereka belum siap mandiri.

Kedua, secara jasmaniah dan rohaniah mereka sangat membutuhkan bantuan. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu kaya belum ‘terjamah’, kecuali oleh orang luar. Mereka, karena belum mampu memanfaatkan SDA-nya, sangat jauh dari alat tukar. Bila seseorang mampu menjual hasil taninya dengan harga di atas ribuan, bagi mereka hal itu sudah sangat baik!

Ketiga, akibat ketidakmampuan mengolah SDA, kehidupan masyarakat masih sangat jauh dari standar hidup yang layak. Mereka menganggap diri sebagai suku tertinggal dan tidak memiliki rasa percaya diri (alias minder). Anggapan mereka di dunia ini hanya ada dua warna manusia, hitam dan putih. Mereka, yang berwarna gelap, adalah yang tertinggal. Walaupun demikian mereka sangat ramah terhadap pendatang.

Mereka seperti kulitnya masih sangat jauh dari peradaban yang oleh sebagian orang  dianggap perlu dilestarikan. Bagaimana tanggapan kita? Berikankah mereka juga sesama kita yang seharusnya turut mengecap kemerdekaan dan peradaban sekarang ini? Siapa yang akan memanusiakan mereka? Bila Anda berbeban mengentaskan kemiskinan. hubungi Tim Misi Perkantas. (**)

 

 

**Majalah DIA Edisi 4/1994

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *